Perempuan Disabilitas Psikososial Rentan Alami Kekerasan Berlipat
Perempuan penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam mengakses hukum. Mereka juga mengalami kekerasan berulang.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk. Pada perempuan penyandang disabilitas psikososial bahkan rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi yang berlipat ganda.
Data dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan sejak tahun 2014 hingga 2022 sekurangnya ada 586 pelaporan kasus kekerasan berbasis jender terhadap perempuan penyandang disabilitas. Dari jumlah tersebut, 34 kasus di antaranya dialami perempuan disabilitas psikososial.
”Yang paling memprihatinkan kita adalah kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas sangat sulit terungkap, karena kondisi mereka sebagai disabilitas dan adanya prasangka bahwa karena kondisi tersebut, kasus yang mereka alami tidak perlu diungkap dan tidak mungkin ada perlawanan,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati saat tampil sebagai pembicara kunci pada pembukaan seminar nasional ”Multipemangku Kepentingan lsu Kesehatan Jiwa di Indonesia”, Senin (18/12/2023) di Jakarta.
Seminar bertema ”Upaya Perlindungan Disabilitas Psikososial dari Kekerasan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Psikososial” tersebut digelar Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (Yakkum), dalam rangka Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), Hari Disabilitas Internasional 2023, dan Peringatan Ke-75 Hari HAM Sedunia.
Seminar akan berlangsung hingga Selasa (19/12/2023) dan didukung oleh Program Inklusi (Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif), BfDW (Brot für die Welt), serta CBM Global.
Menteri PPPA mengatakan, selama ini perempuan dan anak penyandang disabilitas masih banyak yang mengalami kekerasan yang diakibatkan oleh struktur sosialnya dan kekerasan oleh pihak lain. Salah satunya adalah kekerasan seksual yang banyak dialami perempuan dan anak penyandang disabilitas.
Dia berharap pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberi harapan bagi penanganan kasus kekerasan seksual. Keberadaan UU TPKS memberikan terobosan dan pembaruan hukum dalam hal strategi nasional perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual.
Kendati mengalami kekerasan, tutur Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, perempuan penyandang disabilitas psikososial tidak bisa mengakses hukum serta tidak mendapat akomodasi yang layak saat berhadapan dengan hukum, termasuk dukungan pemulihan. Sebab, sejak awal mereka kerap dianggap tidak cakap secara hukum.
”Komnas Perempuan mencatat betapa sulitnya perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual berproses hukum karena tidak mendapatkan pendampingan atau juga kesaksiannya tidak diyakini karena dianggap inkonsisten atau berubah-ubah,” ujar Andy.
”Komnas Perempuan mencatat betapa sulitnya perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual berproses hukum karena tidak mendapatkan pendampingan, atau juga kesaksiannya tidak diyakini karena dianggap inkonsisten atau berubah-ubah. ”
Keterbatasan perempuan penyandang disabilitas psikososial dalam mengakses keadilan menyebabkan sejumlah korban mengalami siklus kekerasan. Misalnya penanganan kasus kekerasan seksual seperti perkosaan, justru menempatkan mereka pada kekerasan lainnya, seperti pemaksaan kontrasepsi bahkan pemaksaan sterilisasi.
”Kondisi buruk serupa ini tentunya tidak dapat kita biarkan terus-menerus. Secara khusus, upaya kita untuk memperbaiki kehidupan penyandang disabilitas psikososial dan kerentanan khusus pada kekerasan dan diskriminasi yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas psikososial,” tutur Andy.
Upaya tersebut merupakan pelaksanaan amanat konstitusi pada hak atas kehidupan yang sehat, sejahtera, dan bermartabat, bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Hal itu juga merupakan upaya penting dalam menentang penyiksaan serta penghukuman atau perlakuan lain yang keji atau tidak manusiawi.
Punya hak yang sama
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dalam sambutan yang dibacakan Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kemenkumham Reynhard Silitonga, menyatakan kelompok masyarakat penyandang disabilitas mental/psikososial juga memiliki hak-hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya. Berdasarkan prinsip nondiskriminasi, penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM penyandang disabilitas mental/psikososial menjadi bagian yang penting dalam implementasi hak-hak penyandang disabilitas secara menyeluruh. Mereka sebagai subyek pembangunan dan modal sosial yang dapat berkontribusi bagi pembangunan.
”Hal ini sebagai bentuk pergeseran pendekatan dari berbasis belas kasihan atau charity based, menjadi pendekatan berbasis HAM atau human right based,” baca Silitonga.
Ketua I Pengurus Yakkum Simon Julianto menyatakan, sejak didirikan tahun 1950, Yakkum percaya bahwa Indonesia yang adil dan sejahtera dapat terwujud jika semua pihak berpartisipasi aktif dan setara dalam mengupayakan kesejahteraan yang adil dan beradab tanpa memandang suku, agama, latar belakang ekonomi, dan afiliasi politik.
”Dalam rencana dan strategi Yakkum yang ke-7 yang saat ini berjalan, salah satu misi Yakkum adalah mewujudkan pembangunan yang inklusif terutama bagi mereka yang terpinggirkan dan tidak mempunyai akses untuk pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia yang bermartabat, khususnya penyandang disabilitas termasuk disabilitas psikososial,” ujar Simon.
Acara tersebut juga dihadiri First Secretary Australian Embassy Indonesia Felicity Lane, Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Dhahana Putra, pimpinan lembaga, dan perwakilan pemerintah daerah. ”Indonesia dan Australia memiliki upaya yang sama untuk mengupayakan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas termasuk penyandang disabilitas psikososial,” ujar Felicity Lane.
Dhahana Putra menyatakan, upaya perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas psikososial telah tercantum dalam Kelompok Kerja Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan (Pokja P5HAM). ”Kegiatan ini menjadi momen yang sangat baik untuk menguatkan kerja sama pemerintah dan organisasi masyarakat untuk memastikan penguatan upaya pembebasan kekerasan dan menciptakan lingkungan yang mendukung, yang bebas dari kekerasan,” ujarnya.