Remaja Indonesia Suarakan Keadilan Iklim di COP28 Dubai
Erwin dan Nasywa, aktivis muda Indonesia, ikut serta dalam COP28 di Dubai. Mereka mendapat kesempatan untuk menyuarakan aksi iklim dan sosial di Tanah Air.
DUBAI, KOMPAS — Remaja asal Indonesia hadir dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Mereka adalah korban krisis lingkungan yang berani menyuarakan pentingnya keadilan iklim dan sosial di Tanah Air.
COP28 hari ke-8, Jumat (8/12/2023), diselenggarakan sebagai harinya anak muda. Sebagaimana penyelenggaraan COP sebelumnya, anak-anak muda yang telah melakukan aksi nyata untuk lingkungan dan sosial disponsori untuk hadir. ”Partisipasi mereka diharapkan memberi sumbangsih dalam pembuatan kebijakan iklim,” tulis situs resmi COP28.
Hari ini, kepresidenan COP28 mengumumkan 100 delegasi muda dari negara tertinggal, negara berkembang pulau kecil, masyarakat adat, dan kelompok minoritas lainnya di seluruh dunia. Mereka tergabung dalam Program Delegasi Iklim Pemuda Internasional dan akan menjadi pengamat dalam panel-panel diskusi kebijakan iklim setidaknya hingga COP28 berakhir. Mereka juga bisa menyuarakan pesan dan tanggapan lewat organisasi yang mewadahi mereka nantinya.
Seorang perwakilan anak muda dari Indonesia pun ada di dalamnya. Dia adalah Erwin Mahendra Eka Saputra (22). Ia disebut sebagai Inisiator Muda untuk Program Aksi Iklim yang sering terlibat dalam tujuh respons kedaruratan bencana. Kompas pernah mewawancarainya pada Mei 2022 lalu. Pemuda asal Bandung, Jawa Barat, itu menggagas program pengurangan risiko bencana berpusat pada anak di Satuan Bhakti Sosial Mahasiswa (SBSM) Poltekesos Bandung.
Melalui program tersebut, Erwin dan kawan-kawan mendorong peningkatan kapasitas dan partisipasi anak dalam pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, serta adaptasi perubahan iklim. Di Jabar, seperti Kota Bandung, menurut Erwin, ada sekitar 350 sekolah yang masuk dalam daerah rawan bencana gempa bumi.
”Kami melakukan kampanye dan memobilisasi anak-anak muda lewat media sosial. Dari kampanye itu, sekitar 450 anak muda berpartisipasi dengan menanam bibit mangrove di beberapa tempat. Di kampus saya, anak-anak muda melakukan aksi di sekolah-sekolah terkait bencana, seperti pembuatan jalur evakuasi, pembentukan komunitas siaga bencana. Kami kolaborasi dengan organisasi pemuda,” papar Erwin (Kompas.id, 22/5/2023).
Menurut Bank Dunia, perubahan iklim bisa membuat 100 juta orang masuk ke dalam kemiskinan ekstrem.
Pada Selasa (5/12/2023), perwakilan remaja Indonesia lainnya hadir di COP28. Dia adalah aktivis muda dari Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) asal Jambi bernama Nasywa Adivia Wardana (16). Hari itu, ia berbicara dalam satu sesi kegiatan bertajuk Young and Fearless: The Powerful Voices of Young Women Environmental Right Defenders di paviliun perempuan dan jender.
Duduk di lingkaran tengah beberapa pembicara perempuan dewasa dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dengan percaya diri Nasywa membacakan kisahnya dalam bahasa Indonesia. Ia menceritakan perjalanannya menjadi aktivis muda di Pulau Sumatera yang memiliki segudang masalah lingkungan dan sosial.
”Saya tergugah dan memiliki kesadaran baru sebagai aktivis perempuan dan lingkungan dalam usia sangat muda karena beberapa hal. Pertama, sejak kecil saya sudah menjadi korban dari bencana asap karena kebakaran lahan skala besar yang terjadi di Pulau Sumatera, khususnya Propinsi Riau,” kata Nasywa, membacakan teks yang ia buat dengan bantuan orangtuanya.
Saat ditemui Kompas, siswi sekolah menengah atas itu mengaku mengenal dunia aktivis dari orangtuanya. Namun, itu bukan pemicu utama dan pendukung ia bisa menjadi aktivis muda hingga bisa hadir di COP28. Dampak negatif dari kerusakan lingkungan yang ia rasakan sejak kecil menjadi pemantiknya.
”Saya pernah ada di pelosok Riau, ada kebun sawit yang sangat luas. Saya melihat para petani kecil di sekitar sana tidak bisa menghidupi tanaman itu lebih baik karena nutrisi diambil oleh sawit. Tanah di situ pun sudah kering dan bisa dibilang tidak produktif untuk ditanami tanaman lain. Dan kebakaran terjadi pada tahun 2015, saya tidak bisa keluar rumah dan melihat langit biru,” kisahnya.
