Siswa Perokok Habiskan Uang hingga Rp 200.000 Per Minggu untuk Rokok
Kemudahan mengakses rokok membuat tingkat konsumsi rokok pada anak menjadi meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset yang dilakukan Center for Indonesia’s Strategic Development Inisiative atau CISDI mengungkap, sekitar 70 persen siswa SMP dan SMA membeli rokok batangan saat mencoba merokok untuk pertama kali. Selain itu, pembelian rokok batangan juga dilakukan setidaknya pada 30 hari terakhir saat riset dilakukan.
Pembelian rokok batangan pada remaja berkaitan erat dengan kebiasaan mengonsumsi lima batang rokok per hari atau kurang. Pada kondisi tersebut, remaja sudah masuk pada fase eksperimen dari tahap kecanduan nikotin.
”Menurut para siswa, penjualan rokok eceran yang masif mendorong mereka untuk membeli rokok lebih sering. Itu menyebabkan mereka menghabiskan uang saku untuk rokok Rp 30.000 sampai Rp 200.000 setiap minggu,” ujar Chief of Research and Policy CISDI Olivia Herlinda dalam siaran pers yang diterima dI Jakarta, Rabu (13/12/2023).
Olivia mengungkapkan, remaja tergoda untuk membeli rokok secara terus-menerus karena mudahnya mengakses rokok batangan. Rokok juga dipromosikan secara masif dan tersedia di sekitar lingkungannya. Para remaja bisa dengan mudah memperoleh rokok di kios-kios sekitar sekolah dengan harga yang terbilang murah, Rp 1.000 per batang. Padahal, sebagian besar siswa menerima uang saku per minggu sekitar Rp 50.000.
Penjualan rokok eceran yang masif mendorong mereka untuk membeli rokok lebih sering. Itu menyebabkan mereka menghabiskan uang saku untuk rokok Rp 30.000 sampai Rp 200.000 setiap minggu.
Menurut Olivia, mudahnya remaja mendapatkan rokok batangan disebabkan karena tidak adanya aturan larangan penjualan rokok secara eceran. Kepatuhan dan penegakan hukum dalam melarang penjualan rokok pada anak di bawah 18 tahun di Indonesia pun sangat lemah. Mayoritas kios penjual rokok tidak mengecek identitas pembeli rokok.
Sejumlah remaja mengaku jarang diminta menunjukkan kartu identitas saat membeli rokok di warung, kios, bahkan minimarket. Hal itu membuat anak di bawah umur bisa bebas membeli dan mengonsumsi rokok.
Kemudahan membeli rokok tersebut berkorelasi erat dengan meningkatnya jumlah perokok anak di Indonesia. Bukti terbaru dari data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menyebutkan adanya tren kenaikan pembelian rokok eceran di kalangan siswa di Indonesia. Pembelian rokok eceran pada remaja tahun 2014 sebesar 11 persen, meningkat menjadi 13 persen pada 2019.
Kebijakan
Olivia menyebutkan, kondisi tersebut seharusnya bisa semakin mendorong dan memperkuat implementasi larangan penjualan rokok batangan di Indonesia. Larangan itu harus diiringi dengan penegakan hukum yang kuat dan langkah pengendalian produk tembakau lainnya.
Upaya pengendalian yang bisa dilakukan ialah dengan mengatur jumlah minimum batang rokok per bungkus, menaikkan cukai rokok secara signifikan, dan menyederhanakan tarif cukai rokok.
Kenaikan harga jual rokok yang signifikan dapat mempercepat seseorang untuk berhenti merokok. Peningkatan harga rokok dapat menekan prevalensi merokok sekaligus mencegah anak untuk mulai merokok.
Penerapan kebijakan kenaikan cukai dapat menjadi langkah pemerintah untuk meningkatkan harga jual rokok di pasaran. ”Sayangnya, kebijakan kenaikan harga rokok yang terjadi selama ini tidak efektif. Masih ada ruang yang sangat luas bagi pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok lebih tinggi lagi,” tutur Olivia.
Secara terpisah, Manajer Program Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Ni Made Shellasih mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kesehatan yang sedang disusun pemerintah diharapkan bisa memperkuat upaya pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. RPP itu seharusnya bisa menyajikan kerangka yang jelas dalam pengaturan rokok konvensional dan rokok elektrik, upaya perlindungan masyarakat dari dampak buruk rokok, sekaligus mengarahkan industri rokok untuk mematuhi standar kesehatan yang sama dengan rokok konvensional.
Program and Research Officer IYCTC, Daniel Beltsazar, menambahkan, RPP Kesehatan seharusnya punya kekuatan yang lebih untuk melindungi anak muda dari bahaya rokok. Jika tidak, anak muda akan terus berisiko terpapar candu rokok. Anak-anak dan orang muda merupakan kelompok rentan dalam masalah rokok.
”Kami dorong pemerintah agar kebijakan pengendalian konsumsi rokok di RPP Kesehatan diperkuat dan segera disahkan. Hingga detik ini, perlindungan anak dan masyarakat dari adiksi rokok belum diatur. Selain itu, keberpihakan negara untuk menanggulangi krisis epidemi tembakau di Indonesia masih lemah selama bertahun-tahun,” tuturnya.