Kombinasikan Kontra Ideologi dan Dukungan Psikologi dalam Rehabilitasi Teroris
Kombinasi program kontra ideologi dengan dukungan psikologi dinilai sebagai program deradikalisasi paling menjanjikan hingga saat ini.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Terorisme merupakan permasalahan kompleks yang membutuhkan pemahaman lintas disiplin ilmu. Program rehabilitasi orang yang terlibat dalam tindakan ekstremisme kekerasan tersebut perlu mengintegrasikan kontra ideologi dengan dukungan psikologi.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Prof Mirra Noor Milla, mengatakan, memahami proses radikalisasi menjadi kunci untuk merinci jalur deradikalisasi yang dapat ditempuh. Evaluasi efektivitas program rehabilitasi teroris di sejumlah negara belum mencapai kesimpulan yang pasti.
Tantangan utamanya terletak pada keyakinan ideologi ekstrem yang sulit untuk diubah. ”Kombinasi antara program kontra ideologi dan program dukungan psikologi paling menjanjikan hingga saat ini,” ujar Mirra saat berpidato dalam upacara pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi UI di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (16/12/2023). Sidang ini juga mengukuhkan Prof Corina D S Riantoputra sebagai guru besar di fakultas yang sama.
Menurut Mirra, kesulitan dalam mengubah keyakinan ekstrem mengarahkan pada relevansi upaya prevensi atau pencegahan. Hal ini dilakukan dengan memutus mata rantai radikalisasi bagi individu yang rentan sebelum terpapar dan terlibat dalam tindakan kekerasan ekstrem.
Salah satu caranya dengan memperkuat ketahanan individu terhadap propaganda ekstremisme dan radikalisme. Pada tingkat komunitas, pencegahan dapat diwujudkan melalui upaya menghindari polarisasi antarkelompok. Sebab, masyarakat yang terpolarisasi dapat menyuburkan penyebaran narasi ekstrem.
Mirra menuturkan, berdasarkan pendapat sejumlah ahli ilmu sosial, terdapat tiga komponen utama yang berperan dalam radikalisasi, yaitu kebutuhan yang memotivasi individu, narasi ideologi yang menjustifikasi, dan kelompok atau jejaring sosial yang memvalidasi. Namun, di era informasi digital, proses radikalisasi menjadi lebih cepat dan mencakup kelompok individu yang semakin beragam.
”Psikologi sosial menyajikan suatu kerangka analisis baik pada tingkat individu maupun kelompok untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana individu terlibat dalam tindakan terorisme,” ucapnya.
Program deradikalisasi di sejumlah negara sangat beragam. Sejumlah negara mengklaim keberhasilan program dengan memberikan dukungan finansial selama masa tahanan dan setelah bebas menjalani hukuman.
Memahami proses radikalisasi menjadi kunci untuk merinci jalur deradikalisasi yang dapat ditempuh.
Meskipun intervensi ekonomi memiliki efek positif, cara ini belum memadai untuk solusi jangka panjang. Dukungan finansial memang berguna untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga diharapkan memutus hubungan dengan kelompok radikal. Namun, masih terdapat risiko terjadinya residivisme karena narasi-narasi ideologis belum sepenuhnya hilang dalam pikiran mereka.
Di sisi lain, solusi mengubah ideologi pun sulit dilakukan karena berpotensi memperkuat resistensi dari narapidana terorisme. Diperlukan pendekatan alternatif yang berfokus pada perubahan perilaku dan dukungan dari jaringan sosial, seperti keluarga dan teman.
Narapidana terorisme yang masih kuat memegang keyakinan ideologinya dan berkomitmen tinggi terhadap kelompok ekstremis cenderung menolak mengikuti program rehabilitasi. Sementara mereka yang bersedia mengikuti program tersebut biasanya telah memutuskan keluar dari kelompok dan melemah sikap ideologinya.
Keputusan menjauh dari kelompok dan moderasi ideologi ini tetap harus diperkuat dasar-dasar psikologis yang mendukungnya. ”Untuk itu, program rehabilitasi moderasi ideologi perlu didukung oleh program intervensi psikologi yang berperan menyediakan dasar psikologis bagi perubahan perilaku kekerasan ekstrem,” ucapnya.
Psikologi kepemimpinan
Sementara dalam pidatonya, Prof Corina D S Riantoputra membahas tentang esensi, posisi, dan filosofi psikologi kepemimpinan. Ia mengatakan, salah satu premis kunci psikologi kepemimpinan adalah pemimpin perlu membangun a sense of us atau penghayatan kekitaan.
Penghayatan kekitaan itu bukan untuk memanipulasi anggota organisasi agar mengikuti arahan pemimpin. Namun, hal ini mesti didasari kesadaran jika tantangan besar hanya dapat dihadapi jika anggota organisasi dihargai dan diberdayakan.
”Demi menghadapi tantangan yang begitu besar, sulit dimengerti, apalagi diprediksi dan dikontrol, pemimpin perlu menghargai potensi anggota organisasinya dan mengembangkan penghayatan kekitaan,” ujarnya.
Corina menambahkan, sekalipun secara umum budaya Indonesia cenderung nyaman dengan jarak kekuasaan yang tinggi antara pemimpin dan anggotanya, ada potensi untuk membangun penghayatan bahwa pemimpin dan anggota organisasinya adalah satu tim yang bisa saling mengoreksi. Potensi ini akan lebih mudah diaktualkan jika pemimpin terlebih dahulu merangkul anggota organisasi dan membuka peluang bagi mereka untuk turut berperan.
Upacara pengukuhan guru besar tersebut dihadiri oleh Rektor UI Prof Ari Kuncoro, Ketua Senat Akademik UI Prof Nachrowi Djalal, Sekretaris Dewan Guru Besar UI Prof Indang Trihandini, Dekan Fakultas Psikologi UI Bagus Takwin, dan sivitas akademika UI lainnya. ”Sampai saat ini guru besar (UI) NIDN (nomor induk dosen nasional) berjumlah 314 orang dan guru besar NIDK (nomor induk dosen khusus) berjumlah 116 orang. Dengan demikian, jumlah totalnya 430 guru besar,” ujar Ari.