Pemakaian gawai tanpa batasan rentan membahayakan anak akibat paparan konten negatif di dunia digital. Perbanyaklah konten digital ramah anak dengan pendampingan orangtua untuk memastikan anak tidak terpapar konten negatif.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan orangtua dan pembatasan menggunakan gawai belum cukup melindungi anak dari paparan konten negatif di ruang digital. Konten bermuatan pornografi, kekerasan, perundungan, kejahatan siber, dan ujaran kebencian menyebar luas di ranah daring. Oleh sebab itu, konten digital yang ramah anak perlu diperbanyak.
Transformasi digital membuat gawai kian dibutuhkan, salah satunya untuk mendukung pembelajaran anak. Gawai juga dipakai untuk bermain gim. Alhasil, aktivitas anak di ruang digital semakin intens.
Akan tetapi, pemakaian gawai tanpa batasan juga bisa membahayakan anak. Banyak konten di ruang digital tidak layak diakses oleh anak. Apalagi, anak belum bisa membedakan konten yang baik dan buruk untuk dirinya.
Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga Henri Subiakto mengatakan, mengembangkan konten ramah anak sangat penting di tengah pesatnya peningkatan pengguna internet di Tanah Air. Jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 215 juta pengguna pada 2023, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan 210 juta pengguna.
Para kreator konten didorong untuk membuat konten ramah anak, di antaranya yang mendidik anak berkelakuan baik, meningkatkan rasa ingin tahu, mengasah kreativitas dan imajinasi, serta mengajarkan kesetaraan dan keberagaman. Konten-konten itu kemudian diunggah dan disebar di platform digital, salah satunya melalui media sosial.
”Konten-konten seperti ini sudah ada. Namun, akan semakin baik kalau jumlahnya semakin banyak,” ujarnya dalam webinar ”Mengembangkan Konten Digital Ramah Anak” yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Selasa (23/1/2024).
Konten ramah anak tersebut dapat dibuat dengan beraneka rupa, seperti animasi pendidikan dan kartun edukatif, musik anak-anak, ulasan tentang permainan, cerita dongeng atau buku bergambar, dan kumpulan video lucu. Pendampingan orangtua sangat dibutuhkan untuk memastikan anak tidak mengakses konten negatif saat berselancar di jagat maya.
Akan tetapi, pemakaian gawai tanpa batasan juga bisa membahayakan anak. Banyak konten di ruang digital tidak layak diakses oleh anak. Apalagi, anak belum bisa membedakan konten yang baik dan buruk untuk dirinya.
Kebebasan mengakses internet tanpa pembatasan justru berpotensi berdampak buruk bagi anak. Sebab, selain berisiko mengakses konten yang tidak sesuai dengan usianya, anak juga rentan menjadi korban kejahatan siber dan seksual.
”Karena memang konten yang tidak pantas itu banyak di media sosial atau internet. Supaya tidak terpapar pada anak, harus ada upaya membatasi, baik dalam hal waktu maupun dengan menyediakan konten alternatif ramah anak,” jelasnya.
Meningkatnya pengguna internet usia anak memunculkan berbagai kekhawatiran. Sebab, meskipun sejumlah platform media sosial telah mensyaratkan usia minimum 13 tahun, tidak sedikit anak yang belum memenuhi syarat usia itu dapat mengakses media sosial.
Kecanduan
Tingginya aktivitas di ruang digital membuat anak kecanduan gawai. Alhasil, terdapat berbagai dampak negatif, mulai dari gangguan tidur dan kecemasan, sulit berkonsentrasi, menurunkan minat belajar, meningkatkan risiko perilaku agresif, hingga menjauh dari lingkungan sosial.
”Kecanduan seperti ini bisa mengganggu pertumbuhan dan kejiwaan dari anak itu sendiri. Seakan-akan dia mengenal kehidupan dari ’jendela’ gawai yang dia lihat,” katanya.
Henri mengungkapkan ciri-ciri anak kecanduan gawai, di antaranya kehilangan minat pada aktivitas lain, menarik diri dari lingkungan sekitar, dan gampang marah saat dilarang menggunakan gawai. Anak juga berpotensi berbohong tentang durasi screen time atau waktu untuk menatap layar gawai yang telah disepakati dengan orangtua.
Menurut dia, terdapat beberapa tips untuk mengatasi kecanduan gawai pada anak, seperti membatasi waktu penggunaan, memberi ruang khusus untuk bermain, dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan anak agar tidak kesepian. ”Orangtua harus menjadi contoh yang baik. Di hadapan anak tidak boleh menunjukkan adiktif memakai gawai,” ucapnya.
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Jamilah Sabri Sanam, mengatakan, konten digital yang tidak sesuai dengan anak dapat memicu masalah psikologis. Anak-anak rentan melakukan tindakan di luar kewajaran karena terpengaruh oleh konten-konten negatif.
”Jadi, peran orangtua sangat penting dalam mendampingi anak ketika bermain gawai. Selain itu, perlu diimbangi antara waktu anak memakai gawai dan interaksi mereka di dunia nyata,” katanya.
Jamilah menambahkan, terdapat beberapa kemampuan anak yang perlu dibangun di era digital. Kemampuan itu seperti penggunaan perangkat elektronik untuk mengakses informasi yang sesuai, memahami makna gambar, teks, audio, dan video, serta merekam ide dan gagasan yang ada di lingkungan sekitarnya.