Pelibatan Difabel dalam Aksi Iklim Harus Diperkuat
Kelompok penyandang disabilitas sangat rentan terdampak perubahan iklim, tetapi suara mereka seringkali dikesampingkan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok penyandang disabilitas tidak boleh lagi dipandang sebelah mata. Mereka harus dilibatkan dalam setiap kebijakan, termasuk untuk mengatasi perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Kelompok difabel termasuk kelompok rentan terdampak perubahan iklim, tetapi suara mereka seringkali dikesampingkan.
Sekretaris Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Rusly mengatakan, Perjanjian Paris 2015 yang turut disepakati oleh pemerintah Indonesia menegaskan bahwa kelompok difabel juga harus terlibat dalam gerakan mengatasi perubahan iklim. Dengan komitmen tersebut, pemerintah ingin melibatkan semua pihak dalam upaya mencapai nol emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Dia mengakui, penyandang disabilitas masih menjadi kelompok yang kerap diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam perencanaan penanggulangan hingga kesiapsiagaan bencana. Hal ini tidak terlepas dari berbagai pandangan negatif yang melekat.
”Kita terus mencari jalan dan metode untuk pelibatan teman-teman (penyandang) disabilitas yang lebih kuat lagi. Semua punya hak untuk menikmati lingkungan yang sehat, dalam setiap perundingan kita harus melibatkan peran teman-teman difabel dalam banyak kegiatan dan kebijakan kita,” kata Agus dalam diskusi ”Peringatan Hari Disabilitas Internasional” di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta, Kamis (14/12/2023).
Menurut Agus, kelompok penyandang disabilitas bisa melakukan hal sederhana untuk turut terlibat dalam gerakan mengatasi perubahan iklim. Misalnya mengurangi penggunaan plastik, makan sampai habis, menggunakan kendaraan umum, menanam pohon, dan aktivitas baik lainnya.
Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan, menilai, pelibatan penyandang disabilitas dalam upaya mengatasi perubahan iklim masih minim. Padahal, difabel adalah sebuah keberagaman, bukan masalah, sehingga ia memiliki hak yang setara. Penyandang disabilitas harus dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan mengatasi perubahan iklim, bukan hanya dianggap sebagai obyek.
Menurut Hari, kelompok penyandang disabilitas sering kali ditinggalkan dalam proses pengkajian risiko bencana. Selain itu, sampai saat ini belum ada skema yang dapat dirujuk terkait rehabilitasi yang komprehensif dalam perlindungan difabel pascabencana.
Penyandang disabilitas lebih rentan meninggal dunia, dua hingga empat kali lipat dibandingkan dengan populasi umum ketika bencana terjadi.
”Penyandang disabilitas tidak pernah dilibatkan dalam aktivisme lingkungan sehingga banyak yang tidak paham kebutuhan (penyandang) disabilitas ketika terjadi bencana,” kata Hari.
Total jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dengan jumlah penyandang disabilitas terbanyak pada usia lanjut. Mereka bisa terlibat dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Oleh sebab itu, perlu adanya penyusunan jalan inklusi pada persoalan ekologi dan perubahan iklim. Penyusunan ini wajib melibatkan penyandang disabilitas agar meningkatkan kesadaran dan dukungan masyarakat untuk menjadi inklusi.
Deputi Bidang Pencegahan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Prasinta Dewi mengemukakan, tidak ada seorang pun yang tidak rentan pada bencana yang muncul akibat perubahan iklim. Edukasi dan penyediaan akses kepada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas menjadi sangat penting.
”Penyandang disabilitas lebih rentan meninggal dunia, dua hingga empat kali lipat dibandingkan dengan populasi umum ketika bencana terjadi,” kata Prasinta.
Meski begitu, Prasinta menegaskan bahwa penyandang disabilitas tetap memiliki kemampuan untuk mengatasi bencana dengan cara yang sama. Untuk itu, mereka harus dilibatkan dalam forum-forum pengurangan risiko bencana agar kebutuhan mereka bisa diakomodasi.
Tak hanya di Indonesia, laporan berjudul ”Disability Inclusion in National Climate Commitments and Policies” yang disusun peneliti dari McGill Center for Human Rights and Legal Pluralism, McGill University, Kanada, juga menunjukkan minimnya upaya pelibatan penyandang disabilitas di sejumlah negara di dunia.
Laporan ini menunjukkan, hanya 35 dari 192 negara yang menyertakan referensi tentang penyandang disabilitas dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) mereka. Kemudian, dari 192 negara tersebut juga tercatat hanya 45 negara yang memasukkan penyandang disabilitas dalam kebijakan atau program nasional mereka dalam merespons perubahan iklim.