Transisi Ekonomi Hijau Bisa Untungkan Perekonomian Nasional
Selain berpotensi menghasilkan produk domestik bruto yang melebihi struktur ekonomi Indonesia saat ini, transisi ke ekonomi hijau juga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja serta pendapatan pekerja.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia diminta mempercepat transisi ekonomi yang saat ini masih tergantung pada sektor industri ekstraktif, terutama batubara, ke ekonomi hijau. Selain berpotensi menghasilkan produk domestik bruto yang melebihi struktur ekonomi saat ini, transisi ke ekonomi hijau juga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja serta pendapatan pekerja.
Sejumlah manfaat transisi ekonomi hijau ini dilaporkan Center of Economics and Law Studies (CELIOS) dan Greenpeace Indonesia dalam kajian terbaru mereka, yang dirilis pada Selasa (19/12/2023). Dalam laporan terpisah yang diluncurkan International Energy Agency (IEA) pada Jumat (15/12/2023), Indonesia disebut sebagai salah satu penyumbang utama konsumsi batubara, selain China dan India, sehingga secara global mencapai rekor tertinggi pada tahun 2023.
Menurut laporan CELIOS dan Greenpeace, transisi ke ekonomi hijau dapat memberikan dampak hingga Rp 4.376 triliun ke output ekonomi nasional. Peralihan ini juga diprediksi memberikan tambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 2.943 triliun dalam 10 tahun ke depan atau setara 14,3 persen PDB Indonesia pada tahun 2024.
Peralihan ke ekonomi berkelanjutan diprediksi mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru yang muncul dari berbagai sektor yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan, pertanian, kehutanan, perikanan, dan jenis-jenis industri ramah lingkungan lainnya. Sementara itu, pendapatan pekerja secara total dapat bertambah hingga Rp 902,2 triliun berkat transformasi ini.
Pelaku usaha pun diuntungkan dengan peralihan ke ekonomi hijau berkat munculnya berbagai industri baru di sektor ekonomi sirkular dan transisi energi. Surplus usaha nasional dari transisi ekonomi hijau diprediksi menembus Rp 1.517 triliun dalam 10 tahun transisi dilakukan.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, perlu ada pendanaan dari pemerintah dan swasta yang mampu mendorong pelaku usaha untuk beralih ke sektor industri berkelanjutan. ”Pemerintah bisa mengalihkan insentif fiskal di sektor bahan bakar fosil dan tambang ke sektor industri berkelanjutan, menerapkan pajak produksi batubara dan pajak windfall profit, serta mengelola dana abadi yang berasal dari pendapatan sumber daya alam (SDA),” ujar Bhima. ”Pemerintah juga harus segera menerapkan pajak karbon untuk mengurangi emisi yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi ekstraktif dan bahan bakar fosil.”
Hasil studi tersebut juga menemukan bahwa ekonomi hijau mampu mempersempit ketimpangan pendapatan antarprovinsi di Indonesia. Indeks Williamson Indonesia diperkirakan dapat turun ke angka 0,65 di tahun ke-10 transisi ekonomi hijau dari 0,74 di tahun pertama transisi.
Kami memperkirakan akan terjadi tren penurunan permintaan batubara di seluruh dunia mulai tahun 2024.
Tak hanya masyarakat dan pelaku usaha, negara pun dapat meraih manfaat dari ekonomi hijau. Pajak bersih atau penerimaan pajak setelah dikurangi subsidi dari ekonomi hijau dapat menyumbang Rp 80 triliun dari sebelumnya Rp 34,8 triliun yang berasal dari ekonomi ekstraktif. Peralihan ke ekonomi berkelanjutan pun mampu memberikan efek positif dari berbagai sisi, di antaranya meningkatnya partisipasi masyarakat dalam upaya transisi energi terbarukan dan berkurangnya belanja kesehatan dari berkurangnya polusi udara.
Konsumsi batubara
Laporan terpisah dari IEA telah menyebutkan, konsumsi batubara global mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2023. Menurut laporan mereka, konsumsi batubara, bahan bakar fosil paling kotor, secara global meningkat 1,4 persen pada tahun 2023 menjadi rekor 8,5 miliar ton. Hal ini terjadi karena peningkatan konsumsi batubara di China, India, dan Indonesia melebihi penurunan tajam permintaan di Eropa dan Amerika Serikat.
Konsumsi batubara di China sepanjang 2023 tumbuh sebesar 220 juta ton atau 4,9 persen pada tahun 2023, sedangkan di India tumbuh 8 persen dan di Indonesia sebesar 11 persen. Dengan tren ini, China tetap menjadi pengguna batubara terbesar di dunia, bertanggung jawab atas separuh (54 persen) dari seluruh batubara yang dibakar di seluruh dunia.
Di wilayah lain, penggunaan batubara turun 23 persen atau 107 juta ton di Eropa, sementara di Amerika Serikat turun 95 juta ton atau sebesar 21 persen, sebagian besar disebabkan oleh melemahnya aktivitas industri dan peralihan dari pembangkit listrik tenaga batubara ke energi terbarukan.
Sekalipun konsumsi batubara pada tahun ini mencapai rekor tertinggi, IEA memprediksi hal ini akan menurun mulai tahun 2024 mendatang. Kondisi tersebut menyusul berakhirnya perundingan iklim PBB (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, di mana hampir 200 negara mencapai kesepakatan bahwa dunia harus ”beralih dari bahan bakar fosil” untuk membatasi pemanasan global.
Ini adalah pertama kali dalam 28 tahun sejarah perundingan iklim tahunan di mana semua bahan bakar fosil disebutkan dalam sebuah kesepakatan. ”Kami memperkirakan akan terjadi tren penurunan permintaan batubara di seluruh dunia mulai tahun 2024,” sebut IEA.
Menurut laporan ini, lebih dari 60 persen batubara yang dibakar di China digunakan untuk menghasilkan listrik dan negara tersebut terus membangun pembangkit listrik tenaga batubara. Tahun ini saja, negara ini telah menyetujui proyek-proyek baru dengan total kapasitas pembangkit listrik baru sebesar 52 gigawatt.
Namun, IEA memperkirakan konsumsi batubara di China akan mulai menurun, kecuali jika gelombang panas dan musim dingin menyebabkan peningkatan permintaan terhadap pembangkit listriknya. Penggunaan batubara untuk menghasilkan listrik akan menurun di China menjadi 2,8 miliar ton, turun sebesar 175 juta ton, selama periode 2024-2026.
Namun, sebagai gantinya, permintaan utama batubara akan datang dari India, setidaknya hingga tahun 2026. Selain itu, Indonesia juga bisa terus tumbuh menjadi produsen dan konsumen batubara, kecuali ada upaya percepatan transisi energi.