Memahami Erupsi ”Tiba-tiba” Gunung Marapi dan Risikonya
Letusan freatik Gunung Marapi, yang minim tanda-tanda dan sulit terdeteksi peralatan bisa terjadi di gunung api lain.
Gunung Marapi di Sumatera Barat yang berstatus Waspada tiba-tiba meletus dahsyat pada Minggu (3/12/2023) pukul 14.53. Hujan abu dan pasir menjebak puluhan pendaki yang berada di sekitar puncak gunung dan 11 orang di antaranya telah ditemukan meninggal. Letusan freatik yang minim prekursor dan sulit terdeteksi peralatan pemantauan ini bisa terjadi di sejumlah gunung api lain di Indonesia.
Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, pada Senin (4/12/2023) pukul 10.30, sebanyak 11 orang dari 75 pendaki di Gunung Marapi ditemukan dalam kondisi meninggal. Petugas masih mengidentifikasi 11 jenazah tersebut.
Tim gabungan juga berhasil mengevakuasi 28 pendaki yang selamat. Sebanyak 19 orang sudah dipulangkan, tetapi karena luka-luka sembilan pendaki lainnya dibawa ke fasilitas medis, di antaranya ke RSUD Dr Achmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi dan RSUD Padang Panjang. Para pendaki lain masih dicari.
Baca juga : Sebelas Pendaki Meninggal Usai Erupsi Gunung Marapi
Menurut Pusdalops BNPB, sebanyak 54 pendaki masuk melalui pintu masuk Batu Palano di Kabupaten Agam, sedangkan 21 orang melalui pintu masuk Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar.
Pusdalops BNPB masih menerima informasi 26 pendaki yang belum berhasil dievakuasi. Nama ke-26 pendaki telah teridentifikasi, dengan rincian sebanyak 20 orang teridentifikasi melalui pendaftaran yang terlacak dari jejak digital. Sisanya terdaftar saat di lokasi Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Marapi.
Hingga kini belum ada konfirmasi identitas 11 pendaki tersebut apakah masuk ke dalam 26 pendaki yang namanya sudah teridentifikasi melalui mekanisme pendaftaran TWA Gunung Marapi. ”Erupsi masih terjadi dan upaya pencarian masih kami lakukan bersama tim gabungan,” kata personel Tim Pusdalops BPBD Kabupaten Agam, Ade Setiawan Putra, dalam laporannya ke BNPB.
Banyaknya korban jiwa karena erupsi Gunung Marapi setinggi 2.891 meter dari permukaan laut ini terjadi tiba-tiba. Pada saat yang sama, banyak pendaki mengabaikan rekomendasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) untuk tidak mendekati puncak Gunung Marapi dalam radius tiga kilometer (km).
Simak juga: Marapi Erupsi, Puluhan Pendaki Dievakuasi
Kepala PVMBG Hendra Gunawan mengatakan, status Gunung Marapi sudah Waspada Level II sejak 2011 dengan rekomendasi warga dilarang mendekat dalam radius tiga kilometer dari puncak. Artinya, seharusnya tidak boleh ada pendakian ke puncak. ”Statusnya bukan Awas, tetapi Waspada,” ujarnya.
Status Awas ditetapkan jika ancaman erupsi gunung api bisa mencapai ke permukiman warga sehingga evakuasi harus dilakukan. Adapun status Waspada Level II Gunung Marapi artinya ancamannya di sekitar kawah. ”Makanya rekomendasinya, warga dilarang mendekati kawah,” kata Hendra.
Menurut dia, PVMBG sudah menyampaikan rekomendasi ini kepada pemerintah daerah. ”Setiap dua minggu sekali, kami mengirim status gunung api dan rekomendasi zona bahaya ke pemerintah provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia, termasuk Gunung Marapi. Kewenangan untuk melarang pendakian dan mendekati zona bahaya ada di pemerintah daerah,” kata Hendra.
