Perkuat Riset Sumber Daya Alam Hayati sebagai Antiinfeksi
Penelitian terhadap sumber daya alam hayati sebagai pengobatan penyakit infeksi semakin berkembang. Berbagai potensi ditemukan dari tumbuhan yang ada di Indonesia, antara lain sebagai obat malaria dan hepatitis.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penelitian terkait pemanfaatan sumber daya alam hayati sebagai pengobatan penyakit akibat infeksi semakin dikembangkan. Berbagai tumbuhan pun telah ditetapkan sebagai kandidat obat baru untuk penyakit infeksi, seperti tuberkulosis, malaria, dan hepatitis.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indi Damayanti dalam acara Profesor Talk bertajuk ”Penemuan dan Pengembangan Kandidat Obat Baru untuk Penyakit Infeksi” menuturkan, kasus penyakit menular akibat penyakit infeksi masih banyak ditemukan di masyarakat. Potensi penyebaran dan kemunculan penyakit infeksi juga cukup tinggi.
”Kita harus terus waspada akan kemunculan penyakit-penyakit infeksi. Ketersediaan obat-obatan untuk mengatasi penyakit infeksi tersebut juga perlu dipastikan di dalam negeri. Karena itu, pengembangan obat baru dengan memanfaatkan sumber potensial dari tumbuhan di Indonesia menjadi sangat penting,” tuturnya.
Hal tersebut, tambah Indi, patut semakin diperhatikan karena Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah sebagai sumber potensial untuk pengobatan penyakit infeksi. Kekayaan tersebut sekaligus menjadi ruang yang besar bagi para peneliti dan periset untuk mengeksplorasi khasiat dari tumbuhan lokal, terutama tumbuhan yang mengandung senyawa aktif.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa berbagai jenis tumbuhan mengandung senyawa aktif yang berpotensi sebagai antimikroba, antivirus, antiinflamasi, serta antibakteri. Senyawa aktif tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengembangan dari obat-obatan baru yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi penyakit yang masih menjadi persoalan di masyarakat.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa berbagai jenis tumbuhan mengandung senyawa aktif yang berpotensi sebagai antimikroba, antivirus, antiinflamasi, serta antibakteri.
Wakil Kepala BRIN Amarulla Octavian menyampaikan, upaya untuk mengatasi penyakit infeksi menjadi fokus utama dari pemerintah dalam isu kesehatan masyarakat. Kompleksitas lingkungan serta perubahan pola hidup manusia telah mempercepat penyebaran patogen sebagai penyebab berbagai penyakit infeksi.
Berbagai patogen penyebab penyakit tersebut pun terus beradaptasi dan berkembang sehingga pengobatan baru dan inovatif semakin dibutuhkan. Karena itu, para peneliti dan periset di Indonesia diharapkan bisa semakin memperkuat pengembangan obat-obatan baru yang berbasis bahan baku lokal.
”Penelitian dan pengembangan di bidang pemanfaatan sumber daya alam hayati, terutama tumbuhan untuk pengobatan penyakit infeksi menjadi langkah yang strategis dan relevan saat ini. Diharapkan dapat ditemukan solusi-solusi inovatif dan tidak hanya efektif, tetapi juga berkelanjutan serta dapat diakses oleh masyarakat luas,” ujar Amarulla.
Ia menyebutkan, setidaknya sudah ada tiga riset dan pengembangan yang telah dilakukan oleh para periset di BRIN terkait pemanfaatan tumbuhan sebagai obat baru untuk penyakit infeksi. Riset tersebut meliputi pengembangan tanaman obat untuk hepatitis B dan C, pengembangan jamur endofit untuk tuberkulosis, serta pengembangan obat antimalaria dari tumbuhan.
Manfaat tanaman johar
Peneliti ahli utama Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Organisasi Riset Kesehatan BRIN Yuli Widyastuti mengatakan, penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman johar atau Cassia siamea menghasilkan bukti bahwa tanaman tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat antimalaria. Senyawa casiarin yang telah diisolasi dari daun johar mampu membunuh plasmodium.
Johar banyak ditanam di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selama ini, tanaman johar secara empiris telah digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat, seperti penyakit kuning (hepatitis), cacingan, dan mencegah konvulsi pada anak.
Namun, Yuli mengatakan, untuk membuktikan manfaat johar sebagai obat malaria masih diperlukan penelitian lebih lanjut. ”Perlu dilakukan uji visibilitas produksi bahan baku obat dan obat dari johar,” katanya.