Kekayaan Orang Terkaya di Dunia Berlipat Ganda Ketika Kemiskinan Makin Parah
Kekayaan lima orang terkaya di dunia bertambah dua kali lipat sejak 2000, ketika kemiskinan semakin parah.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dan krisis telah memukul ekonomi global dan menyebabkan hampir 5 miliar orang di seluruh dunia menjadi semakin miskin sejak tahun 2000. Meski demikian, jumlah kekayaan lima orang terkaya di dunia justru bertambah dua kali lipat.
Ketimpangan global yang melebar ini dilaporkan lembaga nirlaba Oxfam dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada Senin (15/1/2024). Laporan menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya kesenjangan global, dengan individu dan perusahaan terkaya tidak hanya mengumpulkan kekayaan yang lebih besar berkat melonjaknya harga saham, tetapi juga kekuasaan yang jauh lebih besar.
Menurut laporan ini, kelompok ultrakaya dunia saat ini memiliki kekayaan sebesar 3,3 triliun dollar AS dibandingkan pada tahun 2020, meskipun banyak krisis yang menghancurkan perekonomian dunia sejak dekade ini dimulai, termasuk pandemi Covid-19. ”Kita tidak bisa melanjutkan tingkat ketidaksetaraan yang parah ini,” kata Amitabh Behar, Direktur Sementara Oxfam International, dalam rilis.
Laporan tersebut, Inequality Inc, menemukan bahwa 7 dari 10 perusahaan terbesar di dunia memiliki seorang miliarder sebagai CEO atau pemegang saham utama meskipun standar hidup jutaan pekerja di seluruh dunia mengalami stagnasi.
Dihimpun menggunakan data dari perusahaan riset Wealth X dan Forbes, laporan tersebut menyatakan kekayaan gabungan dari lima orang terkaya di dunia, yaitu Elon Musk, Bernard Arnault, Jeff Bezos, Larry Ellison, dan Mark Zuckerberg, telah meningkat dari 405 miliar dollar AS pada tahun 2020 menjadi 869 miliar dollar AS pada tahun lalu.
Ini berarti, kekayaan lima orang ini telah meningkat sebesar 464 miliar dollar AS, atau 114 persen, sejak 2020 hingga 2023. Pada periode yang sama, total kekayaan 4,77 miliar orang termiskin, yang merupakan 60 persen populasi dunia, telah menurun sebesar 0,2 persen secara riil.
”Orang-orang di seluruh dunia bekerja lebih keras dan dengan jam kerja yang lebih lama, sering kali karena upah yang sangat rendah dalam pekerjaan yang berbahaya dan tidak aman,” kata laporan tersebut.
Di 52 negara, upah riil rata-rata hampir 800 juta pekerja telah turun. Para pekerja ini telah kehilangan total kerugian sebesar 1,5 triliun dollar AS selama dua tahun terakhir, setara dengan hilangnya gaji selama 25 hari untuk setiap pekerja.
Mencerminkan kekayaan orang-orang superkaya, laporan ini juga menyatakan keuntungan bisnis telah meningkat tajam meskipun ada tekanan pada rumah tangga di tengah krisis biaya hidup. Laporan tersebut menemukan bahwa 148 perusahaan terbesar di dunia bersama-sama meraup total laba bersih sebesar 1,8 triliun dollar AS pada tahun ini hingga Juni 2023, melonjak sebesar 52 persen dibandingkan dengan rata-rata laba bersih pada tahun 2018-2021.
Oxfam mengatakan, indeks gini terbaru, yang mengukur ketimpangan, menemukan bahwa ketimpangan pendapatan global kini sebanding dengan Afrika Selatan, negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia. Kelompok 1 persen terkaya di dunia memiliki 59 persen dari seluruh aset keuangan global—termasuk saham, obligasi, dan saham, ditambah kepemilikan pada bisnis swasta. Di Inggris, 1 persen orang terkaya memiliki 36,5 persen dari seluruh aset keuangan, dengan nilai 1,8 triliun dollar AS.
Baca juga: Pemulihan Tidak Merata, Ketimpangan Semakin Tajam
Korporasi memengaruhi kebijakan
Menurut laporan Oxfam, ketimpangan yang semakin lebar antara kelompok kaya dan kelompok lain bukanlah suatu kebetulan. Pemerintah di seluruh dunia dengan sengaja membuat pilihan politik yang memungkinkan dan mendorong terjadinya distorsi konsentrasi kekayaan ini, sementara ratusan juta orang hidup dalam kemiskinan.