Sekalipun PVMBG sudah merekomendasikan larangan mendekati puncak, jalur pendakian ke Taman Wisata Alam Gunung Marapi, dengan nama Jalur Pendakian Proklamator telah dibuka oleh Pemerintah Sumatera Barat pada Oktober 2022. Laporan Antara pada 30 Oktober 2022 menyebutkan, jalur pendakian ini dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat Audy Djoinaldy.
Bahaya erupsi freatik
Menurut Hendra, sejak tahun 2004, Gunung Marapi terpantau selalu meletus dengan jeda dua hingga empat tahun. Umumnya, letusan terjadi mendadak karena sumbernya dekat permukaan dan bukan berasal dari pergerakan magma dalam.
”Tahun 2017 sebenarnya terjadi erupsi tiba-tiba Marapi. Saat itu juga banyak pendaki. Namun, daerah mungkin melihat dua tiga tahun tidak meletus, jadi dianggap aman dan dibuka jalur pendakian,” ujarnya.
Sejak 7 Januari 2023 hingga 20 Februari 2023, Gunung Marapi juga mengalami erupsi eksplosif dengan tinggi kolom 75-1.000 meter dari puncak. ”Saat itu hanya terpantau satu kali gempa sebelum erupsi yang menunjukkan tidak ada proses suplai magma. Namun, erupsi itu disebabkan dinamika fluida dekat kawah karena faktor eksternal, termasuk hujan atau perubahan cuaca,” ujarnya.
Karena karakter erupsinya yang sulit dideteksi dini, PVMBG menetapkan status Waspada untuk Gunung Marapi dalam kurun waktu yang panjang. ”Karena kita tahu erupsi Marapi akan terus berulang, tetapi kita tidak tahu kapan sehingga rekomendasinya warga dilarang mendekat ke puncak. Jadi, ini adalah upaya preventif. Tetapi, mungkin tidak dipahami,” tuturnya.
Tetapi, daerah mungkin melihat dua tiga tahun tidak meletus, jadi dianggap aman dan dibuka jalur pendakian.
Pantauan PVMBG, erupsi eksplosif Gunung Marapi pada 3 Desember 2023 pukul 15.54 memiliki tinggi kolom abu sekitar 5.891 meter dari permukaan laut atau sekitar 3.000 meter di atas puncak gunung. Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas condong ke arah timur. Erupsi ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 30 mm dan durasi 4 menit 41 detik.
Menurut Hendra, erupsi Gunung Marapi ini tidak didahului oleh peningkatan gempa vulkanik yang signifikan. Gempa vulkanik dalam hanya terekam tiga kali pada tanggal 16 November 2023 hingga 2 Desember 2023.
Peralatan deformasi atau tiltmeter yang berada di puncak juga menunjukkan pola mendatar pada sumbu radial dan sedikit inflasi pada sumbu tangensial. ”Hal ini menunjukkan bahwa proses erupsi berlangsung cepat dan pusat tekanan sangat dangkal, ada di sekitar puncak,” ujarnya.
Baca juga : Rekomendasi Larangan Mendekat ke Puncak Marapi Diabaikan
Menurut Hendra, letusan Gunung Marapi ini dikategorikan sebagai erupsi freatik yang terjadi akibat adanya akumulasi gas. ”Uap air ini terkumpul perlahan selama beberapa bulan dan hampir tidak terdeteksi peralatan monitoring (pemantauan),” ujarnya.
Mengacu laporan John Stix dari McGill University di jurnal Earth, Planets and Space (2018), ada dua tipe sistem erupsi freatik gunung api. Tipe pertama terjadi ketika badan magma dangkal melepaskan gas melalui intrusi. Gas-gas tersebut bergerak ke atas melalui serangkaian retakan, memotong sistem hidrotermal. Jika sistem hidrotermal itu tertutup di bagian atasnya, uap gas yang panas akan mengakumulasi tekanan dan pada akhirnya secara tiba-tiba bisa memicu letusan freatik.
Tipe kedua erupsi freatik terjadi saat ada rembesan air dari danau kawah yang kemudian bertemu dengan gas magmatik sehingga menghasilkan perubahan volume dan tekanan. Dibandingkan dengan erupsi freatik tipe satu, ini terjadi ketika sistem lebih terbuka dengan magma yang lebih dangkal.
