Ignas Kleden meninggalkan teladan bahwa semua ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang harus disebarluaskan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cendekiawan sastra dan sosiolog, Ignas Kleden, meninggal dunia pada Senin (22/1/2024) dalam usia 75 tahun di Jakarta. Teladan dan dedikasi untuk ilmu pengetahuan sosial serta humaniora dalam diri pria kelahiran 19 Mei 1948 di Waibalun, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, ini selalu membekas di hati.
Ignas meninggal dunia pukul 03.42 setelah menjalani perawatan intensif selama sepekan di Rumah Sakit Suyoto, Jakarta Selatan. Sepekan itu merupakan saat-saat terakhirnya berjuang melawan sakit gangguan ginjal yang diidap selama dua tahun terakhir.
Bagi adik Ignas, Hermien Y Kleden, kepergian kakaknya ini meninggalkan teladan bahwa semua ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang harus disebarluaskan. Di waktu terakhirnya pun, Ignas meminta semua keluarganya untuk tetap terus berbagi memajukan masyarakat.
”Terakhir dia masih mengajak saya diskusi, ’apakah kamu masih terus berkontribusi untuk kehidupan sosial?’, saya jawab, ’iya’, tetapi saya minta beliau untuk tidak memikirkan itu dan fokus untuk sembuh,” kata Hermien di Rumah Duka Carolus, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024).
Sementara bagi anaknya, Paskal Kleden, kepergian sang ayah sama dengan kehilangan teman diskusi yang baik di keluarga. Namun, keluarga juga memandang berpulangnya ini sebagai penyembuhan yang abadi bagi Ignas.
”Kami berbahagia penderitaannya sudah selesai dan ternyata sekarang banyak sekali orang yang sayang dan mendoakan ayah. Terima kasih semua,” kata Paskal.
Jenazah Ignas kini disemayamkan di Rumah Duka Carolus, Jakarta Pusat. Menurut rencana, pelaksanaan misa rekuiem dan tutup peti dilaksanakan pada Selasa (23/1/2024) pukul 18.30 dan misa pelepasan dilanjutkan dengan kremasi pada esoknya pukul 10.00.
Ignas meninggalkan seorang istri, Ninuk Kleden Probonegoro yang merupakan antropolog, seorang anak laki-laki Paskal Kleden, dan menantunya, Trisna Adiwibowo.
Kami berbahagia penderitaannya sudah selesai dan ternyata sekarang banyak sekali orang yang sayang dan mendoakan ayah. Terima kasih semua.
Ketekunannya dalam belajar tergambar dalam usahanya menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Ledalero, Maumere, Flores (1972), lalu meraih gelar master of art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Munchen, Jerman (1982), hingga meraih gelar doktor bidang sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Ignas juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. Dia sempat bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies, Jakarta.
Tahun 2000 dia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur. Buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan Kompas 1997) juga memuat esainya, ”Simbolis Cerita Pendek”. Oleh Kompas, dia diberi Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2016.
Kumpulan esai tentang perbukuan, Buku dalam Indonesia Baru (1999), memuat salah satu tulisannya, ”Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan”. Kumpulan esainya diluncurkan dalam buku berjudul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) serta Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004).
Semasa hidup, Ignas Kleden juga menulis kata pengantar untuk buku Mempertimbangkan Tradisi karya Rendra tahun 1993, Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad 1989, dan Yel karya Putu Wijaya pada 1995.
Pada 20 tahun lalu, Ignas Kleden bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono juga menerima Penghargaan Achmad Bakrie. Dia dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat esai dan kritik kebudayaannya.