BRIN Kaji Teknologi Reaktor Berpendingin Gas Suhu Tinggi untuk Pengembangan PLTN
BRIN sedang mengembangkan teknologi reaktor berpendingin gas suhu tinggi untuk pengembangan PLTN di Indonesia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan ekonomi serta pertumbuhan penduduk yang terus meningkat membuat kebutuhan akan energi listrik semakin besar. Pemanfaatan yang lebih besar pada energi baru terbarukan, termasuk energi nuklir, tidak terelakkan. Teknologi reaktor berpendingin gas suhu tinggi pun kian dikembangkan untuk mendukung implementasi pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan, pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan keniscayaan dalam upaya pemenuhan energi listrik di Indonesia di masa depan. Energi nuklir menjadi alternatif energi baru terbarukan yang perlu dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060.
”Indonesia dalam waktu cepat atau lambat akan membutuhkan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Untuk memenuhi kebutuhan energi secara berkelanjutan, tidak ada cara lain selain memanfaatkan PLTN,” ujarnya dalam acara GA Siwabessy Memorial Lecture Tahun 2023 di Jakarta, Selasa (5/12/2023).
GA Siwabessy Memorial Lecture merupakan kegiatan keilmuan dalam bentuk orasi ilmiah dengan menghadirkan individu yang berjasa dalam penemuan, pengembangan, dan penyebarluasan ilmu dan teknologi di bidang nuklir. Pada 2023, penyelenggaraan kegiatan tersebut menghadirkan Dr Ing Yuliang Sun dan Dr Jun Sun yang merupakan peneliti dari Institute of Nuclear and New Energy Technology, Tsinghua University, China.
Handoko menuturkan, terdapat beberapa jenis reaktor nuklir yang dapat digunakan dalam PLTN. Reaktor berpendingin gas dengan suhu tinggi (HTGR) merupakan jenis reaktor nuklir generasi keempat yang sejauh ini dinilai paling potensial dimanfaatkan. Selain karena telah digunakan di sejumlah negara, teknologi HTGR juga lebih aman untuk digunakan.
Indonesia dalam waktu cepat atau lambat akan membutuhkan PLTN. Untuk memenuhi kebutuhan energi secara berkelanjutan, tidak ada cara lain selain memanfaatkan PLTN.
”Teknologi HTGR ini memiliki (fitur) inherent safety. Jadi, ketika ada sesuatu yang berbahaya, reaktornya akan mati dengan sendirinya. Selama ini masalah dari reaktor ditemukan pada pengelolaannya. Dengan kelebihan itu, HTGR menjadi yang paling menjanjikan saat ini,” tuturnya.
Kolaborasi dan kerja sama
Handoko menyampaikan, kolaborasi dan kerja sama dengan mitra global terus dilakukan untuk mengembangkan teknologi HTGR di Indonesia. Menurut dia, pengembangan teknologi nuklir tersebut tidak dapat dilakukan hanya oleh peneliti ataupun pengembangan dalam negeri. Sebab, Indonesia belum memiliki pengalaman dan ilmu yang cukup untuk pengembangan teknologi HTGR.
Salah satu kerja sama global dalam pengembangan teknologi HTGR dilakukan dengan Universitas Tsinghua, China. Kerja sama tersebut telah berjalan sejak 2017 bersama Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) sebelum terintegrasi dengan BRIN. Adapun bentuk kerja sama dilakukan melalui pengembangan bersama (joint development) dengan metode berbagi ilmu (sharing knowledge).
Bersamaan dengan itu, Handoko mengungkapkan, penguatan kompetensi sumber daya manusia juga dilakukan dalam pemanfaatan teknologi HTGR. Berbagai persiapan pun dilakukan untuk membangun reaktor dengan daya penuh. Sebelumnya, pembangunan reaktor daya eksperimental (RDE) telah direncanakan dan ditargetkan rampung pada 2021. Namun, reaktor daya eksperimental itu belum terbangun hingga saat ini.
”Kami sekarang berencana membangun reaktor dengan skala penuh sehingga setelah selesai digunakan itu bisa dikonversikan langsung untuk PLTN komersial. Jadi, harapannya tidak membuang uang,” tutur Handoko.
Ia menuturkan, percepatan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia perlu dilakukan. Pengembangan teknologi nuklir untuk PLTN membutuhkan waktu yang panjang. Setidaknya butuh waktu paling cepat tujuh tahun sampai sepuluh tahun. Sementara, berdasarkan pengalaman di China, implementasi PLTN berbasis HTGR butuh waktu pengembangan hingga 40 tahun.
Deputy Chief Engineer dari Institute of Nuclear and New Energy Technology, Tsinghua University, China, Yuliang Sun saat memberikan orasi ilmiah dalam GA Siwabessy Memorial Lecture Tahun 2023 menyampaikan, perkembangan PLTN di China berkembang pesat dalam dua dekade terakhir dengan pengembangan utama pada reaktor berpendingin air.
Per September 2023, sebanyak 55 unit nuklir telah beroperasi yang menghasilkan energi sebesar 57 gigawatt. Jumlah itu berkontribusi sekitar 4,87 persen dari total energi yang dihasilkan. Saat ini, sebanyak 24 unit nuklir sedang dalam pembangunan dengan total kapasitas daya mencapai 27,8 gigawatt.
Sun menuturkan, terdapat beberapa faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan teknologi HTGR. Faktor itu, antara lain, besarnya permintaan energi di masyarakat, kebijakan nasional dan dukungan dari pemerintah, serta komitmen dari tim pengembangan. ”Keterlibatan pemangku kepentingan dari industri serta kerja sama internasional juga penting dalam pengembangan HTGR,” katanya.