Fosil Daun Mengungkapkan Ekosistem Kalimantan 4 Juta Tahun Lalu
Fosil daun yang ditemukan di Brunei Darussalam mengungkapkan, tanaman ”Dipterocarpus” atau suku meranti-merantian mendominasi hutan hujan Kalimantan setidaknya sejak empat juta tahun lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Fosil daun yang ditemukan di Brunei Darussalam mengungkapkan tentang kondisi ekosistem purba di Pulau Kalimantan. Studi ini menunjukkan, kelompok pohon yang dominan saat ini, Dipterocarpus atau suku meranti-merantian, mendominasi hutan hujan Kalimantan setidaknya sejak empat juta tahun lalu.
Kajian yang dilakukan tim peneliti internasional, dipimpin oleh Peter Wilf dari Pennsylvania State University yang bekerja sama dengan Universiti Brunei Darussalam, ini diterbitkan di jurnal PeerJ.
Ini merupakan bukti pertama bentuk kehidupan dominan yang khas di Kalimantan dan seluruh daerah tropis basah Asia, yaitu pohon dipterokarpa (Dipterocarpus), tidak hanya hadir, tetapi sebenarnya dominan. Kami menemukan lebih banyak fosil dipterokarpa daripada kelompok tumbuhan lain,” kata Peter Wilf, profesor geosains, dalam keterangan yang dirilis Pennsylvania State University, Kamis (28/4/2022).
Wilf menjelaskan, dipterokarpa mencakup ratusan spesies kunci yang mendukung keanekaragaman hayati tropis Asia yang terancam punah dengan menyusun hutan hujan dan menyediakan sumber makanan yang sangat besar melalui penyerbukan dan benih bergizi mereka.
Ini merupakan bukti pertama bentuk kehidupan dominan yang khas di Kalimantan dan seluruh daerah tropis basah Asia, yaitu pohon dipterokarpa ( Dipterocarpus), tidak hanya hadir, tetapi sebenarnya dominan.
Dipterokarpa atau meranti-merantian merupakan pohon tropis tertinggi di dunia, dan yang terbesar dengan ketinggian dapat mencapai 100 meter, kira-kira setinggi bangunan 22 lantai. Kalimantan memiliki hampir 270 spesies dipterokarpa, lebih dari separuh total dunia.
Baca juga: Pohon Keramat
”Fosil daun di daerah tropis basah sangat langka karena tutupan hutan yang luas dan tanah yang sangat lapuk sehingga mengaburkan paparan batuan,” kata Wilf.
Studi sebelumnya tentang kehidupan tumbuhan di Kalimantan umumnya melibatkan fosil serbuk sari, yang sangat tahan terhadap pembusukan. Namun, karena polen dipterokarpa sering tidak terawetkan dengan baik, data tersebut tidak memberikan informasi lengkap tentang lanskap tanaman purba di kawasan tropis Asia.
Studi terbaru ini memberikan banyak bukti fosil dari daun dan serbuk sari di dua lokasi yang ditemukan tim setelah penelitian intensif di Brunei Darussalam, yang mendukung gagasan bahwa beragam lanskap saat ini, vegetasi yang terstruktur dengan baik mirip dengan apa yang ada selama zaman Pliosen, 5,3 juta hingga 2,6 juta tahun yang lalu.
”Dari batuan yang sama dengan asal fosil daun dipterokarpa dalam jumlah besar, hampir tidak ada polen dipterokarpa,” katanya. Serbuk sari dan spora mewakili banyak kelompok tanaman lain, termasuk sejumlah besar pakis, tetapi hampir tidak ada dipterokarpa. Jadi hal itu memvalidasi gagasan bahwa ada bias terhadap serbuk sari dipterokarpa.
Ferry Slik, profesor di Universiti Brunei Darussalam yang mempelajari ekologi hutan tropis dan salah satu penulis makalah tersebut, mengatakan, ini adalah studi yang sangat penting tentang fosil flora di Kalimantan.
