Banjir Bandang di Destinasi Wisata Super Prioritas Toba Tak Terprediksi
Dalam enam tahun terakhir hanya terjadi dua kali bencana di Humbang Hasundutan sehingga wilayah di tepian Danau Toba ini dianggap aman.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengakui, bencana banjir bandang di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, di luar prediksi. Sebab, kabupaten ini secara historis tidak termasuk dalam daerah rawan bencana.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB Abdul Muhari menyebutkan, dalam enam tahun terakhir dari 2018-2023, hanya ada dua kali kejadian bencana yang mengakibatkan 705 orang menderita atau mengungsi di Humbang Hasundutan. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kejadian bencana di Kota Medan yang mencapai 49 kali dan 636.565 orang menderita atau mengungsi dalam periode yang sama.
Oleh karena itu, kabupaten di tepian Danau Toba yang dipilih pemerintah pusat sebagai destinasi wisata super prioritas ini tidak termasuk daerah rawan bencana dalam kajian risiko bencana di kawasan wisata prioritas tahun 2020-2021 yang disusun BNPB.
Jadi, opsinya (di Humbang Hasundutan) mau tidak mau (warga) harus kita relokasi.
”Ini surprise (mengejutkan) dan menjadi pertanyaan kami sehingga atensi kami sekarang benar-benar ingin melihat apa yang terjadi. Ada apa dengan Humbang Hasundutan hingga terjadi bencana yang cukup signifikan,” kata Abdul dalam jumpa pers secara virtual, Selasa (5/12/2023).
Abdul mengungkapkan, bencana banjir bandang di Humbang Hasundutan disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Hal itu karena fenomena gelombang ekuatorial Rossby sejak 26 November 2023 yang mengakibatkan curah hujan meningkat di utara Pulau Sumatera, Lampung, dan utara Pulau Jawa. Kondisi ini diperkirakan masih berlangsung sampai pertengahan Desember 2023 dengan gelombang yang bergerak ke selatan.
Berdasarkan data curah hujan di wilayah Humbang Hasundutan dalam sepekan terakhir, semua wilayahnya mengalami hujan dengan intensitas sedang hingga lebat sejak 28 November hingga 4 Desember 2023. Bahkan, di Kecamatan Pakkat Hauagong, curah hujannya mencapai 105 milimeter per hari pada 3 Desember.
”Hasil pemantauan curah hujan di wilayah Humbang Hasundutan sepekan terakhir terlihat secara rata-rata ada di 50 mm/hari, ini cukup tinggi dan tidak bisa dikategorikan hujan sedang,” ucapnya.
BNPB menduga Desa Simangulampe dahulu adalah jalur air muara Danau Toba yang menjadi dataran rendah, lalu dibangun menjadi permukiman warga. Sekarang ketika curah hujan sangat tinggi, jalur air yang kering itu berubah menjadi bencana banjir bandang, seperti yang terjadi 1 Desember lalu.
Kondisi ini diyakini mirip dengan banjir bandang di Nusa Tenggara Timur akibat siklon Seroja tahun 2021. Kala itu, banjir bandang mengakibatkan 128 jiwa meninggal dunia selama cuaca ekstrem berlangsung di beberapa wilayah tersebut, dengan rincian Kabupaten Lembata 67 jiwa, Flores Timur 49 jiwa, dan Alor 12 jiwa.
”Jadi, opsinya (di Humbang Hasundutan) mau tidak mau (warga) harus kita relokasi. Kita tidak mau melihat risiko di masa depan karena ini peristiwa yang akan berulang di masa depan,” katanya.
Namun, Abdul juga tidak menampik kemungkinan penyebab banjir bandang karena maraknya pembalakan hutan di sekitar Danau Toba. ”Ini masih ditelusuri, ada beberapa bukti visual udara yang menunjukkan bukaan lahan, apakah ini pemicunya? masih perlu diteliti,” kata Abdul.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, luas lahan sangat kritis dan kritis di daerah tangkapan air Danau Toba mencapai 28.911 hektar atau 10,98 persen dari total 263.041,68 hektar (Kompas.id, 3/2/2022).
Sementara itu, per Selasa (5/12/2023), jumlah korban meninggal dunia sudah ada 2 jiwa, 1 orang terluka, 10 orang masih hilang, dan 200 jiwa mengungsi. Adapun secara materiil ada kerugian sebanyak 12 unit rumah rusak berat, 1 unit hotel, 1 rumah ibadah, dan 1 unit fasilitas pendidikan turut terdampak.
Pada hari keempat pencarian ini, 535 orang dari berbagai instansi dan organisasi dalam tim SAR gabungan kembali melanjutkan pencarian korban yang hilang. Tim pertama mencari di permukaan air menggunakan perahu karet dan alat aqua eye untuk mendeteksi keberadaan korban di dalam air sekaligus dilakukan penyelaman oleh grup spesial Basarnas.
Tim kedua melakukan pencarian menggunakan alat berat ekskavator dan didampingi tim pencarian darat di area batas jalan menuju tepi Danau Toba. Kemudian, tim ketiga melakukan pencarian menggunakan alat berat ekskavator dan didampingi tim pencari darat di area batas jalan menuju arah bukit. Anjing pelacak dari pihak kepolisian pun turut dilibatkan.
”Tim masih terus berupaya melakukan pencarian terhadap 10 korban yang masih dinyatakan hilang,” kata Kepala Kantor Basarnas Medan Budiono.