Pelaku Kejahatan Seksual Memanfaatkan Dompet Digital
Dunia daring menjadi pintu masuk kejahatan seksual anak. Sejumlah anak menjadi korban eksploitasi seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejahatan seksual anak di ranah daring kian mengkhawatirkan. Saat ini, para pelaku kejahatan bisa langsung berhubungan dengan anak korban secara daring dan membayar layanan seksual dengan memanfaatkan dompet digital atau e-wallet. Peran penyedia jasa keuangan dan semua pihak sangat penting untuk memerangi kejahatan seksual anak.
Dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2022, terdapat transaksi keuangan sebesar Rp 114 miliar yang terkait dengan video pornografi anak dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia.
”Banyak pelaku menggunakan sarana teknologi finansial e-wallet untuk menampung pembayaran dari pembelian konten pornografi,” ujar Kepala Subbagian Tata Usaha Pusat Pemberdayaan Kemitraan Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Adhitya Abriansyah Afandi,
"Selain itu pelaku memakai layanan internet dan mobile banking untuk transaksi,” kata Adhitya dalam Pertemuan Multipihak ”Bringing Together Financial Leaders to Protect Children”, di Jakarta, Senin (11/12/2023).
Pada kegiatan yang diadakan ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia didukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Adhitya mengungkapkan temuan PPATK terhadap berbagai profil orang-orang yang terlibat dalam jaringan TPPO dan eksploitasi seksual anak.
Banyak pelaku menggunakan sarana teknologi finansial e-wallet untuk menampung pembayaran dari pembelian konten pornografi.
”Mengingat dampak kejahatan eksploitasi seksual anak berdampak luas, diperlukan pendekatan bersama, baik pemerintah industri, komunitas internasional, maupun seluruh lembaga terkait untuk identifikasi kejahatan ini,” ujarnya.
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian menegaskan, modus kejahatan seksual anak terus berkembang dan belakangan ini lembaga keuangan dimanfaatkan pelaku kejahatan anak. Pembayaran-pembayaran layanan seksual dari anak bisa dilakukan langsung kepada anak.
”Kalau dulu pembayarannya harus melalui orang dewasa, muncikari atau germo. Jadi, anak face to face bisa langsung bertemu dengan pelaku kejahatan seksual. Jadi, pelaku kejahatan seksual menyalahgunakan lembaga keuangan untuk melakukan transaksi keuangan,” ucap Sofian.
Upaya pencegahan bersama
Karena itu, Sofian mengajak semua pihak untuk mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak dengan menjaga lembaga keuangan yang bertujuan positif untuk pembiayaan, tidak sampai dimanfaatkan atau disalahgunakan oleh pelaku kejahatan anak.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan, Kementerian PPPA, Ciput Eka Purwianti menyatakan, saat ini teknologi tak terpisah dengan kehidupan sehari-hari dan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Namun, penggunaan teknologi informasi itu harus mendapat perhatian semua pihak jangan sampai menimbulkan risiko pada anak-anak.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menyeluruh, cepat berubah, dan bersifat lintas batas dapat menimbulkan risiko anak terpapar dan/atau menjadi korban penyalahgunaan di ranah dalam jaringan. Hal ini memerlukan upaya pelindungan secara komprehensif dan sinergis.
”Kita perlu bersama-sama memikirkan upaya pencegahan yang komprehensif dan sinergi, tapi juga kita merespons jika ternyata upaya pencegahan kita ada kebocoran atau kegagalan yang menyebabkan ada sejumlah anak mengalami eksploitasi,” ujar Ciput.
Kejahatan eksploitasi seksual anak di Indonesia masih terjadi. Secara statistik, berdasarkan Survei Nasional tentang Pengalaman Hidup Anak dan Remaja pada 2018 dan 2021, memang angka kekerasan ada penurunan, tapi prevalensi kekerasan pada anak masih tinggi. Dari data, terlihat 4 dari 10 anak perempuan remaja (13-17 tahun) dan 3 dari 10 anak laki-laki usia sama, pernah mengalami kekerasan, setidaknya satu jenis kekerasan.
“Kemudian diperdalam dengan pengalaman mereka, kekerasan seksual ini juga masih tinggi. Jadi, anak perempuan dua kali lipat jumlahnya dari anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual,” kata Ciput.
Diskusi tersebut juga dihadiri Lukita Wardhani Setiyarso (Child Rights and Business Specialist dari Unicef), Andy Ardian (Program Manager ECPAT Indonesia), dan Shela Shahira Alatas (Anti Money Laundering Compliance Manager, PT Western Union Indonesia) sebagai narasumber.