”Hanya sedikit studi fosil dari daerah tropis Asia. Saya berharap penelitian ini akan merangsang lebih banyak upaya penelitian tentang fosil di daerah tropis karena mereka akan memberi tahu kita banyak tentang sejarah alam wilayah tersebut,” kata Slik.
Baca juga: Kalimantan Menggugat Pembangunan
Wilf dan timnya menemukan berbagai macam fosil daun dan buah-buahan, termasuk banyak kelompok tumbuhan asli saat ini, tetapi belum pernah ditemukan sebelumnya sebagai fosil di Kepulauan Nusantara. Ini termasuk tiga generasi dipterokarpa yang berbeda, seperti Dryobalanops, yang spesiesnya hampir semuanya terancam; tumbuhan bawah seperti jujube Ziziphus dan melastoma; dan tanaman aroid memanjat, Rhaphidophora, yang terkait dengan tanaman rumah populer Monstera.
Slik mengatakan, tim merekonstruksi ekosistem purba hampir persis seperti yang ditemukan di Brunei Darussalam saat ini. ”Dengan menyertakan serbuk sari, kami mendapatkan representasi yang lengkap dari lingkungan bakau dan rawa, dibatasi oleh hutan hujan dipterokarpa dataran rendah tropis dengan tumbuhan paku yang sangat beragam dan banyak tanaman memanjat, termasuk lebih banyak pakis, jujube, dan aroid. Jadi, kami bisa melihat seperti apa lingkungan jutaan tahun yang lalu,” kata Wilf.
Konservasi
Menurut Wilf, situasi jutaan tahun lalu ini sangat mirip dengan hutan-hutan alam terakhir yang tersisa di Kalimantan, yang sayangnya sebagian besar sudah rusak karena deforestasi.
Wilf mengatakan salah satu motivasi dilakukannya penelitian ini ialah untuk mendorong konservasi kawasan tersebut. ”Hutan hujan tropis adalah tempat keanekaragaman hayati. Brunei seukuran Delaware, tetapi memiliki lebih dari tujuh kali keanekaragaman tumbuhan dari seluruh Pennsylvania,” katanya.
Kalimantan memiliki iklim yang selalu basah mirip dengan Amazon atau hutan hujan Afrika tengah. ”Ini adalah rumah bagi kehidupan hewan yang spektakuler, seperti bekantan, buaya, rangkong badak, macan dahan, beruang madu, kadal terbang, babi berjanggut, dan kukang,” katanya.
Meskipun Kalimantan adalah salah satu hotspot keanekaragaman hayati terbesar di Bumi dan hutan hujan kuno, keanekaragaman hayatinya menyusut karena penebangan, konversi pertanian, dan perubahan iklim. Pohon-pohon dipterokarpa sangat dicari oleh industri kayu, dan Kalimantan menderita tingkat deforestasi yang tinggi.
”Kalimantan, dan sebagian besar hutan hujan Asia adalah titik awal krisis keanekaragaman hayati,” kata Wilf. Namun, Brunei Darussalam adalah permata dalam sistem karena merupakan salah satu dari sedikit negara di kawasan yang masih melestarikan lebih dari setengah hutan hujan tua.
Baca juga: Deforestasi dan Pelanggaran HAM Masih Terjadi di Papua dan Kalimantan Tengah
Menurut Wilf, setiap penemuan paleontologi menyoroti pentingnya sejarah dan memberikan dukungan mendasar untuk mendirikan kawasan konservasi dan mendidik masyarakat.
”Jika sebuah kelompok hidup memiliki sejarah paleo yang diketahui, itu akan menambah pelestarian dan nilai pendidikan, dan kecil kemungkinannya untuk dihancurkan,” katanya. Paleontologi memberikan bukti utama tentang bagaimana dan mengapa kehidupan di Bumi didistribusikan sebagaimana adanya dan ketika berbagai kelompok tumbuhan dan hewan tiba.