Bayi yang lahir dari ibu hamil yang terpapar polusi udara berisiko tinggi lahir dengan berat badan lahir rendah. Kondisi itu berisiko pada tengkes yang dapat berlanjut pada generasi berikutnya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polusi udara sebagai ancaman kesehatan masyarakat perlu dipahami dan disadari dalam jangka panjang. Aksi yang dilakukan untuk mengatasi dampak polusi udara perlu dilakukan secara berkelanjutan. Dampak polusi udara bukan cuma mengancam generasi sekarang, melainkan juga generasi yang akan datang.
Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Frida Soesanti, mengatakan, dampak dari paparan polusi udara bersifat transgenerasi. Itu artinya, jika polusi udara terpapar pada ibu hamil, maka dampaknya bisa mengenai janin yang dikandungnya dan berlanjut dalam jangka panjang sampai pada keturunan berikutnya.
”Bayi yang lahir dari ibu hamil yang terpapar polusi udara berisiko tinggi mengalami berat badan lahir lebih rendah serta panjang badan lahir lebih pendek. Padahal, kondisi tersebut menjadi faktor risiko dari stunting (tengkes) yang risikonya bisa berlanjut pada generasi berikutnya,” tuturnya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Udara Anak Bangsa, di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Frida menuturkan, ibu hamil dan anak merupakan kelompok rentan dari paparan polusi udara. Polusi udara yang terpapar pada ibu hamil akan sangat berdampak pada kesehatan janin dalam kandungan. Pertumbuhan dan perkembangan janin menjadi terhambat sehingga akan berpengaruh pada kesehatan bayi ketika lahir.
Bayi yang lahir dari ibu hamil yang terpapar polusi udara berisiko tinggi mengalami berat badan lahir lebih rendah serta panjang badan lahir lebih pendek. Kondisi tersebut menjadi faktor risiko dari stunting (tengkes) yang risikonya bisa berlanjut pada generasi berikutnya.
Selain berisiko memiliki berat badan lahir rendah dan panjang lahir pendek, bayi yang lahir dari ibu hamil yang terpapar polusi udara akan berisiko lahir prematur. Selain itu, paparan polusi di masa kehamilan juga dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada anak, infeksi telinga, dan penurunan fungsi paru pada anak.
Menurut Frida, dari riset yang telah dilakukan menunjukkan paparan polusi udara selama di kandungan meningkatkan tekanan darah pada bayi usia 0-6 bulan. Apabila paparan polusi udara pada PM 2,5 serta karbon hitam meningkat, risiko peningkatan tekanan darah pada bayi juga akan meningkat. Kondisi tersebut dapat berlanjut hingga usia remaja yang dapat menjadi penyakit kardiovaskular, seperti stroke dan jantung pada usia yang lebih muda.
Sementara pada anak, paparan polusi udara juga memiliki dampak buruk yang amat besar pada kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, setidaknya 93 persen anak terpapar polusi udara yang melebihi ambang batas aman. Paparan polusi udara tersebut lebih besar dialami oleh anak-anak yang berada di negara dengan pendapatan rendah-menengah dibandingkan dengan anak yang tinggal di negara dengan pendapatan tinggi.
Kerentanan anak pada polusi udara yang lebih besar dibandingkan dengan dewasa disebabkan oleh banyak hal. Usia anak masih dalam masa perkembangan dan organ tubuhnya juga masih dalam masa perkembangan. Selain itu, sistem imun tubuhnya pun belum maksimal.
”Anak juga bernapas dua kali lebih cepat daripada usia dewasa sehingga ketika udara yang dihirup kualitasnya buruk berarti efek buruknya bisa berlipat-lipat. Terkadang anak juga masih bernapas melalui mulut. Belum lagi tubuh anak lebih pendek daripada usia dewasa. Itu membuat risiko paparan polusi udara menjadi lebih besar,” katanya.
Kelompok sensitif
Direktur Utama RS Umum Pusat Persahabatan sekaligus Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Pernapasan dan Dampak Polusi Udara Agus Dwi Susanto menuturkan, selain ibu hamil dan anak, terdapat kelompok lain yang juga dinilai sensitif terhadap paparan polusi udara. Kelompok sensitif tersebut yakni warga lansia serta orang usia dewasa dengan komorbid dan yang bekerja di tengah polusi tinggi.
Pada warga lansia, paparan polusi udara dapat memicu terjadinya alzheimer, stroke, kanker paru, serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan demensia. Risiko tersebut semakin meningkat karena proses penuaan membuat sistem imun menjadi berkurang sehingga perlindungan terhadap polusi berkurang. Warga lansia pun menjadi rentan terhadap infeksi.
Sementara pada penduduk dan pekerja yang berada di dekat polusi membuat risiko kesehatan akibat polusi menjadi lebih besar. Kelompok masyarakat ini seperti penduduk yang tinggal di dekat jalan raya ataupun pabrik, pekerja luar ruangan seperti sopir transportasi umum dan penyapu jalan, serta pekerja pertambangan, konstruksi, dan transportasi yang dekat dengan gas polutan atau iritan.
”Polusi udara seperti silent killer yang bisa menjadi penyebab berbagai penyakit hingga kematian. Banyak masyarakat yang menganggap gejala seperti batuk dan pilek sebagai masalah biasa. Padahal, kalau tidak dianggap serius, dampak polusi ini bisa menjadi masalah jangka panjang,” tutur Agus.
Untuk itu, sejumlah strategi telah diusulkan oleh Komite Penanggulangan Penyakit Pernapasan dan Dampak Polusi Udara kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas udara serta pengelolaan dampak kesehatan akibat polusi udara. Setidaknya ada empat strategi yang diusulkan, yakni deteksi, penurunan risiko kesehatan, pengendalian emisi dan debu, serta adaptasi.
Deteksi dilakukan melalui pemantauan kualitas udara secara berkala mulai dari pemantauan harian, bulanan, dan tahunan hingga surveilans pencegahan dan deteksi dini. Sementara strategi penurunan risiko kesehatan dilakukan melalui pembentukan sistem peringatan dini serta promosi kesehatan untuk mencegah dampak polusi.
Pada strategi pengendalian emisi dan debu dilakukan dengan mengendalikan emisi industri dan rumah tangga, mengendalikan emisi kendaraan, serta membatasi pembakaran sampah. Untuk strategi adaptasi dilakukan melalui perluasan pelayanan kesehatan atas penyakit akibat polusi udara.
Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Anas Ma’ruf menuturkan, kualitas udara harus menjadi perhatian besar. Sebab, polusi udara yang tidak dikendalikan dengan baik itu dapat berpengaruh pada penurunan usia harapan hidup tiga sampai lima tahun. Oleh sebab itu, menciptakan lingkungan dengan udara yang sehat merupakan hal yang penting.
”Persoalan polusi udara ini membutuhkan peran multisektoral sehingga kita perlu menciptakan banyak mitra pembangunan yang punya kepedulian yang sama pada kualitas udara,” ucapnya.