Paparan Polusi Udara Saat Kehamilan Memperburuk Kesehatan Janin
Dampak buruk polusi udara tidak hanya dirasakan anak-anak dan orang dewasa. Paparan polusi udara selama kehamilan juga bisa memperburuk kesehatan janin.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paparan polusi udara selama kehamilan dapat memicu perubahan protein yang terlibat dalam proses sel autophagy pada janin serta memengaruhi fungsi paru-paru dan sistem kekebalan pada bayi baru lahir. Temuan terbaru ini memberikan pesan yang jelas kepada pembuat kebijakan bahwa polusi udara merusak kesehatan masyarakat, dan dampaknya dapat dilihat sejak sebelum kelahiran.
Dalam studi terbaru, paparan polusi udara saat berada di dalam rahim dikaitkan dengan perubahan protein yang dapat dideteksi setelah bayi lahir, dan memengaruhi proses sel seperti autophagy, yaitu ”memakan diri sendiri” sel-sel rusak yang terjadi sebagai respons terhadap stres. Ini menyebabkan beberapa bayi yang selama kehamilan terpapar polusi lebih rentan terhadap penyakit dibandingkan bayi lainnya.
Olga Gorlanova, dokter peneliti di Rumah Sakit Anak Universitas Basel, Swiss, menyampaikan temuannya dan tim kepada Kongres Internasional Masyarakat Pernapasan Eropa di Milan, Italia. Presentasi ini dirilis European Respiratory Society pada Selasa (12/9/2023).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Gorlanova dan tim menunjukkan bahwa paparan polusi udara selama kehamilan dapat memengaruhi fungsi paru-paru dan sistem kekebalan pada bayi baru lahir. Dalam studi saat ini, mereka mengamati protein yang terlibat dalam autophagy, penuaan, dan remodeling sel untuk melihat bagaimana paparan polusi udara sebelum melahirkan dapat memengaruhi mereka.
Para peneliti mengukur 11 protein yang ditemukan dalam darah tali pusat dari 449 bayi baru lahir yang sehat dari studi kohort Bern Basel Infant Lung Development (BILD). Studi BILD, yang dimulai pada tahun 1999 di Bern, bertujuan untuk merekrut 1.000 bayi pada tahun 2025. Studi ini menyelidiki dampak genetika dan lingkungan (khususnya polusi udara) terhadap perkembangan paru-paru pada bayi dan anak-anak.
Temuan kami menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang sehat memiliki pola respons individu terhadap polusi udara. Kami pikir ini mungkin merupakan indikasi bahwa beberapa bayi lebih rentan terhadap polusi udara.
Gorlanova dan rekannya mengukur paparan ibu terhadap nitrogen dioksida (NO2) dan partikel kecil yang disebut PM10, yang merupakan partikel berukuran diameter 10 mikron atau kurang. Emisi kendaraan, keausan ban dan rem, serta asap merupakan beberapa sumber polutan tersebut.
Mereka menemukan bahwa NO2 dan PM10 keduanya terkait dengan perubahan protein yang terlibat dalam autophagy. