DNA Fosil Kotoran Mengungkap Makanan hingga Virus Orang Jepang Kuno
Makanan hingga mikroba pencernaan orang Jepang yang hidup 5.500 hingga 7.000 tahun lalu terungkap dari fosil tinja.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Analisis genetik dari fosil tinja memberi petunjuk baru kehidupan dan kesehatan orang di masa lalu. Studi terbaru mengungkap jenis makanan sampai mikroba pencernaan orang Jepang yang hidup dari periode Jomon Awal 5.500 hingga 7.000 tahun lalu dengan menganalisis fosil kotoran.
Laporan itu diterbitkan di PLOS ONE pada Rabu (24/1/2024) oleh Luca Nishimura dan Ituro Inoue dari National Institute of Genetics, Jepang; Hiroki Oota dari Universitas Tokyo; Mayumi Ajimoto dari Museum Sejarah Wakasa; dan tim.
Kotoran yang menjadi fosil, juga dikenal sebagai koprolit, bisa mengawetkan berbagai materi genetik dari saluran pencernaan manusia kuno. Materi genetik ini termasuk DNA (asam deoksiribonukleat) dari mikroba dan virus yang hidup dalam sistem pencernaan mereka.
Data ini dapat membantu kita memahami lebih detail tentang budaya dan gaya hidup di masa lalu.
Dalam studi ini, para peneliti menganalisis jejak genetik yang tertinggal dalam empat koprolit yang dikumpulkan di situs arkeologi gundukan cangkang Torihama di Prefektur Fukui, Jepang, untuk menilai rincian kehidupan masyarakat kuno yang dapat dipastikan dari sampel ini.
Sampel tinja ini berusia antara 5.500 dan 7.000 tahun, berasal dari periode Jomon Awal. Para peneliti secara kolektif mengambil sampel semua materi genetik dari koprolit dan membandingkan DNA yang mereka temukan dengan rangkaian genetik yang diketahui.
Makanan yang dikonsumsi
Para peneliti juga memperoleh data genom dari koprolit orang Jomon dan melakukan penyelarasan pembacaan dengan genom virus usus, mikroba usus, dan sisa makanan.
Meskipun rata-rata panjang pembacaan terlalu pendek untuk menganalisis variasi genom, para peneliti masih mengamati sejumlah besar pembacaan yang dipetakan ke genom virus, bakteri, dan kemungkinan makanan.
”Kami menganalisis informasi genom dari calon makanan untuk menyimpulkan karakteristik budaya dan perilaku masyarakat Torihama Jomon. Kami mendeteksi keselarasan pembacaan dengan genom Oncorhynchus nerka (salmon) dan Vigna angleis (kacang merah),” tulis Nishimura dan tim.
Laporan arkeologi sebelumnya menunjukkan masyarakat Torihama Jomon berburu ikan air tawar dan air asin, seperti salmon, berdasarkan lipid yang terdeteksi dari tembikar Jomon.
”Hasil kami memberikan dukungan genom bahwa masyarakat Jomon mungkin berburu dan menjadikan salmon, kemungkinan salmon merah, sebagai sumber makanan,” tambah Nishimura.
Berdasarkan hasil penyelarasan, para peneliti bisa memperkirakan keberadaan mikroba dan hidup berdampingan antara inang dan virus di lingkungan usus Jomon, sebanding dengan yang ada pada manusia saat ini.
Kami menganalisis informasi genom dari calon makanan untuk menyimpulkan karakteristik budaya dan perilaku masyarakat Torihama Jomon.
Hal ini menunjukkan koprolit berpotensi mengungkap kaitan inang dan virus dalam tren evolusi jangka panjang. Dalam sampel tinja tersebut, mereka menemukan fragmen DNA dari virus yang homologi dengan human betaherpesvirus 5 dan human adenovirus F.
Pentingnya koprolit
Sebelumnya teknik analisis pada koprolit atau tinja kuno untuk memastikan manusia paling awal di Amerika berasal dari budaya pra-Clovis, berusia lebih dari 12.000 tahun. Laporan ini dipublikasikan di jurnal Science Advances pada 2020, dipimpin Lisa-Marie Shillito, peneliti dari Universitas Newcastle, Inggris.
Mereka menggunakan analisis koprolit kuno untuk mengidentifikasi bahwa sampel dari salah satu situs ”pra-Clovis” paling terkenal di Goa Paisley, di Oregon, Amerika Serikat, mengandung biomarker tinja manusia.
Selama sebagian besar abad ke-20, diperkirakan bahwa penduduk paling awal di Amerika berasal dari satu kelompok yang dikenal sebagai ”Clovis” yang meninggalkan perkakas batu besar yang khas dalam catatan arkeologi.
Meski sekarang diterima secara luas bahwa ada beberapa kelompok yang ada di benua ini sebelum kebudayaan Clovis, penanggalan situs-situs ”pra-Clovis” ini sulit dilakukan karena perkakas batu tidak sering ditemukan dengan bahan yang dapat diberi penanggalan radiokarbon.
Menurut Lisa-Marie Shillito dan tim, pertanyaan kapan dan bagaimana orang pertama kali menetap di Benua Amerika jadi bahan perdebatan sengit. ”Dengan pendekatan berbeda, kami menunjukkan populasi ’pra-Clovis’ hadir di wilayah Great Basin dan menyelesaikan perdebatan ini untuk selamanya,” tulisnya.
Di Indonesia analisis mikrobioma pencernaan dilakukan para peneliti eks Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Namun, sampel tinja terbatas pada masyarakat adat saat ini dan belum dilakukan pada fosil tinja dari situs arkeologi. Kondisi tropis di Indonesia menyulitkan preserfasi material organik masa lalu.