Pelaksanaan proyek ”food estate” harus dievaluasi melalui kajian akademis dan data akurat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek food estate harus dievaluasi total agar mendapatkan solusi yang mengutamakan tujuan ketahanan pangan nasional daripada kepentingan politik. Pelibatan masyarakat dan akademisi yang bermakna menjadi kunci agar anggaran negara tidak mubazir.
Hal itu dikemukakan Rektor IPB University Arif Satria dalam diskusi pangan di Jakarta, Rabu (24/1/2024). Menurut Arif, seharusnya proses menuju implementasi food estate atau lumbung panganharus melalui kajian akademis dan data yang tepat sesuai dengan kondisi tanah di lokasi yang ditentukan pemerintah.
Selain itu, perlu juga melibatkan masyarakat lokal yang selama puluhan tahun bercocok tanam di situ. Dengan begitu, tujuan food estate untuk mengamankan ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan berkualitas untuk masyarakat serta memaksimalkan produksi dalam negeri akan tercapai.
”Saya tidak mengatakan food estate berhasil atau gagal karena harus berbasis data yang akurat. Saya berharap pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh berbasis kajian akademis. Perlu kajian kelayakan secara obyektif, jangan dipaksakan kalau tidak layak,” kata Arif dalam diskusi yang diselenggarakan Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL).
Saat ini, proyek food estate digarap di sejumlah provinsi, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Selatan. Misalnya, di Merauke, Papua, pemerintah akan mengembangkan 37.000 hektar lahan menjadi sawah untuk ditanami padi.
Merauke yang merupakan hamparan tanah datar dinilai sangat potensial sebagai lahan yang bisa ditanam untuk padi. Namun, menanam padi bukan kultur masyarakat Merauke sehingga proyek ini tidak bisa berjalan maksimal.
”Masalahnya, siapa yang akan memproduksi karena kultur masyarakat sana itu belum terbiasa menanam padi seperti itu, perlu proses. Kita harus jernih dan kepala dingin untuk menyelesaikan masalah pangan ini. Kalau masalah pangan terus dipolitisasi, kita akan selesai,” ucap Arif.
Makanan di meja makan kita itu sebagian besar diproduksi tangan petani, bukan korporasi besar yang menguasai lahan sangat luas.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai proyek food estate sarat kepentingan politik, merusak lingkungan, dan menimbulkan konflik agraria. Proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, adalah contoh nyata kompleksitas masalah dalam proyek ini. Singkong yang ditanam di lahan gambut gagal panen, lalu diganti dengan tanaman jagung di dalam polybag.
Padahal, anggaran yang disiapkan melalui Kementerian Pertahanan ini semakin besar. Presiden Joko Widodo menyiapkan Rp 108,8 triliun pada 2024 untuk program ketahanan pangan, salah satunya food estate. Selain itu, disinyalir ada konflik kepentingan antara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam proyek ini karena PT Agro Industri Nasional yang mengelola food estate di Kalteng merupakan perusahaan binaan Kemenhan.
Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Uli Arta Siagian, anggaran tersebut akan lebih berguna jika didistribusikan ke petani melalui fasilitas-fasilitas yang menunjang pertanian mereka. Dengan pemberdayaan petani secara konkret, maka petani lebih sejahtera dan kedaulatan pangan terjaga.
”Makanan di meja makan kita itu sebagian besar diproduksi tangan petani, bukan korporasi besar yang menguasai lahan sangat luas karena penguasaan lahan itu jatuhnya kepada industrialisasi pangan, bukan pangan di atas meja makan kita,” kata Uli.
Pangan lokal
Selain itu, KSPL masyarakat perlahan meninggalkan beras dan beralih ke pemenuhan konsumsi protein dan serat karena kesadaran kesehatan terus meningkat. KSPL memproyeksikan pada 2025 konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 92,47 kilogram per kapita per tahun, lalu turun pada 85,63 kg per kapita per tahun, dan pada 2045 menjadi 78,79 kg per kapita per tahun.
Pemerintah perlu mengembangkan potensi pangan lokal sebagai sumber pangan alternatif yang lebih adaptif terhadap kondisi spesifik lingkungan dan sosial masyarakat untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi juga telah mengamanatkan diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras dan terigu.
Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di dunia dalam keragaman hayati. Setidaknya terdapat 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu-bumbuan yang dimiliki Indonesia. Hal ini belum termasuk kekayaan sumber pangan dari sektor perikanan dan kelautan.