Mary Jane Veloso adalah korban TPPO. Pembebasan Mary Jane dari hukuman mati terus dinantikan hingga kini.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian izin dari Pemerintah Indonesia kepada Mary Jane Veloso untuk memberikan kesaksian sebagai saksi korban perdagangan orang atas tindakan dua warga negara Filipina, Maria Christina P Sergio dan Julius Lacanilao, merupakan sebuah kemajuan besar. Sebab, langkah besar pemerintah tersebut menjadi babak baru bagi Mary Jane untuk menempuh upaya hukum selanjutnya agar terbebas dari hukuman mati.
”Komitmen Presiden Joko Widodo untuk memberikan akses keadilan bagi Mary Jane Veloso sudah semestinya dituntaskan dengan membebaskannya dari hukuman melalui grasi kepada Mary Jane,” ujar M Afif Abdul Qoyim, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), mewakili Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI), Jumat (19/1/2024), di Jakarta.
Selain Afif, hadir juga mewakili JATI, Wiwin Warsiating dari Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Andri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Aisya Humaida (LBHM), Teresa Prasetyo dari organisasi Reprieve, Nurina (Amnesty International Indonesia), dan Suster Lauren (Women Voice).
JATI yang terdiri atas berbagai organisasi masyarakat sipil juga berharap Pemerintah Indonesia mengawal proses hukum di Filipina sebagai komitmen nyata dalam penghapusan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Karena itu, JATI mengirim surat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, dan Jaksa Agung terkait dengan perkembangan terbaru proses hukum kasus perdagangan orang di mana kesaksian Mary Jane Veloso dibutuhkan di pengadilan Filipina.
Kasus yang dialami oleh Mary Jane sebenarnya banyak dialami pekerja migran Indonesia di luar negeri. Namun, dalam perkembangan proses hukumnya, kasus Mary Jane belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented case). ”Terobosan hukum untuk penerapan prinsip non-penghukuman akan menjadi preseden baik dalam perlindungan korban TPPO tidak hanya di Indonesia dan Filipina, tetapi juga di tingkat regional dan global,” ujar Afif.
JATI menilai pidana mati terhadap Mary Jane tidak akan membawa keadilan bagi siapa pun, sebaliknya justru bertentangan dengan keadilan karena merenggut kehidupan perempuan miskin seperti Mary Jane.
Maka, proses pengambilan kesaksian ini bukan sebagai titik akhir untuk melegitimasi eksekusi mati terhadap Mary Jane, tetapi justru babak baru dalam menempuh proses upaya hukum dengan tujuan untuk membebaskan Mary Jane dari pidana mati. ”Karena itulah JATI mendesak Pemerintah Indonesia menuntaskan kasus Mary Jane di Indonesia melalui saluran keadilan hukum yang tersedia sebagai komitmen Indonesia melawan TPPO,” tambah Andri.
JATI mengapresiasi rencana pengambilan kesaksian tertulis Mary Jane Veloso sebagai saksi korban perdagangan orang dalam kasus Maria Christina P Sergio dan Julius Lacanilao, sebagaimana disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Filipina. Kedua negara sepakat, pengambilan kesaksian tersebut melalui mekanisme Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters atau MLA).
Kesaksian Mary Jane Veloso merupakan langkah penting untuk menegaskan bukti bahwa dia merupakan korban dari tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi sebagai kurir narkotika.
”Kesaksian Mary Jane Veloso merupakan langkah penting untuk menegaskan bukti bahwa dia merupakan korban dari tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi sebagai kurir narkotika,” ujar Teresa.
Apalagi sebelumnya, Pengadilan Regional Nueva Ecija Filipina menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup serta denda sebesar 2 juta peso kepada keduanya atas tindakan perekrutan ilegal tenaga kerja berskala besar berdasarkan putusan perkara no SD (15)-3666 tertanggal 14 Januari 2020.
Maria dan Julius terbukti tidak memiliki lisensi resmi sebagai perekrut tenaga kerja untuk ditempatkan ke luar negeri. Mereka merupakan pelaku yang juga merekrut dan mengajak Mary Jane ke Malaysia dengan janji mendapat pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga.
Proses hukum yang berjalan di Filipina juga sejalan dengan berbagai pendapat hukum dan HAM, eksaminasi hukum, dan pendapat para pakar yang menyebutkan dugaan kuat bahwa Mary Jane merupakan korban perdagangan orang yang direkrut dan dieksploitasi untuk menjadi kurir narkotika.
Karena itu, dalam surat kepada Menkumham, Menlu, dan Jaksa Agung, JATI menyatakan hak-hak Mary Jane sebagai saksi korban kasus perdagangan orang, sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang dan perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia, harus dipastikan dipenuhi dan dihormati.
Hak tersebut antara lain mendapat pendampingan hukum, mendapatkan informasi mengenai kasus di mana dia diambil keterangannya, mendapat perlindungan, repatriasi, dan pemulihan. Peristiwa pelanggaran fair trial dalam proses hukum sebelumnya hendaknya menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali.
Menurut JATI, Mary Jane harus dibebaskan karena dalam kasus perdagangan orang dikenal prinsip non-hukuman (non-punishment principle) yang menetapkan bahwa korban perdagangan orang tidak boleh dituntut atau dihukum atas tindakan melawan hukum yang mereka lakukan sebagai akibat dari perdagangan orang.
Prinsip ini bukan berarti memberikan kekebalan hukum bagi Mary Jane, tetapi alat untuk memberikan perlindungan terhadap Mary Jane sebagai korban TPPO dan jaminan penyelesaian proses peradilan pidana berbasis HAM yang saat ini sedang berjalan di Filipina.
Sebagai warga negara asing yang merupakan korban TPPO, Wiwin menegaskan, Mary Jane berhak mendapatkan perlindungan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Ayat (2) UU TPPO, yakni dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia.
Sebelumnya, Rabu lalu, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DIY Herwatan mengatakan, Mary Jane akan memberikan kesaksian tertulis kepada Pemerintah Filipina melalui mekanisme kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana.