Ratusan anak muda di Youth4Climate mendesak sejumlah negara untuk tak sekadar mengumbar janji manis dan segera mengatasi krisis iklim. Waktu kian mendesak, Bumi semakin panas, dan masa depan anak muda dipertaruhkan.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
AP/LAPRESSE/CLAUDIO FURLAN
Aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg (tengah), berpidato pada pembukaan konferensi Remaja untuk Iklim selama tiga hari di Milan, Italia, 28 September 2021.
Sistem keuangan iklim yang transparan. Penambahan pembiayaan iklim untuk negara berkembang. Pariwisata berkelanjutan dan bertanggung jawab. Penghapusan industri bahan bakar fosil atau transisi energi hijau pada tahun 2030.
Rekomendasi hasil pertemuan 400 anak muda aktivis lingkungan hidup usia 18-29 tahun dari 190 negara, Youth4Climate, di Milan, Italia, itu diharapkan akan dibahas dalam pertemuan COP 26 di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November 2021.
COP 26 merupakan pertemuan ke-26 negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim. Forum itu menargetkan lebih banyak aksi konkret dari negara-negara anggotanya yang sudah menandatangani Kesepakatan Paris 2015 untuk menekan pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius.
Untuk mencapai target ambisius dan memastikan banyak negara memenuhi komitmennya, untuk pertama kalinya pada tahun ini anak muda diajak ikut mengusulkan kebijakan-kebijakan terkait iklim.
Perdana Menteri Italia Mario Draghi, sebagai penyelenggara COP 26 bersama Inggris, berjanji bahwa para pemimpin dunia akan mendengarkan rekomendasi anak muda itu.
Namun, sebelum diajukan ke COP 26, berkas rekomendasi itu akan dibahas di tingkat menteri energi terlebih dahulu hingga 25 Oktober mendatang. ”Anak muda berhak menuntut akuntabilitas dan perubahan. Pergerakan anak muda juga kuat. Suara mereka, kami dengar,” kata Draghi.
AP PHOTO/DPA/MATTHIAS BALK
Seorang aktivis perubahan iklim bergantung di atas sebuah rambu di Jalan Raya A9 dekat Frholzen menuju ke arah Muenchen, Jerman, Selasa (7/9/2021). Aktivis tersebut memegang poster bertuliskan ”hancurkan mobil". Sementara tulisan pada papan rambu telah diganti dengan tulisan ”smashcarlobby & industri - No IAA”.
Draghi juga berjanji akan mendorong negara-negara anggota G-20, termasuk Amerika Serikat, China, dan India, untuk mempercepat pelaksanaan komitmen 100 miliar dollar AS guna membantu negara-negara yang rentan beradaptasi pada perubahan iklim dan membantu transisi ke sumber energi yang lebih bersih.
Senada dengan Draghi, PM Inggris Boris Johnson juga mengakui anak muda berhak protes karena menjadi korban dan harus menanggung akibat dari keputusan dan tindakan sembrono generasi sebelumnya. Akibatnya bisa dirasakan sekarang. Gelombang panas, bencana banjir, dan kebakaran hutan semakin parah.
Untuk memastikan suara mereka didengar dan dilaksanakan, ratusan anak muda dari sejumlah negara kembali turun ke jalan bersama aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg. Mereka kembali mengingatkan semua pihak agar segera bergerak bersama dan tak hanya mengumbar janji manis karena suhu bumi akan terus memanas.
Saat ini suhu bumi naik 1,06-1,26 derajat celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pada 1850-1900 sebelum Revolusi Industri. Untuk mencegah kenaikan suhu 1,5 celsius, emisi harus dikurangi 45 persen dari level emisi tahun 2010.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres khawatir titik kritis iklim sudah dekat dan dunia harus segera memenuhi target paling ambisius dari Kesepakatan Paris, yakni mencegah kenaikan suhu 1,5 celsius. Harapan Guterres tertumpu pada anak muda yang diyakini akan bisa membantu mendesak banyak negara untuk segera bertindak konkret.
