Media digital telah mendisrupsi model bisnis media konvensional, seperti surat kabar, radio, dan televisi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan Televisi Republik Indonesia Stasiun Yogyakarta dan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia mengonfirmasi bahwa media digital telah mendisrupsi model bisnis media konvensional, seperti surat kabar, radio, dan televisi. Surutnya media arus utama ini dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan jurnalisme standar dan berkualitas sehingga perlu komitmen bersama untuk menyelamatkan eksistensi media konvensional ini.
Riset TVRI Stasiun Yogyakarta dan Program Studi Ilmu Komunikasi UII ini bertujuan untuk melihat profil, kebiasaan, kebutuhan bermedia, dan persepsi khayalak tentang media.
Darmanto, anggota tim riset laporan tersebut, mengemukakan, metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif deskriptif di empat kabupaten dan satu kota di wilayah DI Yogyakarta. Adapun jumlah sampel sebanyak 384 responden.
Siaran langsung acara-acara yang selama ini kerap disiarkan di televisi menurun penontonnya dibandingkan layanan streaming di media digital.
”Kami membagi media konvensional menjadi tiga, yakni koran atau majalah, televisi, dan radio. Kalaui dilihat dari laporan ini, responden yang tidak pernah membaca koran mencapai 70,83 persen. Responden yang setiap hari membaca koran hanya tinggal 2,6 persen,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Disrupsi Digital dan Masa Depan Media Indonesia 2024”, Sabtu (23/12/2023).
Hasil laporan tersebut juga menunjukkan, intensitas responden dalam mengakses media konvensional televisi dan radio masih lebih tinggi dibandingkan koran atau majalah. Responden yang setiap hari masih mengakses televisi mencapai 42,97 persen, sedangkan responden yang setiap hari masih mengakses radio sebesar 12,76 persen.
Selain itu, sebanyak 38,54 persen responden mengakses televisi dengan tujuan mencari berita aktual. Namun, persentase responden dalam mencari berita aktual di media konvensional lainnya sangat rendah, yakni 3,65 persen di koran dan 3,13 persen di radio.
Hal lain yang disoroti dalam laporan ini ialah tingginya akses media sosial dan mesin pencari Google untuk berbagai tujuan, termasuk mencari berita aktual, informasi, pengetahuan, hiburan, hingga iklan. Sebanyak 30,47 persen responden mencari berita aktual di media sosial dan 20,05 persen responden lainnya mencari di Google.
Kemudian, untuk mencari informasi, 34,38 persen responden memilih mengakses Google dan 30,47 persen di media sosial, serta 25 persen di televisi. Sementara responden yang mencari informasi di koran dan radio masing-masing hanya 2,86 persen.
Menurut Darmanto, hasil laporan ini menunjukkan terdapat pergeseran dari koran dan radio, khususnya yang hampir kehilangan fungsi informatif dan edukasi. Temuan ini juga mengonfirmasi asumsi yang berkembang bahwa media digital telah mendisrupsi model bisnis media konvensional dan kecenderungannya semakin besar.
”Menguatnya media sosial dan surutnya media arus utama sebenarnya menjadi ancaman bagi keberlanjutan jurnalisme standar dan berkualitas. Sebab, kita tahu, ketika mengandalkan media sosial, berarti tidak ada lagi mediasi oleh editor dan semua orang bisa mengunggah karya menurut versi mereka masing-masing tanpa standar,” tuturnya.
Ia pun menekankan agar ada komitmen bersama semua pihak untuk menyelamatkan eksistensi media konvensional. Sebab, media konvensional ini menjadi garda terdepan dalam merawat nalar publik dan semangat demokrasi.
Perubahan pola siaran
Direktur RBTV Yogyakarta Wahyu Sudarmawan mengakui, pihaknya kesulitan menghadapi disrupsi teknologi di bidang media, khususnya perubahan pola penerimaan siaran oleh masyarakat. Bahkan, siaran langsung acara-acara yang selama ini kerap disiarkan di televisi menurun penontonnya dibandingkan dengan layanan streaming di media digital.
”Televisi dan radio siaran hingga saat ini juga menjalankan fungsi kontrol sosial, ekonomi, dan politik sehingga siaran informasinya masih mampu menjadi pilar keempat demokrasi. Oleh karena itu, televisi dan media siaran lainnya diharapkan tetap bisa menjadi rujukan jurnalistik ataupun informasi lainnya,” ucapnya.
Koordinator Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DI Yogyakarta Hazwan Iskandar mengatakan, semakin banyaknya pilihan saluran televisi menjadi salah satu tantangan dalam penyiaran. Namun, hal ini juga bisa menjadi peluang terkait keberagaman penyiaran dan memungkinkan munculnya saluran stasiun televisi baru.
”Membangun ekosistem penyiaran berbasis konten lokal juga tidak mudah karena memerlukan dukungan pemerintah dan perguruan tinggi, termasuk bidang penyiaran dan jurnalisme. Dukungan juga perlu dari komunitas dan industri lokal,” katanya.