Baca juga : Emisi Energi Fosil dan Deforestasi Indonesia 10 Besar Terburuk di Dunia
Masalah lingkungan juga ia kerap temui ketika ikut orangtuanya pindah ke Kabupaten Tebo, Jambi. Di sana, ia menyaksikan buruknya kualitas air Sungai Batanghari karena aktivitas tambang emas tradisional. Dan tentu, asap kebakaran hutan yang kerap muncul dan menjadi parah setiap lima tahun sekali.
Tahun 2022, ia pun memutuskan untuk menjadi aktivis anak dengan organisasi Seruni. Ia kemudian terlibat dalam program-program untuk memulihkan sungai hingga pemberdayaan masyarakat, khususnya anak.
Ia dan rekan-rekan di organisasi membangun bendungan dengan karung pasir untuk menyaring air Sungai Batanghari yang tercemar air raksa. Ia juga terlibat dalam pembangunan taman ekologis Rivera Park di Kabupten Tebo. Nasywa juga aktif mempromosikan penanaman tanaman pangan organik yang ramah lingkungan di desa tempatnya tinggal.
Meski kegiatan itu mendatangkan manfaat, perjuangan Nasywa dan organisasi itu tidak lantas diamini semua orang.
”Tantangannya itu, banyak yang enggak suka dengan apa yang kami buat, kayak tuan tanah di sana menganggap membuat banjir dan melanggar aturan. Banyak anak muda di perdesaan juga susah diajak kerja sama karena orangtua mereka bergantung pada pekerjaan yang menghasilkan emisi. Dan secara kultur sering susah diajak berpikir maju,” ungkapnya.
Bagaimanapun, ia berharap anak-anak muda lebih banyak mendapat dukungan untuk menjalankan aktivitas yang bersentuhan dengan lingkungan hidup. Ini penting karena menurut penelitian Global Carbon Project dari 120 ilmuwan internasional, yang dirilis Senin (4/12/2023), tercatat, Indonesia masuk sepuluh besar negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar.
Dan kebakaran terjadi pada tahun 2015, saya tidak bisa keluar rumah dan melihat langit biru. (Nasywa Adivia Wardana)
Prestasi buruk ini berasal dari sektor penggunaan lahan, yang menghasilkan rata-rata 930 juta ton emisi per tahun selama 2013-2022. Jumlah itu menyumbang 19,9 persen dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Emisi ini dihasilkan tidak hanya dari kegiatan deforestasi atau penebangan hutan, tetapi juga aktivitas panen kayu di hutan industri.
Data itu menempatkan Indonesia di urutan kedua negara pengemisi karbon dari sektor alih fungsi lahan setelah Brasil, disusul Kongo, Malaysia, Tanzania, Vietnam, Myanmar, Meksiko, Angola, dan Etiopia (Kompas.id, 6/12/2023).
Laporan tersebut juga memproyeksikan total emisi karbon dioksida global dari energi fosil dan perubahan penggunaan lahan mencapai 40,9 miliar metrik ton pada tahun 2023. Jumlah tersebut hampir sama dengan tingkat emisi karbon pada tahun 2022.
Pada tingkat emisi saat ini, tim Anggaran Karbon Global memperkirakan 50 persen kemungkinan pemanasan global akan melampaui 1,5 derajat celsius secara konsisten dalam waktu sekitar tujuh tahun.
Baca juga : Suara Anak Muda Tak Cukup Hanya Didengar
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dalam laporannya tahun lalu mengatakan, situasi seperti itu membuat banyak anak muda menyuarakan tuntutan untuk keadilan lingkungan dan sosial mereka. Apalagi, diperkirakan 149 juta anak di seluruh dunia telah merasakan kerentanan bencana iklim, mulai dari kekeringan dan banjir, angin kencang, hingga penurunan kualitas udara.
Menurut Bank Dunia, perubahan iklim bisa membuat 100 juta orang masuk ke dalam kemiskinan ekstrem. Selain itu, pada tahun 2050, lembaga International Food Policy Research memperkirakan akan ada 20 persen peningkatan jumlah anak yang kekurangan gizi dibandingkan jika tanpa perubahan iklim.
Mempertimbangkan masalah tersebut dan negosiasi iklim yang tidak kunjung jelas, Unicef melaporkan, pada COP26 tahun 2021, puluhan ribu anak muda turun ke jalan untuk aksi keadilan iklim. Ini menyusul pertemuan 330 delegasi pemuda dari 140 negara pada tahun 2020 yang menghasilkan deklarasi konferensi global.
COP28 dinantikan untuk bisa menghasilkan gerakan serupa yang lebih memberi dampak. Harapan ini pun telah disemai Erwin dan Nasywa, yang membawa suara kepedulian anak muda di Tanah Air ke hadapan dunia.
Tulisan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security.