logo Kompas.id
HumanioraSaatnya Melihat Polusi Udara...
Iklan

Saatnya Melihat Polusi Udara sebagai Krisis

Pemerintah harus melihat masalah polusi udara ini sebagai sebuah krisis agar lebih optimal mengerahkan sumber daya.

Oleh
PRADIPTA PANDU
· 6 menit baca
Lanskap gedung pencakar langit dan permukiman yang diselimuti polusi di Jakarta, Sabtu (23/9/2023). Meski berbagai upaya mengurangi polusi udara telah ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kualitas udara di Jakarta masih tergolong tidak sehat pada jam-jam tertentu.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Lanskap gedung pencakar langit dan permukiman yang diselimuti polusi di Jakarta, Sabtu (23/9/2023). Meski berbagai upaya mengurangi polusi udara telah ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kualitas udara di Jakarta masih tergolong tidak sehat pada jam-jam tertentu.

Tahun 2023 seolah menjadi puncak permasalahan polusi udara yang selalu terjadi saat musim kemarau di wilayah Jakarata, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek. Tingkat pencemaran udara sulit diatasi menyusul El Nino yang membuat periode musim kemarau menjadi lebih panjang.

Dampak polusi udara bagi kesehatan, khususnya infeksi pernapasan, dirasakan seluruh lapisan masyarakat, termasuk pejabat pemerintahan hingga presiden. Kondisi inilah yang mendasari Presiden Joko Widodo pada Agustus 2023 menggelar rapat terbatas (ratas) membahas peningkatan kualitas udara Jabodetabek.

Dari hasil ratas tersebut, pemerintah kemudian menyiapkan sejumlah langkah jangka pendek, menengah, dan panjang untuk memperbaiki kualitas udara. Beberapa di antaranya melakukan uji emisi, rekayasa cuaca untuk memancing hujan, mendorong penggunaan kendaraan umum, serta mengawasi industri dan pembangkit listrik.

Baca juga: Mayoritas Sumber Emisi di Jabodetabek Berasal dari Aktivitas Transportasi Lokal

Implementasi langkah tersebut dinilai terlambat mengingat masyarakat sudah berulang kali mendesak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pencemaran udara di Jabodetabek. Desakan ini juga tidak terlepas dari kemenangan gugatan masyarakat (citizen lawsuit)terhadap pemerintah pusat dan daerah terkait pencemaran udara yang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021.

Kepadatan lalu lintas di kawasan Pancoran, Jakarta, Rabu (9/8/2023). Sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang polusi udara di Jakarta.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Kepadatan lalu lintas di kawasan Pancoran, Jakarta, Rabu (9/8/2023). Sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang polusi udara di Jakarta.

Upaya pemerintah sekaligus catatan dalam menyelesaikan permasalahan polusi udara ini coba didalami dalam acara diskusi grup terfokus (FGD) bertajuk ”Mencari Formula Atasi Polusi Udara” yang diselenggarakan harian Kompas di Jakarta, Kamis (11/1/2024).

Pendiri Think Policy, Andhyta Firselly Utami, menyoroti upaya negara lain dalam mengatasi polusi udara. Upaya ini bisa menjadi contoh agar Indonesia dapat melihat permasalahan polusi udara dari sudut pandang yang berbeda sehingga membuat penanganannya lebih kreatif dan beragam.

”Sudah waktunya polusi udara dilihat sebagai masalah yang luar biasa. Ketika kita masih menganggap polusi udara sebagai masalah biasa memang akan membuat penanganannya menjadi sulit. Jadi, polusi udara harus menjadi sebuah masalah krisis dan hal ini perlu keterlibatan langsung komando tertinggi,” ujarnya.

Di Indonesia, baru memiliki uang muka Rp 30 juta saja sudah bisa memiliki mobil. Jadi, bagaimana kita bisa menekan penggunaan mobil jika masih dibuat murah.

Menurut Andhyta, polusi udara harus dilihat dan diatasi dengan perspektif perencanaan wilayah. Sebagai contoh, kota Amsterdam di Belanda sempat membatalkan untuk membangun lebih banyak pusat bisnis karena ada penolakan dari warganya. Pembangunan pusat bisnis yang berorientasi kendaraan pribadi akan memicu kepadatan di kota tersebut.

Penolakan ini menjadi salah satu alasan Amsterdam mengubah perencanaan dan penataan kawasannya. Alih-alih membangun pusat bisnis, Amsterdam kemudian menata kawasannya agar menjadi lebih ramah terhadap pesepeda dan pejalan kaki.

Lansekap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Banten, Senin (28/8/2023). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memaparkan sumber polusi udara terbesar di DKI Jakarta dan sekitarnya adalah dari kendaraan bermotor (44 persen) dan PLTU (34 persen).
TOTOK WIJAYANTO

Lansekap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Banten, Senin (28/8/2023). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memaparkan sumber polusi udara terbesar di DKI Jakarta dan sekitarnya adalah dari kendaraan bermotor (44 persen) dan PLTU (34 persen).

Akan tetapi, upaya mengatasi polusi udara dari contoh tersebut akan cukup sulit dilakukan bagi kota-kota yang penataannya sudah telanjur tidak ramah pejalanan kaki, seperti kawasan Jabodetabek. Oleh karena itu, para pemangku kebijakan bisa mempertimbangkan aspek pendekatan lain, seperti mengurangi kebutuhan mobilitas penduduk ke pusat kota.

Menekan kendaraan pribadi

Solusi lain dalam mengatasi polusi udara adalah menekan emisi dari sumbernya, termasuk yang berasal dari kendaraan pribadi. Sebab, mayoritas sumber emisi penyebab pencemaran udara di Jabodetabek berasal dari aktivitas lokal, khususnya dari sektor transportasi.

