Festival Semesta Buku untuk Menjawab Masalah Literasi
Buku jangan dianggap benda mati. Ia harus ”dihidupkan” dengan aktivitas sosial. Salah satunya melalui festival Semesta Buku.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan membaca buku bukan lagi hanya aktivitas individu, melainkan berkembang menjadi aktivitas sosial yang menyenangkan dan gaya hidup. Dengan begitu, gerakan literasi untuk meningkatkan minat baca meningkat, termasuk melalui festival buku.
Festival Semesta Buku yang digelar enam penerbit di grup penerbitan Gramedia ini menyediakan sejuta buku berkualitas yang bisa dibeli masyarakat dengan diskon hingga 90 persen. Semesta Buku digelar di Kompas Gramedia, Palmerah Barat, Jakarta Pusat, selama lima hari pada 6-10 Desember 2023.
Semesta Buku tidak hanya menjual sejuta buku, tetapi juga menghadirkan aktivitas sosial untuk mendekatkan pelanggan dengan sesama pembaca, buku-buku terbaik, dan penulis-penulis favorit. Selain itu, ada sesi menonton bareng dan diskusi bersama sutradara dan penulis, bertemu bersama Bobo, lomba mewarnai untuk anak-anak, dan lokakarya kreatif lainnya.
Karena buku itu mencerahkan, melibatkan, dan memberdayakan, bukan sekadar hanya dibaca.
Sejumlah penulis akan berinteraksi dengan pembaca, mulai dari membicarakan kisah romantis bersama Ayu Rianna, Ira Gita Sembiring, Nina Ardianti, dan Mariskova, dilanjut belajar copywriting bersama Veronica Gabriella, membicarakan proses kreatif penulisan novel Dompet Ayah, Sepatu Ibu bersama JS Khairen, ngobrol bareng Redaksi Blue Lock, membicarakan saus rahasia dalam novel dan series Gadis Kretek bersama Ratih Kumala, serta merangkai puisi bersama Natasha Rizky.
”Semesta Buku ini upaya untuk membuka akses seluas-luasnya kepada orang banyak untuk semakin mudah berjumpa dengan buku,” kata Adi Ekatama, Direktur Penerbit dan Edukasi Gramedia, di Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (12/6/2023).
Penulis Sahabat Literasi, Maman Suherman, mengatakan, buku tidak bisa hanya dianggap sebagai benda mati, tetapi benda hidup yang harus dihidupkan pembacanya. Cara menghidupkannya bisa dimulai dengan sederhana, yakni berdiskusi membahas sebuah buku atau saling bertukar buku dengan teman agar pengetahuan itu terus mengalir.
Alih wahana
Selain itu, bisa pula dengan mengalihwahanakan karya sastra menjadi musikalisasi puisi, film, teater, dan sebagainya, atau sampai ke hal yang lebih besar, yakni mendonasikan buku ke daerah-daerah yang sulit mengakses literasi melalui berbagai macam saluran.
”Buku jika ditaruh di rak tanpa ada aktivitas, tidak akan disentuh buku itu, sehingga butuh kreativitas kita untuk menghidupkan buku itu. Sebab, buku itu mencerahkan, melibatkan, dan memberdayakan, bukan sekadar hanya dibaca,” kata Maman.
Maman menegaskan, masalah rendahnya literasi bukan hanya karena rendahnya minat baca orang Indonesia, melainkan karena sulitnya akses masyarakat pada buku bacaan. Buku bacaan sulit diperoleh di daerah dengan kondisi geografis yang menantang, misalnya pegunungan. Akses buku di daerah terdepan, terluar, tertinggal atau 3T juga sulit.
Menurut survei Tingkat Kegemaran Membaca Nasional oleh Perpustakaan Nasional, pada tahun 2021, skor kegemaran membaca Indonesia adalah 59,92 dari skala 1-100. Artinya, tingkat kegemaran membaca ada di kategori sedang. Ramainya pengunjung pada hari pertama festival Semesta Buku, kata Maman, adalah bukti minat baca masyarakat sebenarnya tinggi jika diberi akses.
”Kalau satu orang Indonesia baca satu buku saja sudah ada 270 juta pembaca. Jadi masalahnya bukan minat baca, mereka semua haus bahan bacaan. Persoalannya cuma satu, akses antara buku dan manusia jaraknya jauh,” ucapnya.
Hal ini juga menjadi catatan bagi pemerintah karena dalam aturannya yang bertanggung jawab meningkatkan literasi bukan hanya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ataupun Perpustakaan Nasional. Terdapat 13 kementerian dan lembaga yang seharusnya juga terlibat dalam gerakan literasi.
Sebagai contoh, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang memiliki program satu desa satu perpustakaan. Namun, hingga November 2022, tercatat baru ada sekitar 31.000 desa yang memiliki perpustakaan dari total 81.616 desa di Indonesia.
Branch Manager Bank Tabungan Negara (BTN) Kantor Cabang Harmoni Ratna Prima Dewi mengakui, gerakan literasi kini bukan hanya tanggung jawab pegiat literasi. Semua pihak harus terlibat. Salah satunya dengan dukungan BTN sebagai anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pada festival Semesta Buku.
”Kerja sama dengan Gramedia ini sudah dari tahun 2019 sebagai komitmen kami pada gerakan literasi,” kata Ratna.