Sepertiga Anak yang Mengidap Meningitis Bakterial Hidup dengan Cacat Permanen
Satu dari tiga anak yang pernah menderita meningitis bakterial berisiko hidup dengan cacat neurologis permanen.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu dari tiga anak yang pernah menderita meningitis bakterial berisiko hidup dengan cacat neurologis permanen. Karena anak-anak termasuk rentan terkena radang otak ini, konsekuensinya sangat signifikan bagi beban kesehatan jangka panjang.
Hal ini berdasarkan studi epidemiologi baru yang dipimpin oleh Karolinska Institutet dan diterbitkan di JAMA Network Open pada Jumat (19/1/2024). Salini Mohanty dari Center for Observational and Real-World Evidence (CORE), Merck & Co Inc, Amerika Serikat, menjadi penulis pertama kajian ini.
Menurut Mohanty dan tim, meningitis bakterial adalah radang otak sangat serius yang dapat menyerang orang dari segala usia, tetapi paling sering terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak dan remaja, serta orang lanjut usia. Hal ini sering disebabkan oleh pneumokokus (Streptococcus pneumoniae) yang juga merupakan penyebab utama infeksi saluran pernafasan akibat bakteri seperti pneumonia, otitis, dan sinusitis.
Meningitis bakteri yang tidak diobati dapat berakibat fatal, walaupun infeksinya kini dapat disembuhkan dengan antibiotik. Sekalipun demikian, antibiotik sulit menembus sawar darah otak sehingga memerlukan waktu untuk melawan infeksi. Selama ini sel saraf bisa rusak dan mengakibatkan berbagai kerusakan saraf permanen. Selain itu, terdapat ancaman resistensi antibiotik yang terus-menerus dihadapi di klinik.
Untuk pertama kalinya, para peneliti mengidentifikasi beban kesehatan jangka panjang akibat meningitis bakterial yang bisa menyebabkan kerusakan neurologis permanen. Dan, karena anak-anak sering terkena dampaknya, konsekuensinya sangat signifikan.
”Ketika anak-anak terkena dampaknya, seluruh keluarga juga terkena dampaknya. Jika anak usia 3 tahun mengalami gangguan kognisi, cacat motorik, gangguan atau kehilangan penglihatan atau pendengaran, maka dampaknya besar. Ini adalah cacat seumur hidup yang menjadi beban besar baik bagi individu maupun masyarakat, karena mereka yang terkena dampak memerlukan dukungan layanan kesehatan selama sisa hidup mereka,” kata Federico Iovino, profesor Mikrobiologi Medis di Departemen Neuroscience, Karolinska Institutet, dan salah satu penulis penelitian ini.
Dengan menganalisis data dari daftar kualitas meningitis bakterial Swedia antara tahun 1987 dan 2021, para peneliti dapat membandingkan lebih dari 3.500 orang yang tertular meningitis bakterial saat masih anak-anak dengan lebih dari 32.000 kontrol yang cocok dari populasi umum. Waktu tindak lanjut rata-rata lebih dari 23 tahun.
Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang didiagnosis dengan meningitis bakterial secara konsisten memiliki prevalensi cacat neurologis yang lebih tinggi seperti gangguan kognitif, kejang, gangguan penglihatan atau pendengaran, gangguan motorik, gangguan perilaku, atau kerusakan struktural pada kepala.
Ini adalah cacat seumur hidup yang menjadi beban besar baik bagi individu maupun masyarakat, karena mereka yang terkena dampak memerlukan dukungan layanan kesehatan selama sisa hidup mereka.
Risiko tertinggi terjadi pada cedera kepala struktural dengan risiko 26 kali lipat. Gangguan pendengaran hampir delapan kali lipat risikonya, dan gangguan motorik hampir lima kali lipat risikonya.
Sekitar 1 dari 3 orang yang terkena meningitis bakterial memiliki setidaknya satu gangguan neurologis dibandingkan dengan 1 dari 10 orang dalam kelompok kontrol.
”Hal ini menunjukkan bahwa meskipun infeksi bakteri telah disembuhkan, banyak orang menderita gangguan neurologis setelahnya,” kata Federico Iovino.
Dengan teridentifikasinya efek jangka panjang dari meningitis bakterial, Federico Iovino dan rekan-rekannya kini akan melanjutkan penelitian mereka. ”Kami mencoba mengembangkan pengobatan yang dapat melindungi neuron di otak dalam waktu beberapa hari yang diperlukan agar antibiotik dapat memberikan efek penuh. Kami sekarang memiliki data yang sangat menjanjikan dari neuron manusia dan baru memasuki fase praklinis dengan model hewan. Pada akhirnya kami berharap dapat menyajikan hal ini di klinik dalam beberapa tahun ke depan,” kata Federico Iovino.