Gelombang Beku Melanda Sebagian Amerika Serikat Ketika Dunia Memanas
Badai salju dan suhu yang sangat dingin telah melanda Amerika Serikat saat suhu global mencapai rekor terpanas.
Badai salju dan suhu yang sangat dingin telah melanda sebagian besar wilayah Amerika Serikat bagian timur. Cuaca ekstrem dingin ini terjadi di tengah rata-rata suhu global yang mencapai rekor terpanas pada 2003 dan berlanjut hingga awal tahun ini.
Laporan NASA Earth Observatory pada Minggu (21/1/2024) menunjukkan, gelombang dingin menyebabkan angin dingin di bawah nol derajat melanda wilayah Amerika Serikat bagian timur sejak sepekan sebelumnya. Lebih dari 100 juta orang di wilayah ini mengalami suhu hingga di bawah titik beku.
Sistem gelombang dingin ini kemudian menjatuhkan hujan salju di beberapa bagian Mississippi dan Tennessee, serta mengubur kota-kota yang berada di arah berlawanan arah angin dari Great Lakes. Ketebalan salju yang melapisi wilayah ini tercatat memecahkan rekor dan melebihi rata-rata hujan salju tahunan.
Menurut Layanan Cuaca Nasional Amerika Serikat, salju setebal 2 hingga 5 inci tetap berada di tanah dekat Baltimore, Maryland, pada Minggu (21/1/2024). Hujan salju di Washington DC dan New York City mengakhiri dua tahun berturut-turut tanpa akumulasi salju yang dapat diukur.
Badai salju ini diawali oleh adanya pergerakan massa besar udara dingin Arktik sejak pertengahan Januari 2024, yang kemudian tumpah di sebagian besar wilayah Amerika Serikat yang berdekatan dengan Kanada.
Saat massa udara bergerak ke selatan, suhu udara di bawah nol derajat menetap di Montana dan Dakota pada 13 dan 14 Januari. Suhu udara di stasiun Layanan Cuaca Nasional di Billings, Montana, mencapai minus 34 derajat celsius pada 13 Januari. Menurut NASA, ini merupakan suhu terendah yang tercatat di sana sejak tahun 1999.
Angin dingin di Montana dan Dakota mencapai minus 51 derajat celsius. Sebagai gambaran, paparan angin dingin bersuhu minus 29 derajat celsius dapat menyebabkan radang dingin hanya dalam waktu 30 menit.
Semakin intens
Fenomena dingin ekstrem yang melanda Amerika Serikat ini menjadi tanda tanya. Jika dunia sedang memanas dan telah mencapai rekor suhu tertinggi pada 2023, mengapa musim dingin semakin dingin?
Fenomena cuaca ekstrem dingin sebenarnya sudah berulang kali dialami Amerika. Fenomena serupa juga terjadi di Asia Timur terutama sejak tahun 2000-an. Cuaca dingin yang ekstrem ini misalnya pernah terjadi pada Februari 2021, yang memicu pemadaman listrik besar-besaran di Texas dan menyebabkan 9,9 juta orang hidup tanpa aliran listrik.
Banyak ahli menyalahkan pemanasan Arktik dan melemahnya aliran jet akibat berkurangnya es Laut Arktik sebagai penyebab semakin ekstremnya badai salju ini. Hal ini misalnya disampaikan Mathew Barlow, profesor iklim dari UMass Lowell dalam tulisannya di "The Conversation" pada 18 Januari 2024.
Menurut dia, peristiwa dingin yang parah kali ini terjadi ketika aliran jet kutub, aliran jet musim dingin yang biasa terjadi di sepanjang perbatasan antara Arktik dan udara yang lebih beriklim sedang turun jauh ke selatan, membawa udara dingin Arktik ke wilayah yang jarang mengalaminya. Ketika pusaran stratosfer ini terganggu atau melebar, aliran jet juga dapat terdistorsi, mendorongnya ke selatan di beberapa area dan menyebabkan semburan udara dingin.
Menurut Barlow, badai dingin pada Januari 2024 ini cocok dengan pola ini, dengan pusaran kutub yang membentang sangat jauh di atas Amerika Serikat di stratosfer bawah hingga hampir terbelah menjadi dua. Ada beberapa penyebab yang mungkin menyebabkan peregangan ini, tetapi kemungkinan besar terkait dengan cuaca garis lintang tinggi dalam dua minggu sebelumnya.
Baca juga: Lebih dari 80 Warga AS Tewas akibat Badai Salju Ekstrem
Dimulai dari lautan
Mengapa terjadinya pelebaran pusaran stratosfer belum dijabarkan oleh Barlow? Penelitian yang diterbitkan di Nature Communications pada 27 November 2023 sepertinya bisa lebih menjelaskan mengenai tren badai dingin di musim dingin.
Penelitian yang ditulis Mi-Kyung Sung dari Climate and Environmental Research Institute, Korea Institute of Science and Technology dan tim, ini menelusuri bagaimana gelombang dingin bisa melanda di tengah pemanasan global.
Menurut Sung dan tim, pemanasan dan perubahan arus lautan menjadi sumber terjadinya suhu ekstrem dingin yang semakin sering terjadi di musim dingin di wilayah Asia Timur dan Amerika Utara.
Pemanasan dan perubahan arus lautan menjadi sumber terjadinya suhu ekstrem dingin yang semakin sering terjadi di musim dingin di wilayah Asia Timur dan Amerika Utara.
Arus laut mempunyai dampak besar terhadap cuaca dan iklim negara-negara ini karena tidak hanya mengangkut materi tersuspensi dan terlarut tetapi juga energi panas. Secara khusus, wilayah tempat suhu berubah dengan cepat dalam garis lintang yang sempit, seperti Gulf Stream di Samudra Atlantik dan wilayah hilir Arus Kuroshio di Samudra Pasifik, sebagai penyebab peningkatan gelombang dingin yang ekstrem.
Dari awal tahun 2000-an hingga baru-baru ini, tren dingin yang tidak wajar di Asia Timur bertepatan dengan akumulasi panas di dekat Gulf Stream di Atlantik Utara, sesangkan di Amerika Utara bertepatan dengan peningkatan akumulasi panas di dekat Arus Kuroshio ini. Wilayah frontal samudra bertindak sebagai termostat untuk mengontrol frekuensi gelombang dingin musim dingin dan suhu tinggi yang tidak wajar.
Proses akumulasi panas di wilayah frontal samudra berlangsung selama bertahun-tahun hingga puluhan tahun. Pada saat ini, jeda pemanasan dapat terjadi di kawasan benua yang berlawanan dengan tren pemanasan global. Sebaliknya, selama beberapa dekade pendinginan frontal laut, kawasan benua tampaknya mengalami percepatan pemanasan yang tajam.
Implikasi ke masa depan
Peran muka laut sebagai modulator iklim selama beberapa dekade menimbulkan pertanyaan mengenai variabilitas muka laut dan responsnya terhadap pemanasan global. Meskipun ciri-ciri yang diamati di cekungan Atlantik Utara dan Pasifik Utara tampak serupa, proses mendasar yang mendorong perubahan selama beberapa dekade berbeda.
Menurut Sung, struktur dan intensitas gradien termal di dekat Gulf Stream sangat dipengaruhi oleh Sirkulasi Pembalikan Meridional Atlantik (AMOC), yang cabang permukaan lokalnya membentuk Gulf Stream. Di Pasifik Utara, pengaruh jarak jauh dari Pasifik tropis, seperti dampak ENSO yang ditularkan melalui perambatan gelombang planet, memainkan peran penting.
Selain sirkulasi skala cekungan ini, banyak proses yang beroperasi di berbagai rentang waktu berkontribusi terhadap pembentukan variabilitas puluhan tahun. Hal ini termasuk gelombang samudra yang memengaruhi sirkulasi pusaran garis lintang tengah, persistensi multitahun di lapisan campuran lautan, dan pertukaran panas dengan gangguan atmosfer. Akibatnya, pendinginan selama beberapa dekade yang diamati di dua wilayah benua sebagian besar disebabkan oleh efek gabungan dari faktor-faktor sistem iklim internal yang terintegrasi ke dalam memori lapisan campuran lautan di garis lintang tengah.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa tren pendinginan musim dingin yang diamati hanya disebabkan oleh variabilitas iklim alami. Perbandingan antara eksperimen peningkatan dan simulasi pengendalian praindustri, yang mewakili variabilitas iklim tanpa faktor antropogenik, mengungkapkan bahwa pemanasan global karena ulah manusia memperkuat variabilitas puluhan tahun di Asia Timur, tetapi melemahkannya di Amerika Utara.
Akibatnya, di Asia Timur, peristiwa pendinginan selama satu dekade menjadi lebih sering terjadi karena adanya tekanan antropogenik, sementara di Amerika Utara kejadian tersebut menjadi lebih sedikit.
Kajian ini menunjukkan bahwa tren pendinginan selama beberapa dekade terakhir pada dasarnya diperkuat oleh variabilitas alami yang bersifat sementara dalam sistem iklim global. Dengan tren ini, kita dapat memperkirakan cuaca musim dingin yang hangat di luar musimnya akan menjadi lebih umum terjadi ke depannya, seiring dengan berkurangnya penumpukan panas di permukaan laut.
Baca juga: Warga AS Bertahan Hidup dalam Cengkeraman Musim Dingin Mematikan
Yang jelas, ketika pemanasan global semakin intensif di masa depan dan mengubah struktur lautan, variasi iklim regional ini dapat berubah secara dramatis. Pemanasan global telah memberi tambahan energi untuk mendorong terjadinya fenomena ekstrem.