Anak Usia Dini Butuh Penguatan Kemampuan Nonkognitif
Pendidikan anak usia dini belum dipahami sebagai pengembangan anak secara holistik dari kognitif, kesehatan, hingga kematangan emosi dan emosional.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan anak usia dini di Indonesia masih salah kaprah sehingga lebih berfokus pada kemampuan kognitif semata, terutama membaca, menulis, dan menghitung. Padahal, pada masa anak usia dini, kesiapan bersekolah anak juga butuh penguatan kemampuan nonkognitif. Pemerintah diminta lebih fokus pada pengubahan paradigma berpikir guru dan orangtua terkait pendidikan anak usia dini, termasuk batasan usia sampai 8 tahun.
Jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2003 tentang Pendidikan Anak usia Dini Holistik Integratif (PAUD HI) sudah ditegaskan tentang pengembangan anak usia dini yang esensial dari aspek kesehatan/gizi, pengasuhan, perlindungan, hingga rangsangan pendidikan yang dilakukan secara simultan, sistematis, menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan. Namun, konsep dan tujuan dari pendidikan pada anak usia dini belum dipahami dengan benar, baik di kalangan pembuat dan pelaksana kebijakan di pemerintah pusat dan daerah, pendidik PAUD dan SD, maupun di kalangan orangtua dan masyarakat.
Terbaru, ada peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-24: Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan pada 28 Maret 2023 semakin mendorong semua pihak untuk berivestasi pada anak usia dini secara berkualitas dan holistik. Namun, tetap ada banyak muncul kebingungan terkait PAUD yang tidak fokus menyiapkan anak menguasai kemampuan membaca, menulis, dan menghitung (calistung) ataupun masuk kelas I SD tanpa tes calistung.
”Sejak zaman Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan sampai saat ini, sebenarnya sudah ada keberpihakan pada PAUD yang menyenangkan. Semangatnya menyiapkan anak belajar dengan cara bermain. Namun, berbagai aturan yang ada itu tidak juga diimplementasikan dengan baik. Masalahnya pada kontrol atau pengawasan. Selain itu, pemberdayaan masyarakat untuk berani menyuarakan kekeliruan dalam praktik PAUD yang sudah salah arah,” kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi pada acara Pernyataan Sikap terkait Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, di Jakarta, Jumat (5/1/2024).
Pernyataan sikap untuk mendukung Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan disampaikan sejumlah lembaga dan praktisi pendidikan, antara lain LPAI, Akademi Suluh Keluarga, Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP), dan Asosiasi Penyelenggara, Pelaku Sekolah Rumah, dan Pendidikan Alternatif (Asahpena). Hal ini untuk mendukung transisi PAUD ke pendidikan dasar berjalan dengan mulus serta proses belajar-mengajar di PAUD dan pendidikan dasar kelas awal harus selaras dan berkesinambungan.
”Dalam pendidikan kita terbangun, seolah-olah anak pintar jika menguasai calistung dan matematika. Padahal, kemampuan kognitif juga ada kaitan dengan ketangkasan fisik, emosional, dan sosial. Kita harus melindungi anak-anak untuk belajar dengan suasana kondusif, ramah anak, menyenangkan, dan tidak ada pelanggaran atas nama pendidikan. PAUD itu usia bermain. Jadi, tidak tepat, demi persiapan ke SD dilakukan dengan mengejutkan, langsung diberi pelajaran calistung, karena melanggar hak anak yang bermain tadi,” ujar Seto.
Kebijakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan ini ditujukan guna mendukung fondasi belajar anak yang holistik. Anak-anak usia dini disiapkan untuk mengenal nilai agama dan budi pekerti; kematangan emosi yang cukup untuk berkegiatan di lingkungan belajar; dan keterampilan sosial dan bahasa yang memadai untuk berinteraksi sehat dengan teman sebaya dan individu lain.
Hal itu juga untuk menanamkan pemaknaan terhadap belajar yang positif. PAUD juga membekali anak dengan pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri yang memadai untuk dapat berpartisipasi di lingkungan sekolah secara mandiri; kematangan kognitif yang cukup untuk melakukan kegiatan belajar, seperti dasar literasi, numerasi, serta pemahaman tentang hal-hal mendasar yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Belum dipahami
Pendiri KerLiP Yanti Sriyulianti mengatakan PAUD sangat penting. Mengutip studi James J Heckman, dosen yang memenangi penghargaan Henry Schultz di bidang ekonomi dari Universitas Chicago serta peraih Nobel Ekonomi dan ahli ekonomi pembangunan manusia, apabila negara ingin mendapatkan hasil terbaik, negara agar berinvestasi pada PAUD di kalangan kurang mampu di usia sedini mungkin. Dia menekankan bahwa memulai di usia tiga atau empat tahun sudah terlambat.
