Kota idealnya menjadi pusat pengetahuan dengan kesadaran warga akan peran mereka dalam menawarkan pengetahuan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan segala potensinya, kota kerap dijadikan mesin pertumbuhan ekonomi. Namun, kota juga menjadi pertemuan gagasan sehingga diharapkan tumbuh sebagai pusat pengetahuan.
Kota sebagai pusat perkembangan peradaban menjadi aspek yang sering dilupakan. Padahal, perkembangan itu menawarkan pengetahuan dan pencerahan yang mendukung kehidupan warga.
Sejarawan yang juga pendiri penerbit Komunitas Bambu, JJ Rizal, mengatakan, peran warga sangat krusial untuk menumbuhkan kota sebagai pusat pengetahuan. ”Diperlukan kesadaran bahwa warga di kota bukan semata-mata memproduksi barang dan menghasilkan uang, tetapi juga menawarkan pengetahuan,” ujarnya dalam diskusi ”Kota sebagai Nalanda” yang digelar Akademi Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Nalanda merupakan nama wihara kuno sekaligus pusat pembelajaran di India. Nalanda berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ’pemberi pengetahuan’.
Menurut Rizal, Nalanda merupakan konsep kota yang menawarkan pencerahan. Namun, pencerahan itu bukan semata-mata lahir dari institusi-institusi yang dibentuk negara, tetapi interaksi masyarakat yang hidup di dalamnya.
”Dalam konteks perkembangan Jakarta di masa lalu (era kolonial), kita bisa mengecek hal itu. Ilmuwan-ilmuwan menawarkan pengetahuan dan memproduksi sains. State (negara) justru mengooptasinya,” katanya.
Rizal menyebutkan, Christiaan Eijkman, sebagai direktur pertama laboratorium riset rumah sakit militer di Batavia pada 1888, sukses membangun kultur riset. Ia menerobos kooptasi kekuasaan yang memungkinkan ilmuwan bekerja dengan tenang, kreatif, dan bebas dari floracrats kolonial.
”Alhasil, penemuan spektakuler vitamin B1 antiberi-beri sebagai awal perkembangan ilmu vitamin berjalan dan memperoleh bukti. Eijkman pun meraih Nobel Kedokteran pada 1929,” ucapnya.
Nalanda merupakan konsep kota yang menawarkan pencerahan. Namun, pencerahan itu bukan semata-mata lahir dari institusi-institusi yang dibentuk negara, tetapi interaksi masyarakat yang hidup di dalamnya.
Rizal menambahkan, negara selalu menyediakan infrastruktur pengetahuan dalam setiap masa kekuasaan. Namun, menurut dia, hal itu lebih sering ditujukan untuk menghasilkan dampak ekonomi atau keuntungan finansial.
”Bukan untuk kepentingan bagaimana membangun masyarakat yang rasional dengan mengaitkan sains dan dampaknya secara sosial. Kota lebih sering dibangun untuk tujuan menjadi markas dagang dan ruang ekonomi, bukan sebagai Nalanda,” katanya.
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Amalinda Savirani menuturkan, kota adalah tempat pertemuan antarwarga, antarkultur, dan antargagasan atau pengetahuan. Pertemuan itu menjadi daya tarik dan energi sebuah kota.
”Tanpanya, tidak akan ada kota. Encounter (pertemuan) memerlukan interaksi dan interaksi butuh keberagaman. Secara alamiah, kota adalah tempat keberagaman, termasuk pengetahuan,” katanya.
Amalinda menyebutkan, kapitalisme ikut memengaruhi pengetahuan, khususnya pengetahuan yang menopang pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, warga juga memiliki pengetahuan, tetapi tidak dianggap sebagai penopang pertumbuhan kota karena sifatnya mikro.
”Akibatnya, lahir dua gaya atau jenis pengetahuan yang seolah saling menolak, yaitu pengetahuan berbasis sains yang digunakan negara dalam perencanaan kota secara masif dan pengetahuan berbasis praktik oleh warga,” ungkapnya.
Menurut Amalinda, agar kota dapat berperan sebagai sumber pengetahuan, terlebih dahulu perlu diberikan porsi yang sama besar terhadap semua jenis pengetahuan. Artinya, bukan sebatas yang diproduksi kalangan cendekiawan, tetapi juga dari warga biasa yang sehari-hari bergumul dengan kerasnya kehidupan kota.
”Tanpa memberi porsi yang sama, pengetahuan dan kebajikan bersifat terbatas serta cenderung akan mengorbankan kelompok warga marjinal,” ucapnya.