Iklan

Berdasarkan laporan inventarisasi emisi pencemar udara DKI Jakarta tahun 2020, sumber emisi di Jakarta yang berasal dari sektor transportasi mencapai 44 persen. Sektor penyumbang emisi lainnya meliputi industri energi (33 persen), perumahan (14 persen), manufaktur industri (10 persen), dan kegiatan komersial di gedung (1 persen).

Baca juga: Belajar dari "Raksasa" Dunia Mengatasi Polusi Udara

Berdasarkan data dari berbagai sumber, pada 2022 terdapat 224,5 juta kendaraan bermotor di Jakarta. Dari jumlah tersebut, 78 persen merupakan sepeda motor. Sepeda motor menghasilkan beban pencemaran per penumpang paling tinggi dibandingkan dengan mobil pribadi bensin dan solar, mobil penumpang, serta bus.

Singapura menjadi salah satu contoh negara yang memiliki kebijakan dalam menekan kendaraan pribadi. Untuk memiliki kendaraan, setiap penduduk Singapura harus punya izin kepemilikan kendaraan atau certificate of entitlement (CoE) dengan biaya mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tingginya biaya dan izin ini membuat penduduk Singapura lebih mengandalkan angkutan umum untuk menjangkau hampir ke setiap tempat.

https://cdn-assetd.kompas.id/wQJwN36uYd4r-4Kd2W4BRUUarTs=/1024x1992/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F10%2Fe3cbfe41-30b4-4222-801a-6801a87e3fe3_png.png

”Di Indonesia, baru memiliki uang muka Rp 30 juta saja sudah bisa memiliki mobil. Jadi, bagaimana kita bisa menekan penggunaan mobil jika masih dibuat murah. Kalau memang membeli mobil itu penting dalam perekonomian Indonesia, mungkin kita bisa menekan pemakaiannya, seperti membuat tarif parkir lebih mahal,” kata Andhyta.

Solusi yang hampir serupa dalam mengatasi polusi udara dari sektor transportasi ini juga disampaikan Co-founder Yayasan Bicara Udara Novita Natalia. Menurut Novita, di samping kendaraan pribadi, kendaraan umum, seperti bus dan truk, juga terindikasi menjadi penyebab polusi udara dari emisi yang dikeluarkan.

Baca juga: Polusi Udara Jakarta Mengancam Kesehatan Warga

Oleh karena itu, kata dia, transportasi yang dimiliki pemerintah juga perlu dilihat apakah sudah memenuhi standar untuk mencegah pencemaran udara. Kehadiran mobil ramah lingkungan milik pemerintah bisa memberi contoh kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan kendaraan yang telah memenuhi standar uji emisi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, pemda se-Jabodetabek, termasuk tiga pemerintah provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah meningkatkan upaya uji emisi bagi kendaraan pribadi.

”Kami sekarang fokus terhadap pengenaan tarif parkir tertinggi untuk beberapa lokasi parkir di Jakarta. Ini pun baru bisa kami lakukan untuk tempat-tempat parkir milik Pemprov Jakarta, seperti di Gedung Parkir Blok M, samsat, pasar, dan tempat wisata,” ucapnya.

Menutup PLTU

Selain transportasi, upaya yang juga dinilai sangat signifikan dalam mengatasi polusi udara yaitu menekan emisi dari sektor PLTU batubara. China menjadi negara yang dipandang cukup berhasil mengatasi polusi udara melalui ketegasannya menutup 27 tambang batubara di Provinsi Shanxi pada 2017 dan membatalkan rencana pembangunan 103 PLTU baru.

Meski PLTU masih menjadi sumber energi utama di China, penutupan tambang batubara dan pembatalan rencana pembangunan PLTU baru telah menurunkan 67,4 persen produksi batubara pada 2013 menjadi 56,8 persen pada 2020. Upaya tersebut membuat kadar PM 2,5, nitrogen oksida(Nox), dan sulfur dioksida (SO2) di Beijing turun masing-masing 97 persen, 86 persen, dan 98 persen pada 2017.

Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Luckmi Purwandari menyampaikan paparannya saat menjadi narasumber dalam diskusi kelompok terarah (FGD) dengan tema Mencari Formula Atasi Polusi Udara di Jakarta, Kamis (11/1/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Luckmi Purwandari menyampaikan paparannya saat menjadi narasumber dalam diskusi kelompok terarah (FGD) dengan tema Mencari Formula Atasi Polusi Udara di Jakarta, Kamis (11/1/2024).

”Harus ada pihak yang berani memberikan sanksi dan menegakkan hukum jika industri tidak memenuhi baku mutu standar sesuai yang ditetapkan. Inilah yang bisa menjadi game changer dalam mengatasi polusi udara di Indonesia,” kata Andhyta.

Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Luckmi Purwandari menegaskan, KLHK telah melakukan tujuh langkah penanganan dan pengendalian pencemaran udara yang melibatkan pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Dua dari tujuh langkah itu fokus dilakukan untuk mengurangi emisi di sektor transportasi dan pembangkit listrik.

Baca juga: Butuh Aksi Komprehensif Pemerintah Daerah Atasi Pencemaran Udara

Puluhan perusahaan juga diawasi hingga dijatuhi sanksi karena terindikasi kuat melanggar dan menyebabkan pencemaran udara. Perusahaan yang diawasi tersebut bergerak di bidang stockpile (penimbunan sementara) batubara, pengoperasian boiler, manufaktur, semen, dan logam.

Terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan, pemerintah tetap harus melihat masalah polusi udara ini sebagai sebuah krisis. Dengan begitu, semua pihak bisa mengerahkan sumber daya hingga pendanaan dalam mengatasi polusi udara secara berkelanjutan.

Editor:
ADHITYA RAMADHAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000