”Erupsi Gunung Marapi pada Januari-Februari 2023 merupakan freatik tipe dua, sedangkan erupsi pada 3 Desember 2023 merupakan freatik tipe satu. Kedua tipe erupsi freatik ini paling sulit dideteksi pemantauan gunung api modern,” kata Hendra.
Erupsi freatik sangat minim prekursor atau tanda-tanda awal yang biasanya ditemukan dalam pemantauan gunung api yang mengalami erupsi magmatis. Tanda-tanda awal itu biasanya berupa kegempaan, penggembungan tubuh gunung, atau perubahan kimia air danau kawah.
”Karena proses erupsinya yang cepat dan pusat tekanan dekat permukaan, letusan freatik sulit dideteksi menggunakan peralatan monitoring (pemantauan). Erupsi ini biasanya melontarkan material lama, umumnya berupa pasir dan tidak sepanas erupsi magmatis,” kata Hendra.
Sulit dideteksi
Sekalipun tidak sedahsyat erupsi magmatis seperti terjadi pada Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010, erupsi freatik bisa sangat mematikan karena prosesnya yang tiba-tiba. ”Secara umum, apabila berhubungan dengan erupsi freatik para ahli gunung api selalu kesulitan, kalaupun misalkan ada tanda-tanda awal, biasanya sangat lemah bisa saja munculnya singkat, misalnya satu menit menjelang erupsi,” ujarnya.
Erupsi freatik yang terjadi di Gunung Ontake, sekitar 210 kilometer sebelah barat Tokyo, Jepang, pada 27 September 2014 menjadi contoh sulitnya mendeteksi tipe erupsi ini. Saat Ontake meletus tiba-tiba, lebih dari 250 pelancong yang menikmati musim gugur di puncak gunung berketinggian 3.067 meter itu terjebak, 36 orang di antaranya diduga tewas, dan banyak lagi yang terluka.
Saat itu, Japan Meteorological Agency (JMA), lembaga yang menangani bencana di Jepang, baru merilis status Level 3, yang artinya tak boleh mendekati gunung api itu, setelah letusan terjadi. Jepang yang memiliki kerapatan alat pemantauan gunung api pun kebobolan dengan tipe erupsi freatik.
Baca juga : Sulit Diprediksi, Erupsi seperti di Marapi Dapat Terjadi di Daerah Lain
Tak hanya Gunung Marapi, menurut Hendra, sejumlah gunung di Indonesia juga memiliki potensi untuk mengalami erupsi freatik yang tiba-tiba, antara lain, Kawah Sileri Dieng, Kawah Ijen, Gunung Dempo, Gunung Kerinci, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Bromo, Gunung Slamet, Gunung Gamalama, dan Gunung Rinjani.
”Sebagian gunung ini sangat populer dan ramai wisatawan, tetapi memiliki risiko mengalami erupsi tiba-tiba. Tangkuban Parahu sudah berapa kali erupsi ketika banyak turis, padahal rekomendasi kami jangan dekati kawah,” ujarnya.
Erupsi freatik yang mematikan juga pernah terjadi di Dieng pada 20 Februari 1979 saat gas beracun keluar dari Kawah Sinila bersama letusan itu. Akumulasi gas CO2 yang mencapai sekitar 200.000 ton dalam waktu cepat bergerak menuruni lereng dan lembah, menewaskan 142 penduduk yang tidak menyadari bahaya datang.
Erupsi freatik gunung api ibarat ancaman sunyi karena biasanya terjadi tanpa peringatan dini. Namun, umumnya permukiman warga cenderung jauh dari gunung-gunung yang memiliki tipe letusan ini sehingga status yang diterapkan PVMBG biasanya Waspada Level II, bukan Awas atau Bahaya Level I. Pemerintah daerah, pengelola wisata, dan pengunjung seharusnya tidak hanya melihat status gunung api, tapi juga rekomendasi zona bahayanya.