Es Greenland Menyusut 1.000 Gigaton, Kenaikan Air Laut Kian Cepat
Setidaknya 1.000 gigaton lapisan es di Greenland telah hilang dalam empat dekade terakhir.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setidaknya 1.000 gigaton lapisan es di Greenland telah hilang dalam empat dekade terakhir atau lebih banyak 20 persen dibandingkan dengan perhitungan sebelumnya. Selain berisiko meningkatkan permukaan air laut, pencairan lapisan es juga bisa mengganggu arus laut.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature pada Rabu (17/1/2024) ini menggunakan citra satelit untuk melacak penyusutan gletser selama empat dekade terakhir. ”Hampir setiap gletser di Greenland telah menipis atau menyusut selama beberapa dekade terakhir,” kata penulis utama Chad Greene, ahli glasiologi dari Jet Propulsion Laboratory NASA, kepada AFP.
Penelitian sebelumnya menemukan, sekitar 5.000 gigaton es telah hilang dari permukaan lapisan es Greenland dalam dua dekade terakhir, yang merupakan penyebab utama kenaikan permukaan laut. Dalam studi baru ini, para peneliti di Amerika Serikat mengumpulkan hampir 240.000 citra satelit dari posisi ujung gletser, tempat pertemuan gletser dengan lautan, dari tahun 1985 hingga 2022.
Mereka menemukan, lebih dari 1.000 gigaton (1 gigaton setara dengan 1 miliar ton) atau 20 persen es di sekitar tepian Greenland telah hilang selama empat dekade terakhir. ”Lapisan es Greenland telah kehilangan lebih banyak es dalam beberapa dekade terakhir dibandingkan perkiraan sebelumnya,” kata para peneliti.
Kenaikan permukaan laut
Mencairnya lapisan es Greenland yang terbesar kedua di dunia setelah Antartika diperkirakan berkontribusi lebih dari 20 persen terhadap kenaikan permukaan air laut sejak 2002. Karena es di tepi pulau sudah berada di dalam air, para peneliti menekankan, temuan terbaru ini mempunyai dampak langsung yang minimal terhadap kenaikan permukaan laut saat ini. Sekalipun demikian, bisa menyebabkan pencairan es secara keseluruhan sehingga gletser lebih mudah tergelincir ke arah laut.
Data menunjukkan, dari tahun 1900 hingga 2018, permukaan laut global naik sekitar 20 cm dengan rata-rata jangka panjang sebesar 1,7 mm per tahun. Belakangan, hampir di semua negara, laju kenaikan air laut semakin meningkat.
Pengukuran sejak 1993, ketika data satelit global tersedia, menunjukkan laju kenaikan rata-rata permukaan laut global selama dekade terakhir telah meningkat dua kali lipat menjadi lebih dari 4 mm per tahun. Proyeksi terbaru oleh Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) adalah kenaikan antara 0,4 meter dan 0,8 meter pada 2100.
Meningkatnya permukaan air laut akan meningkatkan banjir di komunitas pesisir dan kepulauan yang merupakan rumah bagi ratusan juta orang. Jika terus berlanjut, kenaikan muka air laut pada akhirnya dapat menenggelamkan seluruh negara kepulauan dan kota-kota pinggir laut.
Kenaikan suhu
Menurut para peneliti, masifnya pencairan lapisan es Greenland disebabkan oleh pemanasan suhu bumi yang semakin cepat. Tahun lalu telah menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dan suhu laut ”terus-menerus dan luar biasa tinggi”, menurut Copernicus, pemantau iklim Eropa.
Banjir air tawar tambahan yang mencair ke laut dapat memengaruhi Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC).
Arktik, yang mengalami pemanasan sekitar empat kali lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain di bumi, mengalami musim panas terhangat pada 2023, yang merupakan akibat dari percepatan perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Pemanasan atmosfer dapat menyebabkan permukaan gletser mencair dan menetes ke dasar lapisan es sehingga memudahkan lebih banyak es yang hilang. ”Ini seperti menaruh air di antara ban dan jalan, dan es mulai meluncur ke laut,” kata Greene.
Lautan yang lebih hangat telah menyerap sekitar 90 persen kelebihan panas yang disebabkan oleh polusi karbon yang diakibatkan oleh manusia. Hal ini terkait dengan mencairnya lapisan es penting yang melindungi lapisan es yang luas di Greenland dan Antartika.
Para peneliti juga menyampaikan kekhawatiran mengenai potensi dampak lainnya dari pencairan es, yaitu gangguan arus laut dalam yang merupakan pendorong utama pola cuaca global. Mereka mengatakan banjir air tawar tambahan yang mencair ke laut dapat memengaruhi Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC), sebuah sistem luas yang mengatur perpindahan panas global dari daerah tropis ke belahan bumi utara.
Sebuah konsorsium ilmuwan internasional tahun lalu memperingatkan bahwa perubahan AMOC dan pencairan lapisan es merupakan dua lusin titik kritis iklim yang menghadirkan ancaman yang ”belum pernah terjadi sebelumnya” bagi umat manusia.