Momentum Mengembalikan Peran Media sebagai ”Penjaga Gerbang” Informasi
Media massa perlu mengambil kembali peran sebagai 'penjaga gerbang' informasi untuk melawan penyebaran misinformasi, disinformasi, dan malinformasi di era digital dengan terlibat dalam gerakan cek fakta dan menyajikan informasi yang kredibel.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada masa Pemilu 2024, penyebaran misinformasi, disinformasi, dan malinformasi di ruang digital makin masif. Hal ini memicu gangguan informasi yang menyesatkan. Media massa bisa menjadikannya momentum berperan sebagai ”penjaga gerbang” informasi demi mencerahkan publik.
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Camelia Pasandaran, mengutarakan, platform digital jadi lahan subur penyebaran kabar bohong. Sebab, algoritmanya tak terlalu memedulikan aspek kebenaran konten.
”Sebetulnya ini momentum kembalinya jurnalisme mengambil alih peran sebagai gatekeeper (penjaga gerbang) informasi, peran menginterpretasikan kejadian dan mencerahkan publik,” ujarnya.
Camelia menyampaikan hal itu dalam webinar ”Mengoptimalkan Peran Media Melawan Gangguan Informasi di Dunia Maya” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Google News Initiative di Jakarta, Rabu (10/1/2024).
Masifnya penyebaran misinformasi, disinformasi, dan malinformasi dapat menyebabkan apatisme publik. Jika hal itu dibiarkan terlalu lama, gangguan informasi tersebut akan membuat warga jenuh sehingga tidak lagi peduli saat terpapar informasi bohong.
Misinformasi merupakan informasi salah yang disebarkan tanpa intensi menyesatkan. Sementara disinformasi adalah informasi salah yang sengaja disebarkan untuk mengelabui.
Adapun malinformasi ialah informasi yang punya unsur kebenaran, tetapi disebarkan dengan maksud buruk.
”Penyebarannya masif dan cepat. Kalau melihat WA (Whatsapp), kemudian masuk ke grup keluarga dan teman, banyak informasi salah beredar di grup tersebut,” ucapnya.
Menurut Camelia, topik dengan derajat ketidakpastian tinggi amat rentan terhadap gangguan informasi. Saat pandemi Covid-19, misalnya, misinformasi dan disinformasi terkait Covid-19 banyak berseliweran sehingga menyebabkan infodemik.
”Topik gangguan informasi lainnya yang banyak beredar adalah pada ranah politik, terutama menjelang pemilu. Ada juga topik yang menyangkut kejadian bencana,” katanya.
Salah satu peran media untuk melawan gangguan informasi itu adalah dengan menyajikan informasi kredibel. Selain itu, terlibat dalam gerakan cek fakta sehingga dapat dijadikan referensi masyarakat untuk menguji kebenaran informasi yang diterima.
Camelia menambahkan, menurut data Reuters Digital News Report 2023, di mayoritas negara, pengguna media daring masih lebih memilih membaca dibandingkan menonton atau mendengarkan berita.
Namun, pendengar berita dalam bentuk podcast atau siniar juga bertumbuh, terutama di kalangan generasi muda.
”Peran media dalam hal ini adalah untuk ada di mana mereka (pembaca, pendengar, penonton) berada. Jika mereka banyak di podcast, media hadir di sana dengan konten-konten yang menarik,” ujarnya.
Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers Tri Agung Kristanto memaparkan, gangguan informasi sudah terjadi sejak lama.
Ketika banyak media melanggar kode etik jurnalistik, jurnalisme yang dikembangkan media tersebut justru sedang mengancam media itu sendiri.
Salah satu peran media melawan gangguan informasi adalah dengan menyajikan informasi kredibel. Selain itu, terlibat dalam gerakan cek fakta sehingga dapat dijadikan referensi warga.
”Bahkan, itu berarti banyak media sedang menggali kuburnya sendiri. Hal ini tergambar dari data pengaduan ke Dewan Pers yang cenderung naik menjelang tahun politik,” ucapnya.
Pengaduan meningkat
Dewan Pers menerima 910 pengaduan sepanjang 2023. Jumlah itu meningkat dibandingkan pada tahun 2022 dengan 691 pengaduan dan pada 2021 sebanyak 774 pengaduan.
Tri Agung menuturkan, media harus lebih berani mendorong masyarakat untuk membantu mengontrol media. Pengawasan tersebut dibutuhkan agar media tetap berjalan dalam koridor kode etik jurnalistik.
”Prinsip dasarnya adalah bagaimana menjaga profesionalisme sebagai jurnalis. Yang mengancam media dalam konteks gangguan informasi adalah profesionalisme sebagian wartawan yang belum terbentuk,” ungkapnya.
Saat ini belum ada data pasti mengenai jumlah media dan wartawan di Tanah Air. Dewan Pers memperkirakan terdapat tidak kurang dari 50.000 media dan lebih dari 200.000 wartawan di Indonesia.
”Yang sudah tersertifikasi kompetensi sebanyak 25.643 wartawan. Masih ada sekitar 500 orang lagi yang sudah ikut uji kompetensi, tetapi datanya belum muncul di website Dewan Pers karena proses administrasi yang sedang berlangsung,” jelasnya.
Anggota Majelis Etik AJI Jakarta, Ignatius Haryanto, menuturkan, disrupsi digital menghadirkan berbagai tantangan bagi industri media. Algoritma platform tidak bisa dihindari. Media sosial dimanfaatkan untuk mendistribusikan konten-konten yang diproduksi media massa.
”Pelajaran dari situasi disrupsi ini adalah industri media perlu memiliki satu divisi riset untuk melihat perkembangan ke depan, mengantisipasi perubahan, terutama teknologi yang bergerak sangat cepat,” ujarnya.
Menurut Haryanto, media harus berinvestasi untuk menciptakan pembacanya di masa depan. Selain itu, media perlu membangun ketertarikan publik dengan memahami topik-topik liputan yang diminati masyarakat.
”Walaupun jurnalisme menghadapi banyak tantangan, banyak hal baru yang bisa diadaptasi. Jurnalisme akan tetap relevan, tetap dibutuhkan publik,” ujarnya.
”Hal ini disebabkan jurnalisme bisa membawa kita pada sebuah kepastian tertentu dibandingkan dengan apa yang muncul sebagai rumor, gosip, atau hal yang belum terverifikasi,” jelasnya.