Keberanian Thunberg menggugat isu lingkungan menginspirasi gerakan anak muda peduli lingkungan di seluruh dunia. Salah satunya, Mitzi Jonelle Tan (23) asal Filipina, yang meluncurkan Advokat Anak Muda untuk Aksi Iklim pada 2019. Tan memulai gerakan itu karena kerap mengalami bencana banjir dan angin topan. Ia yakin, jika semua anak muda bergerak, dunia bisa berubah menjadi lebih baik.
”Jika tak bergerak sekarang, tidak akan ada lagi yang tersisa untuk generasi kami. Krisis iklim ini gerakan dunia karena ini masalah dunia,” ujar Tan.
Jika Tan memilih cara mengedukasi masyarakat soal isu iklim, Disha Ravi (22) lebih memilih ”jalan keras” dengan ikut ambil bagian dalam aksi protes kelompok petani yang terdampak perubahan iklim.
Kim Dohyeon (17), aktivis di Korea Selatan, juga memilih cara sama dengan Ravi untuk mendesak Pemerintah Korsel mencapai target netral karbon pada 2050. Pemerintah dan industri Korsel dinilai enggan melakukan perubahan pada sistem energi.
”Kalau tak mau berubah, bumi tidak akan pernah sehat. Waktu kita hampir habis. Yang naif itu kita, anak muda, atau mereka yang duduk di kekuasaan?” ujar Kim.
Kekhawatiran anak muda pada masa depan menjadi sorotan University of Bath dalam penelitiannya terkait pandangan anak muda terhadap perubahan iklim. Hasil penelitian itu, sebut Nikkei Asia, 2 Oktober 2021, menunjukkan 75 persen responden berusia 16-25 tahun merasa masa depan mereka semakin suram dan menakutkan. Mayoritas dari mereka yang merasa seperti ini datang dari Filipina, Brasil, Portugal, dan India.
Karena generasi muda yang akan mewarisi bumi, proses perundingan iklim semestinya lebih banyak mendengarkan suara anak muda. Wajar, jumlah anak muda usia 10-24 tahun saja mencapai 1,8 miliar dan 90 persen di antaranya tinggal di negara berkembang.
Mereka juga lebih rentan terhadap perubahan iklim ketimbang orang dewasa yang sudah bekerja dan bergaji lebih baik, memiliki kualifikasi lebih baik, dan jaringan lebih kuat.
Rentetan dampak perubahan iklim bagi anak muda panjang, mulai dari tak bisa lanjut sekolah, menikah dini karena alasan ekonomi, hingga kesulitan mencari pekerjaan, lalu terbelit lagi ke dalam belenggu kemiskinan.
Gerakan Thunberg ”Fridays for the Future” memang menginspirasi dan menggerakkan jutaan anak muda di perkotaan, tetapi gaungnya belum sampai ke daerah-daerah perdesaan yang terpencil. Padahal, merekalah yang paling terancam perubahan iklim dan kemiskinan. Seperti anak muda di Karamoja, Uganda, wilayah dengan tingkat populasi anak muda tertinggi di dunia, yang mengalami bencana banjir dan kekeringan dalam satu musim tanam yang sama.
Hal itu belum pernah terjadi sebelumnya. Ada yang bisa beradaptasi dengan mengembangkan inovasi teknik irigasi. Pandangan dan pengalaman konkret seperti mereka itulah yang semestinya lebih banyak diakomodasi di COP 26.
”Kami tak hanya minta didengar. Kami juga ingin menjadi rekan yang setara. Anak muda dan pemerintah makin tak saling percaya, dan anak muda juga makin frustrasi dengan krisis iklim. Itu kenapa keduanya harus bertemu di satu meja yang sama,” kata Jayathma Wickramanayake, salah satu utusan khusus untuk anak muda yang dipilih Guterres. (REUTERS/AFP/AP)