Mutu Belajar Tertinggal, Indonesia Tetap Berpotensi untuk Maju
Penyiapan pelajar Indonesia menghadapi tantangan kehidupan nyata yang makin kompleks lewat pendidikan bermutu menjadi pekerjaan rumah. Hasil tes PISA 2022 mesti menjadi refleksi.
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment atau PISA tahun 2022, Indonesia tergolong rendah dalam pencapaian skor kecakapan membaca, matematika, dan sains. Meski demikian, ada potensi non-akademik yang bisa dioptimalkan untuk mendukung prestasi belajar siswa.
Indonesia mengikuti PISA sejak tahun 2001. Tes ini mengukur kemampuan siswa di tiga bidang, yakni matematika, membaca, dan sains.
Program tersebut dirancang oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD).
Tes ini mengeksplorasi kemampuan siswa memecahkan masalah kompleks, berpikir kritis, dan berkomunikasi efektif. Hal ini memberikan wawasan seberapa baik sistem pendidikan mempersiapkan pelajar menghadapi tantangan hidup nyata dan masa depan yang sukses.
Secara keseluruhan, hasil PISA Indonesia tahun 2022 termasuk terendah yang pernah diukur PISA di tiga mata pelajaran. Hal ini setara dengan hasil yang diperoleh pada tahun 2003 dalam bidang membaca dan matematika dan tahun 2006 dalam bidang sains.
Baca juga: Skor PISA 2022 Indonesia Turun, Peringkat Naik
Meski hasil beberapa penilaian sebelumnya lebih tinggi dibandingkan hasil yang diamati pada tahun-tahun awal, peningkatan ini berkebalikan dengan penurunan yang terlihat pada tahun 2015 dan seterusnya.
Selama periode terakhir (2018 hingga 2022), kesenjangan antara siswa yang mendapat nilai tertinggi (10 persen dengan nilai tertinggi) dan siswa terlemah (10 persen dengan nilai terendah) menyempit dalam matematika. Hal itu tidak berubah signifikan dalam membaca dan sains.
Dalam matematika, mereka yang berprestasi tinggi menjadi lebih lemah, sedangkan kinerja tidak berubah secara signifikan di antara mereka yang berprestasi rendah.
Dibandingkan tahun 2012, proporsi siswa yang mendapat nilai di bawah tingkat kemahiran dasar (level 2) meningkat lima poin dalam matematika, meningkat 19 poin persentase dalam membaca, dan tidak berubah signifikan dalam sains.
Potensi Indonesia
Meski secara akademik siswa Indonesia tertinggal, dukungan bagi siswa untuk belajar dinilai positif. Direktur Directorate of Education and Skills OECD Andreas Schleicher mengutarakan, siswa Indonesia menunjukkan rasa memiliki yang kuat di sekolah, sesuatu yang sangat penting di zaman sekarang.
Sekitar 87 persen siswa di Indonesia melaporkan mereka mudah berteman di sekolah (rata-rata OECD 76 persen) dan 86 persen merasa diterima di sekolah (rata-rata OECD 75 persen).
Ketika banyak siswa di negara OECD mengaku tak puas dengan kehidupan mereka, sebaliknya di Indonesia banyak pelajar merasa puas. Di Indonesia, hanya 4 persen siswa melaporkan merasa tidak aman di sekolah, sedangkan banyak negara lain hampir dua kali lipat yang merasa tak aman.
Keterlibatan orangtua dalam pembelajaran di Indonesia tinggi. Pada 2022, ada 43 persen siswa di Indonesia di sekolah di mana kepala sekolahnya melaporkan tahun ajaran sebelumnya setengah dari semua keluarga membahas kemajuan anak dengan guru atas inisiatif mereka (dan 49 persen atas inisiatif guru).
”Siswa Indonesia melaporkan mendapat banyak dukungan dari guru selama pandemi Covid-19. Ini amat penting. Sebab, teknologi tidak bisa menggantikan perhatian dan kepedulian guru. Pembelajaran bukan transaksional, melainkan merupakan pengalaman relasional sosial,” ujar Andreas.
Baca juga: Narasi Skor PISA Indonesia Jangan Seolah-olah Prestasi
Akses pada dukungan guru yang baik bagi siswa yang membutuhkan mampu meningkatkan prestasi matematika siswa hingga 15 poin. Sebab, siswa akan merasa lebih percaya diri.
Siswa Indonesia mendapat banyak dukungan dari guru selama pandemi Covid-19. Ini amat penting. Sebab, teknologi tidak bisa menggantikan perhatian dan kepedulian guru.
Andreas juga menyoroti positif meningkatnya keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak mereka. Bahkan, relasi guru dan orangtua untuk mendukung kemajuan belajar siswa juga baik.
”Siswa yang mendapat dukungan dari orangtua dan guru akan memiliki sikap positif terhadap sekolah dan belajar. Indonesia menjadi contoh baik untuk menunjukkan peran komunitas dalam mendukung pendidikan,” tuturnya.
Fokus kualitas
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo PISA mengatakan, PISA kini menjadi satu-satunya benchmark atau acuan internasional yang diikuti Indonesia.
Data PISA menunjukkan lebih dari 20 tahun tidak banyak perubahan dari sisi kualitas. Sepertiga siswa yang memenuhi standar minimum internasional dalam hal literasi. ”Ini krisis belajar yang sudah lama terjadi dan diperparah dengan pandemi Covid-19,” ujarnya.
Data PISA diambil awal tahun 2022 setelah pandemi sehingga diwarnai kehilangan pembelajaran atau learning loss selama dua tahun penanganan Covid-19 dan disrupsi. ”Indonesia ikut agar memiliki ukuran dampak pandemi dan untuk mengatasi dampaknya dengan kurikulum darurat,” kata Anindito.
Menurut Anindito, data kualitas pembelajaran menjadi umpan balik untuk perbaikan. Dari sisi waktu, asesmen PISA mempunyai keterbatasan, yakni hanya dilakukan per tiga tahun untuk memotret hasil nasional.
Oleh karena itu, sejak tahun 2021 Kemendikbudrsitek melengkapi asesmen dengan asesmen nasional (AN) untuk menjangkau semua sekolah dan semua jenjang di Indonesia. Pengukurannya pun tidak hanya akademik, tetapi juga lingkungan belajar sekolah dan karakter profil pelajar Pancasila.
Hasil AN dilaporkan ke tiap sekolah sebagai refleksi untuk perbaikan dan perencanaan program dan anggaran untuk peningkatan kualitas pendidikan berbasis data.
Demikian juga pemerintah daerah dapat melihat rapor pendidikan tiap satuan pendidikan di daerahnya dan posisi daerahnya dibandingkan daerah lain. Publik pun dapat mengakses hasil AN secara nasional.
Anindito memaparkan, fokus pembangunan pendidikan berkualitas secara dilakukan lewat Merdeka Belajar yang tak sekadar perubahan elemen per elemen, tetapi perubahan sistem pendidikan.
”Upaya reformasi pendidikan sering gagal karena dilakukan secara parsial, misal hanya menyentuh pelatihan guru atau kurikulum tanpa mengubah asesmen atau sebaliknya. Perubahan yang berhasil dan ambisius dilakukan secara secara simultan atau bersamaan,” ujar Anindito.