Gerakan Perempuan Hadir dalam Setiap Babak Sejarah, Menyelamatkan Indonesia
Perempuan menjadi bagian sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sejak Kongres Perempuan I tahun 1928 hingga kini, perempuan tak henti berjuang menyelamatkan bangsa.
Kaum perempuan berperan besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Bahkan, jauh sebelum Indonesia merdeka, perempuan-perempuan Indonesia tampil menyuarakan kepentingan perempuan melalui Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada 22 Desember 1928.
Namun, meski gerakan perempuan berlangsung sejak 95 tahun lalu, sejarah Kongres Perempuan I tenggelam, bahkan nyaris terhapus dalam ingatan warga negara Indonesia.
Tahun 1928 lebih diingat dengan Sumpah Pemuda. Padahal, pada tahun 1928, ada dua momen penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, yakni Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan.
Kendati Indonesia memperingati Hari Ibu tiap 22 Desember, terjadi salah kaprah atas Hari Ibu. Peringatan Hari Ibu dianggap sama dengan peringatan Mother’s Day di negara Barat dan peran perempuan dilihat secara domestik. Akibatnya, peringatan Hari Ibu diidentikkan sebagai momen membahagiakan para ibu.
Tak heran, hingga hampir satu abad sejak Kongres Perempuan I berlangsung, sejumlah persoalan perempuan yang disuarakan pada kongres saat itu sampai saat ini terus berlangsung. Situasi perempuan yang terjadi pada 95 tahun lalu kerap ditemukan dalam konteks masa kini.
Semenjak Kongres Perempuan I, perempuan memperjuangkan pentingnya keluarga dan pendidikan, perlindungan perempuan dan anak dalam perkawinan, pencegahan perkawinan anak, dan beasiswa bagi anak perempuan.
Baca juga : Perempuan Ujung Tombak Hadapi Krisis Bangsa
Kendati ada sejumlah kemajuan, posisi perempuan termarjinalkan dalam berbagai bidang kehidupan. Praktik diskriminasi dan kekerasan pada perempuan terjadi di berbagai ruang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Salah satunya, masalah perkawinan anak. Meski sejak tahun 2019 lalu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah direvisi, dengan menaikkan batas usia perkawinan perempuan menjadi 19 tahun, sama dengan laki-laki, faktanya masih terjadi praktik perkawinan anak.
Sejumlah data juga membuktikan, hampir tiap hari perempuan menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk dan modus. Bahkan, kekerasan seksual jadi momok terbesar bagi perempuan anak ataupun dewasa. Di ranah privat, perempuan berada dalam lingkaran kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hasil kajian 21 tahun Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan, dua dekade lebih, laporan kasus kekerasan berbasis jender di ranah personal lebih dari 2,5 juta kasus. Kasus paling banyak dilaporkan adalah kekerasan terhadap istri, yakni 484.993 kasus.
Di ranah publik, masalah perdagangan orang yang disuarakan semenjak Kongres Perempuan hingga kini masih terjadi. Banyak perempuan menjadi korban kejahatan perdagangan orang, dalam berbagai modus.
Sementara dalam konteks kepemimpinan dan politik, perempuan jauh tertinggal dari laki-laki. Meski terbuka jalan perempuan untuk memasuki panggung politik dan jabatan publik, jumlahnya amat sedikit dibandingkan populasi perempuan di Tanah Air yang hampir sama dengan penduduk laki-laki.
Terkait dengan sejarah gerakan perempuan, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengungkapkan, dalam sejarah perjalanan Indonesia, perempuan memiliki kontribusi amat besar dalam membuat Indonesia menjadi sebuah bangsa.
”Orang selalu bicara soal bapak pendiri bangsa, tanpa bicara soal ibu pendiri bangsa. Perempuan selalu tersembunyi,” katanya dalam webinar nasional yang digelar Sinergi Perempuan Indonesia (SPI) bersama Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni), Kamis (21/12/2023).
Perempuan tidak muncul dalam sejarah karena, di sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tidak pernah ada guru sejarah yang membeberkan fakta sejarah bahwa perempuan itu sangat berkontribusi dalam sejarah Indonesia. Sejarah dunia, termasuk sejarah Indonesia, tidak pernah bicara soal gerakan perempuan.
”Padahal, perempuan selalu menjadi pengawas demokrasi. Bahkan, perempuan juga yang merebut Indonesia dari pemerintah kolonial dan orang-orang yang mau menjahati bangsa kita,” ujar Sulistyowati.
Kontribusi perempuan dalam sejarah bangsa Indonesia sudah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka hingga masa kemerdekaan, Orde Baru, dan Reformasi. Perempuan berjuang dengan elegan karena berada dalam koridor-koridor hukum.
Pada tahun 1900-an, sudah lahir banyak organisasi perempuan. Bahkan, pada tahun 1915, Perempuan Mahardhika mengirimkan mosi kepada Pemerintah Belanda meminta persamaan di muka hukum bagi semua warga negara. Karena itu, dalam konstitusi, Pasal 27 mengatur persamaan hukum.
Perempuan selalu menjadi pengawas demokrasi. Bahkan, perempuan juga yang merebut Indonesia dari pemerintah kolonial dan orang-orang yang mau menjahati bangsa kita.
Selanjutnya, pada 1930, hadir Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) sebagai cikal bakal Kowani yang memperjuangkan hak pilih perempuan. Pada 1938, ada perempuan jadi anggota dewan kota. Berikutnya, perempuan ikut pemilu pertama tahun 1955.
Dalam perjalanannya, posisi perempuan dalam politik tergerus, bahkan kuota 30 persen di legislatif sulit terpenuhi.
Tersembunyi
Kendati tersembunyi dalam catatan sejarah bangsa, perempuan terus berjuang dan berkontribusi dalam perjalanan bangsa Indonesia. ”Perempuan hadir dalam tiap babakan sejarah Indonesia dan menjadi solusi, menyelamatkan bangsa Indonesia saat peristiwa berat yang mengancam,” ujar Sulistyowati.
Baca juga : Kesalahpahaman Hari Ibu
Semangat perempuan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia tak pernah pudar. Sejumlah perempuan berjuang dan membela masyarakat yang tertindas, korban kekerasan di berbagai ruang kehidupan. Mereka jadi pejuang hak asasi manusia, bekerja di ruang sunyi, dan berdiri bersama kelompok marjinal.
”Negara harus memastikan ketenteraman hidup perempuan sesuai patron budaya dan adat istiadat di wilayah pesisir dan kepulauan. Jangan paksakan standar negara tanpa mengonfirmasi pada mereka,” papar Jull Takaliuang, pembela perempuan dan anak korban di wilayah tambang di Sulawesi Utara.
Hari Ibu 2023, yang sekaligus peringatan ke-95 Kongres Perempuan Indonesia, diharapkan menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selamat Hari Gerakan Perempuan!