Namun, saat ini di Indonesia, jumlah murid PAUD tahun 2022/2023 baru berkisar 8,12 juta anak. Padahal, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk berusia 3-6 tahun sekitar 17, 7 juta orang. Dengan demikian, angka partisipasi kasar ( APK) jenjang PAUD baru tercatat 45,87 persen.
”Hal ini menunjukkan belum disepakatinya kepentingan pendidikan anak di usia dini,” kata Yanti.
Dari diskusi yang dilaksanakan Akademi Suluh Keluarga selama dua bulan (enam kali pertemuan) yang diikuti oleh sekitar 300 peserta dari seluruh Indonesia, ternyata konsep dan tujuan dari PAUD belum dipahami dengan benar, baik di kalangan pembuat dan pelaksana kebijakan di pemerintah pusat dan daerah, pendidik PAUD dan SD, maupun di kalangan orangtua dan masyarakat. Di kalangan pendidik, orangtua, ataupun masyarakat, PAUD masih dipahami sempit sebagai sebuah lembaga pendidikan/sekolah dan belum sebagai pengembangan anak usia dini holistik integratif (PAUD HI) untuk memenuhi prinsip-prinsip hak anak sampai usia 8 tahun.
Orientasi pelatihan guru tidak berinvestasi pada perubahan paradigma berpikir dan masih berfokus pada metodologi mengajar.
”Pembelajaran calistung dipahami sempit, hanya pada aktivitas belajar menulis dan membaca huruf, serta menghafal dan mengoperasikan angka dalam soal matematika,” kata Irwan Amrun dari Akademi Suluh Keluarga.
Selain itu, peran keluarga dalam PAUD belum dioptimalkan. Ada juga penilaian belum optimalnya proses pembelajaran di SD kelas rendah karena masih berfokus pada buku pelajaran yang mensyaratkan kemampuan membaca serta tidak mendorong proses pengembangan berpikir kritis analitis.
Proses belajar di TK/RA (fase pondasi) dan SD kelas awal (fase A) dinilai belum menjadi satu proses berkelanjutan. Adapun orientasi pelatihan guru tidak berinvestasi pada perubahan paradigma berpikir dan masih berfokus pada metodologi mengajar.
Rekomendasi
Seto menyampaikan, pemerintah diminta lebih fokus pada pengubahan paradigma berpikir guru dan orangtua terkait pendidikan anak usia dini, termasuk batasan usia sampai 8 tahun. Memberikan pelatihan ulang tentang pemahaman calistung yang dimulai dari kegiatan memahami tentang keseimbangan tubuh, persiapan motorik kasar yang identik dengan daya tangkap, motorik halus terkait dengan daya balas, bicara bahasa, sikap dan perilaku, serta kemandirian sosial. Keterampilan tersebut perlu disertakan sebagai laporan berkala setiap enam bulan (per semester)
Melibatkan orangtua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak usia dini sesuai dengan Permendikbud No 30 Tahun 2017. Bentuk pelibatan keluarga adalah menumbuhkan nilai-nilai karakter anak di lingkungan keluarga; memotivasi semangat belajar anak; mendorong budaya literasi; dan memfasilitasi belajar anak.
Penguatan Forum Komunikasi PAUD-SD guna mendapatkan titik temu dan kesamaan persepsi terkait transisi PAUD ke SD serta memberikan pelatihan dan sosialisasi kebijakan terkait dan mendiskusikan penerapannya. ”Memastikan penguatan transisi ini diakomodasi dengan jelas, termasuk sanksi bagi lembaga ataupun orangtua yang melakukan pelanggaran, dalam Revisi UU Sisdiknas dan dipastikan selaras dengan UU Perlindungan Hak Anak,” ucap Seto.
Merevisi ruang lingkup pengembangan anak usia dini dalam UU Sisdiknas serta Perpres No 60 Tahun 2013 menjadi usia 2-8 tahun. Penguatan pelatihan guru dengan mengalokasikan tunjangan profesi guru sekurang-kurangnya 20 persen untuk peningkatan kompetensi. Termasuk pula, reformasi Kurikulum Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk menyiapkan pendidik PAUD dan SD yang memahami Konvensi Hak Anak dalam konsep dan praktik.