Menurut Behar, kekuasaan korporasi dan monopoli yang tidak terkendali adalah mesin yang menimbulkan kesenjangan global melebar. Hal ini dilakukan melalui pemerasan pekerja, penghindaran pajak, dan privatisasi negara. Korporasi kemudian menyalurkan kekayaan yang tiada habisnya kepada pemilik mereka yang sangat kaya.
”Namun, mereka juga menyalurkan kekuasaan, merusak demokrasi dan hak-hak kita. Tidak ada perusahaan atau individu yang mempunyai kekuasaan sebesar ini atas perekonomian dan kehidupan kita,” jelasnya. ”Tidak seorang pun boleh memiliki satu miliar dollar,” tambah Behar.
Oxfam juga menyebutkan, perusahaan-perusahaan ini memengaruhi kebijakan. Banyak negara dinilai telah terjebak pada kekuasaan oligarki dan monopoli sehingga memungkinkan perusahaan untuk memengaruhi upah yang diterima masyarakat, harga makanan, dan obat-obatan yang dapat diakses oleh individu.
Kekayaan lima orang ini telah meningkat sebesar 464 miliar dollar AS, atau 114 persen, sejak 2020 hingga 2023. Pada periode yang sama, total kekayaan 4,77 miliar orang termiskin, yang merupakan 60 persen populasi dunia, telah menurun sebesar 0,2 persen secara riil.
”Di seluruh dunia, sektor swasta tanpa henti mendorong tarif yang lebih rendah, lebih banyak celah, kurang transparan, dan langkah-langkah lain yang bertujuan untuk memungkinkan perusahaan berkontribusi sesedikit mungkin ke kas negara,” sebut Oxfam.
Menurut Oxfam, berkat lobi yang intensif terhadap pembuatan kebijakan perpajakan, perusahaan-perusahaan mampu membayar pajak perusahaan yang lebih rendah sehingga membuat pemerintah kehilangan uang yang dapat digunakan untuk mendukung keuangan kelompok termiskin di masyarakat.
Kajian Oxfam menunjukkan, pajak perusahaan telah turun secara signifikan di negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dari 48 persen pada tahun 1980 menjadi 23,1 persen pada tahun 2022.
Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, Oxfam menyerukan pajak kekayaan terhadap para jutawan dan miliarder dunia yang menurut mereka dapat menghasilkan 1,8 triliun dolar AS setiap tahunnya.
Organisasi nonpemerintah tersebut juga menyerukan pembatasan gaji CEO dan penghapusan monopoli swasta.
Baca juga: Ironi Ketimpangan Ekonomi
Kemiskinan di Indonesia
Per Maret 2023, ada 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang pengeluarannya dalam sebulan ada di bawah standar garis kemiskinan, yaitu Rp 550.458 per kapita per bulan. Warga yang konsumsinya di atas garis tersebut tidak lagi dianggap miskin meski kenyataannya mereka masih hidup sangat rentan.
Penelitian oleh SMERU Research Institute menyebutkan, standar garis kemiskinan yang digunakan saat ini untuk mengukur angka kemiskinan terlalu rendah. Standar itu tidak relevan lagi dengan status ekonomi Indonesia yang sudah naik kelas dari negara berpendapatan rendah.
Pada 2023, Indonesia telah termasuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country) dengan produk nasional bruto (PNB) per kapita 4.580 dollar AS.
Berdasarkan standar negara menengah atas itu, seseorang semestinya baru dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari 6,85 dollar AS PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) atau sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Jauh dari standar garis kemiskinan RI saat ini (Rp 550.458 per bulan) yang justru lebih dekat dengan standar rata-rata negara berpendapatan rendah.
Peneliti utama SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, Minggu (14/1/2024), mengatakan, standar garis kemiskinan itu sudah tidak relevan karena pemerintah masih mengacu pada metodologi pengukuran garis kemiskinan yang berlaku sejak tahun 1998 dan belum pernah dievaluasi.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah menyeriusi rencana merevisi metodologi penghitungan garis kemiskinan dan menaikkan standar pengukuran kemiskinan di Indonesia.
Dengan demikian, data kemiskinan yang sebenarnya diharapkan bisa terungkap ke publik. Lebih banyak pula masyarakat rentan yang bisa dilindungi pemerintah lewat perlindungan sosial, setelah selama ini mereka tidak bisa mengakses bantuan sosial karena dianggap nonmiskin.
Baca juga: Menanti Pemerintah ”Buka-bukaan” Data Kemiskinan yang Sebenarnya
”Metodologi penghitungan garis kemiskinan yang kita pakai sudah tidak sesuai lagi karena sudah berusia 26 tahun. Selama periode tersebut, pola konsumsi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, sudah banyak berubah,” kata Asep saat dihubungi di Jakarta. (AGE)