Sambut Perayaan Dongdala, Pringgasela Selatan Berhias
Festival ini menghadirkan aneka warna budaya masyarakat Pringgasela Selatan yang terdiri atas sejumlah trah.
Oleh
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM, ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
LOMBOK TIMUR, KOMPAS — Desa budaya Pringgasela Selatan di Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, berhias untuk menyambut Festival Dongdala, yang dimulai Rabu (20/12/2023) hingga Sabtu (23/12/2023). Festival ini merupakan bagian dari hasil rekonstruksi budaya desa yang hampir punah.
Dongdala berarti pelangi. Festival ini menghadirkan aneka warna budaya masyarakat Pringgasela Selatan yang terdiri atas sejumlah trah atau keluarga besar, yakni Tanaq Gadang, Sumbawa atau Rempuk, dan Masbagik.
Hasil budaya ketiga trah itu dihadirkan dalam Festival Dongdala. Beberapa yang dihadirkan berupa kesenian klenang nunggal (sejenis permainan gamelan tunggal), tenun Pringgasela, batik, permainan tradisional, dan makanan tradisional yang disajikan dalam nyiru atau wadah anyaman bambu. Tahun ini warga mengambil tema ”Sasaq Sela Nggisin Bumi”, yang berarti upaya terus-menerus untuk bersama merawat bumi.
Nizar Azhari (39), pemuda Pringgasela Selatan yang menginiasi Dongdala lewat program Daya Desa dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mengatakan, kehadiran hasil budaya itu menjadi bagian dari rekonstruksi budaya yang hampir hilang.
Kesenian klenang nunggal, misalnya, hampir saja punah karena telah ditinggalkan puluhan tahun oleh warga. Padahal, dulu kesenian itu sangat populer pada tahun 1970-an. Kesenian itu kembali ditemukan dan direkonstruksi oleh para pemuda desa dan tokoh warga tiga tahun lalu, dan kini siap dipentaskan.
Warga desa bergotong royong
Keramaian persiapan Festival Dongdala sudah terlihat sejak Sabtu (16/12/2023) hingga Senin ini. Puluhan warga dari sejumlah dusun berkumpul untuk membersihkan lahan halaman galeri tenun, tempat festival akan berlangsung. Kesibukan juga terlihat di balai batik Pringgasela tempat warga akan menggelar bazar dan peragaan busana tenun.
Di sekolah tenun Nina Penenun, ibu-ibu mempersiapkan tenun terbaik mereka untuk dipakai dan dijual saat pameran. Fatimah (45), petenun yang dikenal sebagai ahli tenun Desa Pringgasela Selatan, sudah mempersiapkan tenun terbaiknya bermotif bayan merah untuk tampil dalam festival. Dewi Handayani (27), petenun lain, juga mempersiapkan setelan kain tenun motif pucuk rebung untuk dipakainya saat pawai.
Kami bisa menggali budaya karena dibantu anak-anak muda. Beberapa tokoh desa pun turut membantu.
Bagi Fatimah dan Dewi, festival ini layaknya pesta rakyat. ”Karena ini acara penting, saya harus siapkan tenun terbaik,” kata Dewi yang juga petenun ulung.
Persiapan pesta rakyat pun harus sempurna. Sri Hartini (45), salah satu tokoh penggerak desa, sudah mempersiapkan makanan khas Pringgasela Selatan untuk dihidangkan kepada para tamu. ”Di sini terkenal dengan ikan air tawarnya. Kami pesan khusus untuk para tamu yang datang dari Jakarta. Kami juga sediakan makanan lokal, seperti cerorot, serabi, jongkong, khas sini,” katanya.
Anak-anak pun turut ambil bagian. Mereka bahkan berpesta sejak Minggu dengan menggelar permainan tradisional selodoran dan terompah. Keceriaan terlihat di wajah mereka. Selodoran adalah permainan lokal yang kini jarang dimainkan.
Kepala Desa Pringgasela Selatan Baihaki Habil mengatakan, Festival Dongdala menjadi kebanggaan masyarakat desa karena sebelumnya mereka hampir melupakan budaya yang mereka punya. ”Saat kami cari potensi budaya, baru ketahuan ternyata kami punya kekayaan luar biasa. Ada musik, ada tenun dengan motif berfilosofi, ada pangan lokal, dan banyak lagi. Ini masih kami gali keberadaan budaya lain,” katanya.
Nizar mengatakan, Dongdala hanya bentuk perayaan. Hal yang paling penting adalah kebersamaan. Gotong royong yang dilakukan warga dalam menggali potensi budaya hingga kerja bersama untuk melestarikannya merupakan inti dari gerakan itu.
”Kami bisa menggali budaya karena dibantu anak-anak muda. Beberapa tokoh desa pun turut membantu,” ujarnya.
Meski kebangkitan budaya itu sudah mulai terasa, menurut Nizar, hal tersebut baru permulaan. Ia mengatakan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk lebih mengangkat budaya Pringgasela Selatan.