Stres Masa Kecil Terkait dengan Risiko Gangguan Kardiometabolik
Kondisi kesehatan mental saat kanak-kanak sangat menentukan kesehatan fisik di masa dewasa.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesehatan mental saat kanak-kanak sangat menentukan kesehatan fisik di masa dewasa. Bukti sains terbaru menunjukkan keterkaitan stres yang dialami pada masa kanak-kanak dengan risiko masalah kesehatan saat dewasa yang lebih tinggi, seperti tekanan darah tinggi, obesitas, dan faktor risiko kardiometabolik lainnya.
Laporan tersebut diterbitkan dalam Journal of American Heart Association, Rabu (17/1/2024). Dalam kajian ini, para peneliti meninjau data 276 orang dari komunitas California Selatan yang berpartisipasi dalam Studi Kesehatan Anak California Selatan. Peserta terdaftar sebagai anak-anak dari tahun 2003 hingga 2014 dan berpartisipasi dalam penilaian kesehatan lanjutan sebagai orang dewasa dari tahun 2018 hingga 2021.
Sekitar 56 persen peserta adalah perempuan, 62 persen diidentifikasi berkulit putih, 5 persen sebagai orang Asia; 1 persen sebagai orang kulit hitam atau penduduk asli Amerika, dan 13 persen diklasifikasikan sebagai ”lain-lain”. Sekitar 47 persen diidentifikasi sebagai Hispanik.
Faktor risiko kardiometabolik
Faktor risiko kardiometabolik sering terjadi bersamaan dan merupakan penyebab signifikan penyakit kardiovaskular. Ini termasuk obesitas, diabetes tipe 2 atau pradiabetes, kolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi.
”Memahami dampak stres yang dirasakan sejak masa kanak-kanak adalah penting untuk mencegah, mengurangi, atau mengelola faktor risiko kardiometabolik yang lebih tinggi pada orang dewasa muda,” kata penulis studi tersebut, Fangqi Guo, peneliti pascadoktoral di Keck School of Medicine, University of Southern California, Los Angeles, Amerika Serikat.
”Temuan kami menunjukkan bahwa pola stres yang dirasakan dari waktu ke waktu mempunyai dampak luas pada berbagai tindakan kardiometabolik termasuk distribusi lemak, kesehatan pembuluh darah, dan obesitas,” kata Guo. ”Hal ini dapat menyoroti pentingnya manajemen stres sejak masa remaja sebagai perilaku perlindungan kesehatan.”
Pada tahun 2020, penyakit kardiometabolik, termasuk penyakit kardiovaskular dan diabetes tipe 2, merupakan kondisi kesehatan kronis yang paling umum dan secara kolektif menyebabkan hampir seperempat dari seluruh kematian di AS.
Pada tahun 2023, American Heart Association mencatat adanya hubungan kuat antara penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal, diabetes tipe 2, dan obesitas, dan menyarankan untuk mendefinisikan ulang risiko, pencegahan, dan pengelolaan kardiovaskular.
Dalam kajian ini, peneliti menganalisis informasi kesehatan dari Southern California Children's Health Study. Peserta telah terdaftar dalam penelitian ini saat masih anak-anak bersama dengan orangtua mereka, kemudian berpartisipasi dalam penilaian tindak lanjut saat remaja, rata-rata berusia 13 tahun, dan saat dewasa muda, rata-rata berusia 24 tahun.
Pada setiap tahap, stres diukur dengan empat ”Skala Stres yang Dirasakan”, yaitu kuesioner tentang perasaan dan pikiran selama sebulan terakhir. Peserta penelitian dikategorikan dalam empat kelompok berdasarkan risiko: stres yang tinggi secara konsisten dari waktu ke waktu, stres yang menurun dari waktu ke waktu, stres yang meningkat dari waktu ke waktu, dan stres yang rendah secara konsisten dari waktu ke waktu.
