Mengukur Kekuatan Otot Pasien Stroke Lebih Akurat
Lewat alat yang dikembangkan peneliti Universitas Diponegoro, hasil pengukuran kekuatan otot pasien jadi lebih akurat.
Selama ini, pengukuran kekuatan otot pada pasien rehabilitasi pascastroke masih banyak dilakukan secara manual. Lewat alat yang dikembangkan oleh peneliti di Universitas Diponegoro Semarang, hasil pengukuran kekuatan otot pasien menjadi lebih akurat.
Stroke merupakan gangguan pada fungsi sistem saraf akibat peredaran darah ke otak terganggu. Gangguan pada pembuluh darah tersebut bisa disebabkan pembuluh darah di otak yang tersumbat (stroke iskemik) atau pembuluh darah di otak yang pecah (stroke hemoragik).
Ketika seseorang terkena stroke, dampaknya bisa berbagai macam, mulai dari menurunnya kekuatan otot, hilangnya sensibilitas pada sebagian anggota tubuh, maupun menurunnya kemampuan menggerakkan anggota tubuh. Karena itu, setelah stroke yang dialami teratasi, pasien memerlukan terapi pemulihan pascastroke.
Baca juga: Periode Emas 4,5 Jam yang Menyelamatkan Pasien Stroke
Selama terapi, pasien akan menjalani sejumlah latihan yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot pasien. Dengan begitu, fungsi motorik anggota gerak pasien diharapkan bisa kembali normal.
Namun, sebelum terapi pascastroke dilakukan, dokter perlu mengukur kekuatan otot pasien. Selama ini, pengukuran kekuatan otot lebih banyak dilakukan secara manual. Kekuatan atau kontraksi otot dilihat dari kemampuan pasien ketika mengangkat lengan, menekuk, menggenggam, ataupun mempertahankan kontraksi ketika tangan atau kaki melawan arah gravitasi.
Sekalipun hasil pemeriksaan itu sudah dianggap cukup untuk menggambarkan kriteria atau tingkatan kekuatan otot pasien, pemeriksaan otot secara manual tersebut bersifat subyektif. Hasilnya juga kurang akurat serta tidak ada angka pasti terkait nilai kekuatan otot pasien.
Karena itu, alat khusus yang bisa mengukur kekuatan otot dengan hasil yang terukur sangat dibutuhkan. Alat untuk mengukur kekuatan otot sebenarnya sudah tersedia. Akan tetapi, produk yang tersedia merupakan buatan luar negeri yang harganya sangat mahal, sekitar Rp 320 juta.
MyoMES
Tim peneliti dari Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan Perguruan Tinggi (PUI-PT) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang berupaya mengembangkan alat khusus untuk mengukur kekuatan otot. Alat ukur yang telah diberi nama MyoMES tersebut kini sudah dalam tahap hilirisasi di industri, yakni melalui PT Mursmedic Jaya Mandiri (MJM). Diharapkan pada tahun 2024 ini, produk tersebut sudah bisa dipasarkan dan masuk pada e-catalog.
Peneliti yang mengembangkan MyoMES, Rifky Ismail, yang juga Ketua Program Studi Teknik Mesin Undip, ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (21/1/2024), mengatakan, penelitian dan pengembangan MyoMES mulai dilakukan pada 2018. Alat ukur kekuatan otot tersebut dikembangkan untuk mendukung pemanfaatan inovasi yang sudah dihasilkan sebelumnya, yakni tangan bionik.
Tangan bionik merupakan tangan palsu berbasis robotik yang dapat digunakan untuk menggantikan fungsi tangan yang hilang akibat kelainan maupun amputasi. Sebelum dipasang di tubuh pasien, pemeriksaan kekuatan otot harus dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan lokasi yang optimal terjadinya kontraksi otot. Lokasi tersebut yang nantinya akan menjadi lokasi penempatan sensor tangan bionik.
”Sebelum memasang tangan bionik, kita harus tahu tingkat kontraksi dari otot yang tersisa. Barulah saat itu, sekitar tahun 2018, kami mulai membuat device (alat) untuk mengukur kekuatan otot sehingga pemasangan tangan bionik bisa lebih lancar,” tutur Rifky.
Dalam pengembangan, alat ukur kekuatan otot tersebut ternyata dapat dimanfaatkan pula untuk pasien dengan kondisi lain, yakni pasien yang menjalani terapi pascastroke. Barulah mulai saat itu, pengembangan alat ukur kekuatan otot difokuskan untuk pasien yang menjalani rehabilitasi pascastroke.
Pada prinsipnya, MyoMES dapat digunakan untuk mengukur kekuatan otot saat kontraksi. Pengukuran dapat dilakukan di berbagai titik ukur, seperti di tangan, kaki, leher, atau lokasi otot lainnya. Alat ini akan membantu dokter untuk mengevaluasi fungsi dan kekuatan otot individu berdasarkan kinerja gerakan tubuh.
MyoMES dapat digunakan untuk mengukur kekuatan otot saat kontraksi. Alat ini akan membantu dokter untuk mengevaluasi fungsi dan kekuatan otot individu berdasarkan kinerja gerakan tubuh.
Pengukuran dapat dilakukan sebelum dan sesudah terapi rehabilitasi pascastroke diberikan. Dengan hasil yang akurat, evaluasi terhadap kondisi pasien bisa lebih baik. Intervensi lanjutan yang diberikan pun menjadi lebih tepat.
MyoMES bekerja untuk mengukur kekuatan otot berbasis sensor elektromiografi permukaan (EMG). Sensor EMG telah digunakan untuk memprediksi kemampuan motorik manusia. Alat ini cukup praktis digunakan. Dilengkapi dengan baterai yang tertanam pada alat, MyoMES dapat dibawa dengan mudah (portable). Alat ini memiliki ukuran panjang 19 sentimeter (cm), lebar 11,5 cm, dan tinggi 5,5 cm.
Secara teknis, setelah saklar pada alat dinyalakan, sensor dapat disambungkan pada port yang tersedia. Setelah itu, sensor dari alat diletakkan di permukaan kulit di titik tempat kekuatan otot yang akan diperiksa. Setelah itu, lampu indikator akan menyala dengan menunjukkan hasil tingkat kekuatan otot.
Terdapat delapan lampu indikator yang disematkan pada MyoMES sesuai tingkatan kontraksi otot yang dihasilkan. Level 1 merupakan tingkatan paling lemah dan level 8 merupakan tingkatan paling kuat.
Pengembangan telah dilakukan agar hasil pemeriksaan bisa ditunjukkan secara digital. Pada pengembangan terbaru, alat dilengkapi dengan layar digital sehingga hasil pengukuran dapat dilihat dalam bentuk persentase angka.
Baca juga: Masker Herbal Karya FK Undip Diklaim Mampu Proteksi Imun Jalan Napas
Seiring dengan pengembangan tersebut, peneliti juga tengah mengupayakan konektivitas dengan sistem Android. ”Kami sedang kembangkan agar pola kontraksi otot yang muncul dalam proses pemeriksaan bisa secara langsung juga muncul di sistem Android. Pola kontraksi yang muncul dapat pula disimpan dalam cloud yang nantinya bisa diunduh oleh dokter sebagai rujukan terapi,” kata Rifky.
Untuk sementara, alat ini baru bisa digunakan di fasilitas kesehatan yang dioperasikan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain. Namun, nantinya alat ini diharapkan bisa digunakan masyarakat umum sebagai bagian dari upaya penapisan mandiri di rumah.
Rifky menyampaikan, pengembangan manfaat MyoMES masih akan dilanjutkan. Selain pengembangan untuk memperkuat konektivitas dengan sistem Android, alat ini juga akan dikembangkan untuk dimanfaatkan pada kondisi pasien lain seperti untuk mengukur kekuatan otot pada lansia serta mengukur kekuatan otot pada anak dengan tengkes (stunting).
Dukungan
Rifky menuturkan, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan agar pengembang yang dilakukan bisa berjalan dengan baik. Pemerintah pun diharapkan turut mendukung inovasi dari peneliti dalam negeri. Kepastian penyerapan alat yang dihasilkan sangat dibutuhkan untuk mendukung pengembangan selanjutnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalucia dalam acara peluncuran ”Pedoman Hilirisasi Penelitian Alat Kesehatan” di Jakarta, Jumat (19/1/2024), menyampaikan, hilirisasi penelitian alat kesehatan nasional terus dipacu. Kerja sama pentaheliks akan terus diperkuat, mulai dari pemerintah, peneliti, industri, dan perguruan tinggi.
Menurut dia, ekosistem industri alat kesehatan nasional perlu diubah menjadi industri yang fokus pada pengembangan alat kesehatan dalam negeri. Dengan begitu, ketahanan bangsa terhadap kebutuhan alat kesehatan bisa tercapai. Saat ini, sebagian besar alat kesehatan di Indonesia masih didominasi alat kesehatan dari luar negeri.
Baca juga: Kapasitas Riset Farmasi dan Alat Kesehatan Perlu Diperkuat
Data pada 2022 menunjukkan, jumlah izin edar alat kesehatan dalam negeri (AKD) sebanyak 14.318. Jumlah itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan izin edar alat kesehatan luar negeri (AKL) sebanyak 54.627 izin edar. Produk AKD juga hanya 425 jenis, sementara produk AKL mencapai 1.554 jenis.
”Ketahanan di sektor alat kesehatan tidak bisa kita lihat hanya dari sisi akses atau ketersediaan saja, tetapi jika ingin berkelanjutan kita harus mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari riset dan pengembangan, produksi, sampai ke distribusinya,” tutur Rizka.