Kesehatan jiwa pelajar perlu diperhatikan dan diutamakan karena kebanyakan aktif di media sosial dan berpotensi memengaruhi kesehatan mental. Regulasi emosi dan dukungan orang di sekitar perlu dilatih untuk menghindari dampak negatif.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keseimbangan kesehatan fisik dan mental sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Namun, kesehatan jiwa di kalangan pelajar masih sering diabaikan. Padahal, secara global, satu dari tujuh anak berusia 10-19 tahun mengalami gangguan jiwa.
Kesehatan mental pelajar perlu mendapatkan perhatian serius. Kemampuan mengelola emosi menjadi salah satu kunci. Sebab, banyak kasus remaja menyakiti diri sendiri karena tidak dapat menyalurkan emosi dengan tepat.
Pelaksana Tugas Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) I Nyoman Rudi Kurniawan mengatakan, kesehatan remaja merupakan aspek yang tak kalah penting dibandingkan kesehatan fisik. Namun, persoalan ini masih dianggap remeh sehingga kurang mendapat perhatian.
”Sering sekali masalah kesehatan jiwa diabaikan. Padahal, keseimbangan kesehatan fisik dan jiwa sangat penting bagi perkembangan individu,” ujarnya dalam webinar ”Sehat Mental, Sehat Digital”, Jumat (15/12/2023).
Nyoman menuturkan, di usia remaja awal, siswa lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah bersama teman sebaya. Oleh karena itu, faktor kesehatan jiwa juga patut diprioritaskan dalam dunia pendidikan.
”Kita sering terlalu fokus pada perkembangan akademik dan pencapaian. Padahal, kesehatan jiwa juga memengaruhi setiap aspek kehidupan remaja,” ucapnya.
Menurut Nyoman, remaja di era sekarang merupakan generasi digital. Intensitas aktivitas di ranah daring semakin tinggi. Apalagi, mayoritas pelajar juga aktif di media sosial.
Aktivitas di ruang digital sangat berpotensi memengaruhi kesehatan mental remaja. Tak jarang mereka mengalami perundungan di media sosial. Hal itu kemudian menjadi tekanan psikologis yang membebani mereka.
Pada intinya, mengelola emosi itu bukan dengan menahannya atau tidak boleh diekspresikan, melainkan diterima lalu disalurkan dengan cara-cara sehat.
”Ketika remaja tidak memiliki kemampuan meregulasi emosi dan dukungan orang-orang di sekitarnya tidak optimal, hal itu dapat mengganggu kesehatan mental dan menyebabkan kesulitan dalam belajar,” katanya.
Psikolog anak dan remaja, Anastasia Satriyo, mengatakan, regulasi atau pengelolaan emosi perlu dilatih. Sebab, masa remaja mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental.
Emosi di masa remaja masih labil sehingga belum bisa mengelola konflik dengan baik. Hal ini bisa menjurus pada kekerasan. Pernikahan dini, misalnya, sering menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.
”Perlu dipastikan di masa ini untuk mengembangkan diri dengan hal-hal positif, seperti melalui pendidikan agar menjadi pribadi yang matang menjelang dewasa,” ujarnya.
Anastasia menuturkan, mental remaja gampang terpuruk saat dikritik. Hal ini berkaitan dengan hormon dopamin yang belum memadai. Hormon ini memengaruhi kesenangan atau kebahagiaan seseorang.
”Makanya sekarang ada pendekatan disiplin positif dengan menggunakan kata-kata yang menyemangati. Remaja bisa down berminggu-minggu hanya karena kata-kata yang tidak ramah kesehatan mental,” katanya.
Anastasia menambahkan, kesehatan mental remaja pelajar tidak terlepas dari dukungan orangtua atau orang dewasa di sekitarnya. Oleh sebab itu, mereka diharapkan membantu remaja dalam mengelola emosi.
”Pada intinya, mengelola emosi itu bukan dengan menahannya atau tidak boleh diekspresikan, melainkan diterima lalu disalurkan dengan cara-cara sehat,” ucapnya.
Mitra Muda Unicef Indonesia Cristina Setianingrum mengatakan, saat berinteraksi di media sosial, remaja pelajar berisiko terpapar konten yang tidak sesuai dengan usia mereka. Selain itu, mereka juga rentan menjadi korban perundungan.
”Sekitar 500.000 anak di Indonesia mengalami eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya dalam setahun terakhir. Sebesar 29 persen anak pernah mengirim informasi pribadi ke orang yang belum pernah mereka temui secara langsung,” katanya.