Untuk mengevaluasi risiko kardiometabolik pada masa dewasa muda, Guo dan rekannya menggunakan ukuran ketebalan intima-media arteri karotis (mengukur ketebalan arteri leher); tekanan darah sistolik (angka atas) dan diastolik (angka bawah); berat badan, persentase lemak tubuh dan distribusi lemak; dan hemoglobin A1c. Hemoglobin A1c mengukur gula darah dari waktu ke waktu; peningkatan ketebalan lapisan dalam arteri leher menunjukkan bahwa darah mungkin tidak mengalir dengan lancar; dan lebih banyak lemak di sekitar perut dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular dan atau diabetes tipe 2.
Dampak stres masa kecil
Analisis menemukan, stres yang dirasakan tinggi secara konsisten dari masa remaja hingga dewasa dikaitkan dengan risiko penyakit kardiometabolik yang lebih besar di masa dewasa muda. Jika seseorang mengalami tingkat stres yang lebih besar sejak masa remaja hingga dewasa, mereka cenderung memiliki kesehatan pembuluh darah yang lebih buruk, total lemak tubuh yang lebih tinggi, lebih banyak lemak di sekitar perut, dan risiko obesitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang stresnya berkurang seiring berjalannya waktu.
Secara umum, tingkat stres yang dirasakan lebih tinggi juga dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terhadap kondisi kesehatan kardiometabolik. Misalnya, orang dewasa yang mengalami tingkat stres yang lebih tinggi cenderung memiliki kesehatan pembuluh darah yang lebih buruk serta tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih tinggi.
”Meskipun kami berasumsi bahwa pola stres yang dirasakan harus memiliki hubungan dengan tindakan kardiometabolik, kami tidak mengharapkan pola yang konsisten di berbagai faktor risiko,” kata Guo.
Para profesional layanan kesehatan harus mempertimbangkan penggunaan ”Skala Stres yang Dirasakan” untuk mengevaluasi tingkat stres individu selama kunjungan klinik. Dengan cara ini, mereka yang memiliki tingkat stres lebih tinggi dapat diidentifikasi dan menerima pengobatan lebih awal.
Stres yang dirasakan tinggi secara konsisten dari masa remaja hingga dewasa dikaitkan dengan risiko penyakit kardiometabolik yang lebih besar di masa dewasa muda.
Selain dikaitkan dengan kejadian penyakit kardiometabolik, stres di awal kehidupan juga bisa berdampak serius terhadap perilaku seseorang di kemudian hari. Riset terbaru menemukan, stres pada periode ini bisa mengubah tingkat aktivasi lebih banyak gen di otak dibandingkan yang diubah oleh benturan di kepala.
Dampak buruk stres di masa kanak-kanak ini dipresentasikan pada pertemuan tahunan Society for Neuroscience dan dirilis oleh The Ohio State University pada Senin (13/11/2023). Kathryn Lenz, profesor psikologi dari The Ohio State University, menjadi peneliti utama kajian ini. Penelitian ini didukung oleh Ohio State’s Chronic Brain Injury Institute, Brain Injury Association of America, dan National Science Foundation Graduate Research Fellowship.
Telah diketahui bahwa cedera kepala sering terjadi pada anak kecil, terutama karena terjatuh, dan dapat dikaitkan dengan gangguan mood serta kesulitan sosial yang muncul di kemudian hari. Pengalaman buruk pada masa kanak-kanak juga sangat umum terjadi dan dapat meningkatkan risiko penyakit, penyakit mental, serta penyalahgunaan zat di masa dewasa.
”Namun, kita tidak tahu bagaimana kedua hal ini dapat berinteraksi,” kata Lenz. ”Kami ingin memahami apakah mengalami cedera otak traumatis dalam konteks keadaan stres di awal kehidupan dapat memodulasi respons terhadap cedera otak. Dan, menggunakan model hewan memungkinkan kami untuk benar-benar memahami mekanisme di mana kedua hal ini dapat berdampak terhadap perkembangan otak,” katanya.