Kesalahpahaman Hari Ibu
Setiap tahun kita memperingati Hari Ibu, tetapi setiap tahun kesalahpahaman tentang Hari Ibu terus terjadi. Umumnya orang tahu peristiwa Sumpah Pemuda, tetapi tidak paham Hari Ibu, padahal keduanya berkaitan sangat erat.
Setiap tahun kita memperingati Hari Ibu, tetapi setiap tahun kesalahpahaman tentang Hari Ibu terus terjadi. Umumnya orang tahu peristiwa Sumpah Pemuda, tetapi tidak paham Hari Ibu, padahal keduanya berkaitan sangat erat.
Apakah narasi sejarah kita kehilangan sejarah gerakan perempuan, sehingga kita tak mempelajarinya di sekolah, dan teralienasi darinya? Kongres Perempuan I pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta itulah yang kita peringati. Bukan peringatan Mother’s Day di masyarakat Barat yang memuliakan peran domestik ibu mereka.
Baca juga : Hari Ibu dan Keadilan Jender di Ruang Publik
Kongres Perempuan I melahirkan federasi terdiri dari berbagai organisasi perempuan lintas agama, menjadi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Tujuannya memperjuangkan nasib perempuan, kebangsaan, dan Indonesia berparlemen.
Perempuan masa itu sudah aktif di ranah publik, memperjuangkan politik kebangsaan.
Agenda kongres itu ternyata tetap jadi masalah kita di abad ke-21 ini: kekerasan domestik, perkawinan anak, perdagangan anak, perburuhan, pendidikan perempuan, konservatisme agama. Perempuan masa itu sudah aktif di ranah publik, memperjuangkan politik kebangsaan.
Tak mengherankan jika hari ini muncul fenomena Nikita Mirzani, yang melawan kelompok dengan tindakan vandalis membawa nama agama, ketika negara belum hadir. Tak sulit menjelaskan mengapa perempuan dari kalangan orang biasa selalu hadir dalam menjaga demokrasi dan negara hukum.
Perempuan sering diposisikan tak menguntungkan karena dijadikan komoditas politik, dibuatkan hukum dan kebijakan yang tidak diperlukan, tetapi sukar mendapat hukum yang dibutuhkan.
Baca juga : Jalan Panjang Membangun Narasi Keragaman Jender
Tulisan ini bertujuan menjelaskan perempuan dikonstruksi sebagai siapa, mengapa melakukan perlawanan, bagaimana relasi perempuan dengan negara dalam konteks sejarah dan sosiologis.
Siapa perempuan?
Perempuan bukanlah identitas yang tunggal dan seragam. Dia dikonstruksi secara interseksional dengan identitas lain, seperti ras, nasionalitas, etnisitas, agama, kelas sosial, warna kulit, atau tingkat pendidikan. Tak semua perempuan mengalami diskriminasi, tergantung identitas lain yang berkelindan dengan identitas seksualitasnya sebagai perempuan.
Ketiadaan akses keadilan bagi buruh migran perempuan Indonesia di negara destinasi karena mereka dikonstruksi sebagai liyan, berdasarkan perbedaan ras, nasionalitas, kelas, tak berpendidikan, dan perempuan (PKWG-UI, 2011). Atau perempuan etnis keturunan China yang mengalami perusakan genital di kerusuhan Mei 1998 dikonstruksi sebagai liyan karena perbedaan ras dan agama.
Baca juga : Kesetaraan bagi Perempuan
Sering dipertanyakan kebanyakan orang, apa yang dicari perempuan Indonesia, karena sudah ada yang jadi presiden, menteri, memiliki beragam profesi dan jabatan. Kelompok yang mengajukan pertanyaan seperti itu biasanya kelas menengah yang kepentingannya tak terganggu.
Karena tak menyentuh kepentingannya, tak muncul kepekaan terhadap perempuan lain, seperti jutaan buruh migran perempuan tanpa edukasi dan keterampilan memadai, yang bekerja di sektor rumah tangga negara-negara kaya dan terbatas akses keadilannya. Atau jutaan perempuan dan anak yang terperangkap dalam perdagangan orang dijadikan pekerja seks, pengedar narkoba, pengemis, dan budak.
Perempuan juga jadi korban kawin anak dan kawin paksa yang menempatkan Indonesia di nomor tujuh dunia.
Solusi yang dibutuhkan adalah kebijakan tentang pemberantasan kemiskinan. Namun, yang didapat malah 421 peraturan daerah yang melarang perempuan keluar malam dan mendomestikasi atas nama moral politisi daerah. Belum lagi angka kematian ibu melahirkan dan anak tengkes (stunting) yang tinggi.
Kebijakan anggaran yang dibutuhkan adalah yang responsif jender, tetapi yang ditemui adalah kebijakan bercelah bagi terjadinya korupsi, termasuk bantuan sosial bagi orang miskin di masa pandemi.
