Setiap rumah sakit perlu memiliki ruang NICU untuk menangani bayi prematur. Namun, di Indonesia belum semua punya fasilitas ini.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bayi prematur atau bayi yang lahir terlalu dini dengan berat badan rendah memerlukan fasilitas kesehatan yang mumpuni, baik dari segi peralatan maupun sumber daya manusianya. Dengan begitu, angka kematian bayi di Indonesia bisa terus ditekan.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan, Lovely Daisy mengakui, belum semua rumah sakit, terutama rumah sakit umum daerah, mampu menangani bayi prematur. Pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas fasilitas dan pelayanan di setiap rumah sakit, salah satunya dengan menunjuk Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan (RSAB) Kita Jakarta sebagai rumah sakit pengampu program peningkatan kesehatan ibu dan anak yang bisa dicontoh semua rumah sakit di Indonesia.
Hal tersebut dilakukan dengan mengadakan pelatihan rutin bagi perawat dan dokter dari sejumlah daerah ke RSAB Harapan Kita untuk belajar tata laksana penanganan bayi prematur. ”Pastinya disesuaikan dengan level rumah sakitnya juga walau tidak mungkin sama dengan RSAB Harapan Kita, kita harapkan rumah sakit lain bisa menjadi lebih baik,” kata Daisy saat ditemui di RSAB Harapan Kita, Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Namun, menurut dia, kebutuhan untuk menangani bayi prematur dengan peralatan yang kompleks seperti inkubator yang canggih belum banyak dibutuhkan. Hampir semua rumah sakit tipe A di Indonesia sudah bisa menangani, tetapi perlu peningkatan pelayanan sampai ke rumah sakit di daerah-daerah agar pasien tidak perlu jauh-jauh ke rumah sakit di kota.
Terlepas dari itu, Daisy menegaskan bahwa yang paling penting adalah pemeriksaan kesehatan sebelum menikah atau pemeriksaan kesehatan calon ibu sebelum mengandung. Dengan pemeriksaan itu, potensi gangguan kehamilan yang akan muncul bisa dimitigasi lebih dini. Kemenkes mengimbau, seorang ibu hamil harus menjalani kontrol pemeriksaan kandungan minimal enam kali sebelum melahirkan.
”Di tri semester pertama, dokter harus bisa menemukan adanya komplikasi pada ibu hamil yang bisa berdampak pada ibu dan janinnya,” ucapnya.
Dokter spesialis anak RSAB Harapan Kita Johanes Edy Siswanto mengatakan, meski RSAB Harapan Kita telah memiliki ruang NICU dengan kapasitas 20 inkubator, rumah sakit ini tidak pernah sepi melayani bayi prematur. Dia berharap pelayanan NICU semakin berkembang di seluruh rumah sakit di Indonesia.
”Ini menjadi tugas Kemenkes dan kita semua untuk mengantarkan tempat lain bisa seperti di tempat kami atau di RS Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional untuk bayi-bayi kecil,” tutur Edy.
Angka kematian bayi di Indonesia pada 2020 sebesar 189 jiwa per 100.000 kelahiran. Ini menempatkan Indonesia berada di urutan kedua kematian bayi tertinggi di ASEAN.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rinawati Rohsiswatmo menjelaskan, ada sejumlah faktor penyebab bayi prematur, mulai dari faktor si calon ibu, seperti mengidap berbagai penyakit, seperti hipertensi, diabetes, infeksi, riwayat persalinan prematur sebelumnya, serviks, malanutrisi, jarak antarkehamilan terlalu dekat, dan kehamilan pada usia di atas 35 tahun atau di bawah 19 tahun. Selain itu, faktor dari janin yang kembar dan kelainan lainnya juga berpotensi menjadi bayi prematur.
Dalam jangka pendek, bayi yang lahir prematur bisa mengalami kondisi sesak, infeksi, ketidakstabilan suhu seperti hipotermia, dan gangguan pencernaan. Dalam jangka panjang, anak yang lahir prematur bisa mengalami gangguan tumbuh kembang, lumpuh otak atau cerebral palsy, gangguan kognitif, hingga gangguan penglihatan atau pendengaran. Oleh karena itu, setiap rumah sakit perlu memiliki ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) yang memadai.
”Bayi prematur harus dilahirkan di fasilitas kesehatan yang sesuai. Pemberian steroid di Indonesia sudah dilakukan, tetapi adakalanya ibu hamil terlambat mendapatkannya. Stunting dan angka kematian bayi itu penyumbang terbesarnya karena kelahiran prematur,” kata Rinawati.
Kemenkes mencatat, angka kematian bayi di Indonesia pada 2020 sebesar 189 jiwa per 100.000 kelahiran. Angka ini dalam jalur yang baik jika berdasarkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, yakni 183 jiwa dan 70 jiwa pada 2030.
Namun, angka ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Indonesia berada di urutan kedua terbawah, sedangkan di urutan atas yang AKI-nya rendah ada Malaysia (29 jiwa per 100.000 kelahiran), Brunei Darussalam (31 jiwa), dan Thailand (37 jiwa).
Data lain menunjukkan, 48,9 persen ibu hamil di Indonesia mengalami kekurangan darah atau anemia; 12,7 persen hipertensi; 17,3 persen kurang energi kronis (KEK); dan 28 persen ibu hamil dengan risiko komplikasi. Maka dari itu, deteksi dini dapat mencegah bayi prematur.
Sebelum hamil, seorang perempuan harus diperiksa kadar hemoglobinnya, jika terdeteksi anemia disarankan mengonsumsi tablet penambah darah setiap minggu. Saat hamil, konsumsi tablet penambah darah menjadi 90 hari selama kehamilan, perlu juga makanan tambahan bagi ibu hamil.