Merayakan Hari Ibu dan Kesetaraan Jender di UIN Jakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengukuhkan 16 guru besar perempuan pada Hari Ibu. Semua meraih gelar itu dengan membawa pesan kesetaraan jender.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengukuhkan 16 guru besar yang semuanya adalah perempuan, Jumat (22/12/2023), bertepatan dengan Hari Ibu. Selain sebagai apresiasi kepada kaum perempuan, pengukuhan ini juga upaya memperjuangkan kesetaraan jender di lingkungan pendidikan tinggi.
Ke-16 guru besar yang dikukuhkan di Auditorium Harun Nasution ini berasal dari disiplin ilmu yang beragam, mulai dari matematika, ilmu pendidikan Islam, ilmu analisis farmasi, ilmu psikologi, agribisnis, pendidikan anak usia dini, epidemiologi, mikrobiologi lingkungan, hingga ilmu linguistik, meliputi bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ini menunjukkan perempuan mampu setara di semua bidang keilmuan.
Mereka merupakan bagian dari 43 guru besar yang dikukuhkan selama tahun 2023. Pengukuhan mereka sekaligus mempersempit kesenjangan jender di kampus ini karena sekarang jumlah guru besar perempuannya menjadi 26 orang atau 19 persen dari total 136 guru besar UIN Jakarta.
Rektor UIN Jakarta Asep Saepudin Jahar mengatakan, para guru besar perempuan ini telah memberikan bukti tentang Kampus UIN sebagai kampus Islam modern yang menjunjung tinggi kesetaraan jender. Terlebih, semua guru besar ini merupakan seorang ibu yang masih bertanggung jawab dengan urusan domestik rumah tangga, tetapi tetap bisa menggapai gelar guru besar.
”Ini menjadi sebuah kontribusi penting, terutama pada pemberdayaan masyarakat, karena masih kuat anggapan perempuan sebagai lapis kedua. Perempuan ini potensial karena kalau dihitung jumlah perempuan di Indonesia itu lebih banyak. Jadi, kuncinya di pendidikan, kalau pendidikan mereka bagus, ya, Indonesia bagus,” kata Asep setelah Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar di UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (22/12/2023).
Adapun ke-16 guru besar perempuan yang dikukuhkan hari ini adalah Dzuriyatun Toyibah, Fadhilah Suralaga, Megga Ratnasari Pikoli, Hoirun Nisa, Siti Nurul Azkiyah, Iim Halimatusa’diyah, Sururin, Zahrotun Nihayah, Nur Inayah, Darsita, Zilhadia, Maila Dinia Husni Rahiem, Siti Rochaeni, Rena Latifa, Hendrawati, dan R Yani’ah Wardani. Pengukuhan ini menjadikan UIN Jakarta sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam dengan guru besar terbanyak.
Dzuriyatun Toyibah, Guru Besar Ilmu Sosiologi UIN Jakarta, dalam orasi ilmiahnya yang membahas kesenjangan jender di perguruan tinggi menjelaskan bahwa kesenjangan jender masih berasal dari masalah klise, yakni budaya patriarki. Namun, dengan norma-norma akademik yang secara ideal berdasarkan meritokrasi, nonbias, obyektivitas, terbuka terhadap kritik dalam standar akademik di Indonesia hari ini, maka kesenjangan jender seharusnya bisa dipersempit.
Dukungan suami itu penting, kalau saya tidak punya suami yang hebat dan memberikan kesempatan, mungkin saya tidak bisa seperti ini. Kami selalu mengusung hubungan yang egaliter.
Di UIN Jakarta saja kini jumlah dosen, asisten ahli, dan tenaga pengajar sudah hampir setara dari segi jumlah. Dari total 1.255 orang, jumlah perempuannya 521 orang atau 41,52 persen. Ini berbeda jauh dengan kondisi UIN Jakarta 11 tahun lalu yang masih didominasi 62,3 persen laki-laki.
”Keterlibatan perempuan dalam sektor publik itu akan meningkatkan kualitasnya. Selain menjawab soal keadilan, banyaknya representasi perempuan di politik, misalnya, membuat kecenderungan korupsi semakin turun, pelayanan publik semakin baik, dan ini kecenderungan global, sayangnya perempuan kita secara umum dikonstruksikan tidak di situ,” kata Dzuriyatun.
Perempuan di Indonesia pada umumnya masih dikonstruksikan secara sosial untuk mengampu peran domestik turut memengaruhi pekerjaan para guru besar perempuan ini. Kinerja akademik, seperti publikasi, keberhasilan pendanaan, dan dampak akademik, sering kali tertunda karena mengasuh anak dan mengurus rumah tangga.
Keresahan ini hampir dirasakan oleh semua guru besar perempuan UIN yang baru dikukuhkan. Mereka sangat beruntung bisa mendapatkan dukungan besar dari suami dan keluarga besarnya untuk tetap berjuang mencapai puncak karier sebagai seorang akademisi.
Iim Halimatussa'diyah, misalnya, yang telah sepakat bersama suami berbagi tugas mengurus anak dan rumah sehingga karier keduanya berjalan baik. Hal ini mungkin tidak bisa diraih oleh perempuan lain yang terhambat konstruksi sosial.
”Membagi waktu ini tantangan karena mungkin perempuan walaupun dia berada di ranah publik tetap tidak lepas dari kewajiban domestiknya. Jadi, dukungan suami itu penting, kalau saya tidak punya suami yang hebat dan memberikan kesempatan, mungkin saya tidak bisa seperti ini. Kami selalu mengusung hubungan yang egaliter,” kata Iim.
Dalam orasi ilmiahnya, Guru Besar Bidang Sosiologi Pembangunan ini mengungkit pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan di Indonesia. Dia menyoroti proporsi perempuan yang menyelesaikan studinya hingga jenjang perguruan tinggi cenderung lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, tetapi tidak di dunia kerja. Perempuan yang bekerja pun justru malah menghadapi beban ganda antara tanggung jawab domestik dan publik sebagai pekerja.
Tantangan sosio-kultural yang mengonstruksi bias jender dalam masyarakat masih menjadi kendala besar bagi perempuan untuk bisa berkiprah dengan leluasa di berbagai bidang pembangunan, terutama untuk mencapai posisi krusial yang strategis bagi penentuan kebijakan. Oleh karena itu, perlu transformasi sosial dan kultural yang berorientasi pada keadilan jender.