Baca juga : Hari Ibu dan Tatanan Baru
Perempuan juga jadi korban kawin anak dan kawin paksa yang menempatkan Indonesia di nomor tujuh dunia. Sementara ratusan ribu perempuan dan anak setiap tahun jadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan setiap hari selalu ada korban baru. Dalam dua jam terdapat tiga korban kekerasan seksual, di antaranya terjadi di ranah domestik (inses).
Perempuan dan anak membutuhkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera. Mereka tak membutuhkan RUU Ketahanan Keluarga yang merendahkan martabat keluarga Indonesia; dianggap tak berakhlak, sehingga harus diawasi negara agar menjalankan moral yang ditetapkan secara sepihak oleh partai politik. Mereka tak bisa membedakan ranah etika dan hukum, yang apabila dipaksa dijadikan satu, justru akan membusukkan satu sama lain (Hart, 1961).
Perlawanan perempuan
Perempuan seperti Nikita mewakili silent majority dalam masyarakat yang rasional. Mengapa? Perempuan paling rentan terhadap politisasi atas nama agama (terutama), etnis, kelas, dan apa pun juga.
Baca juga : Politisasi Ketubuhan Perempuan
Ketika politik identitas dan klaim kebenaran atas nama Tuhan diteriakkan para politisi agama, yang paling terdampak adalah perempuan. Termasuk disebut dengan kata yang merendahkan dirinya. Celakanya, cara ini disetujui mereka yang ingin berkuasa lewat pemilihan kepala daerah atau desa.
Muncullah kampanye paling brutal. Menjadi pemimpin seolah tidak memerlukan jejak kompetensi, prestasi, dan pengabdian masyarakat. Cukup meneriakkan politik identitas dan kebijakan populis. Lalu, keluarlah berbagai perda yang isinya membebankan nilai moralitas kepada perempuan (tidak pada laki-laki).
Ketika politik identitas dan klaim kebenaran atas nama Tuhan diteriakkan para politisi agama, yang paling terdampak adalah perempuan.
Judulnya memang memikat, misalnya, ”anti pelacuran”, tetapi kebanyakan isinya melarang perempuan keluar malam. Padahal, semakin miskin suatu masyarakat, perempuannya semakin harus bekerja keras dan keluar malam untuk bekerja di pabrik atau menjajakan makanan.
Mereka tidak sedang memikirkan kepentingan rakyat, mengupayakan pengentasan rakyat miskin, seperti tertuang dalam program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Atau menyediakan air dan lingkungan hidup bersih, fasilitas kesehatan dan pendidikan berkualitas, menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Baca juga : Perempuan Seputar Kemerdekaan
Bahkan, perempuan adat, pemangku budaya hutan, semakin kehilangan ruang hidupnya karena konversi hutan menjadi industri jarang dimintakan persetujuannya. Padahal, perempuan adalah ”ibu bumi” dan hutan adalah sumber makanan dan hidup.
Itu sebabnya, perempuan melawan, dengan cara yang paling terhormat, bernaluri keibuan, dan prosedural secara hukum. Perlawanan RA Kartini akhir 1800-an memperjuangkan hak bersuara bagi perempuan untuk mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sangat besar pengaruhnya.
Tahun 1915, organisasi Swara Mahardika mengirim mosi ke Pemerintah Belanda menuntut persamaan di muka hukum. Kongres Perempuan 22 Desember 1928 bergema di Nusantara. Banyak perempuan dari generasi 1928 mengirim anak-anak mereka bersekolah ke Jawa agar bangsa pribumi tak diperlakukan sebagai kasta paling rendah (inheemsche) di Hindia Belanda.
Tahun 1930, Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia mengirim mosi minta hak politik dalam pemilihan Dewan Kota dan 1938 sudah ada perempuan duduk di Dewan Kota. Sesudah itu, perempuan tak pernah berhenti berkongres, ikut berperang di garis depan, tetapi juga mewujudkan naluri keibuannya melalui dapur umum dan Palang Merah di seputar kemerdekaan. Pembakaran kampung terjadi dalam Agresi Militer II di Jawa dan Sumatera (1945-1949) (Limpach, 2015), dan para perempuanlah yang menangani para korban.
Bangsa Indonesia terbukti mampu melalui segala cobaan berat berkat gerakan masyarakat sipil, termasuk perempuan.
Bangsa Indonesia terbukti mampu melalui segala cobaan berat berkat gerakan masyarakat sipil, termasuk perempuan. Namun, perempuan juga melawan negara ketika rakyat tak terlindungi. Hal itu dibenarkan oleh rule of law dan demokrasi, yang kini harus dipahami bukan asal memenangi suara terbanyak, tetapi memenangi yang benar.
Mari belajar dari para ibu Indonesia. Menempatkan perempuan dalam peran tradisionalnya bertentangan dengan fakta sejarah dan sosiologis. Biarkanlah mereka menemukan ruang sosial barunya. Perempuan tahu kapan saatnya berjuang di ranah publik dan kapan saatnya pulang ke rumah menjadi ibu biasa. Selamat Hari Ibu!
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia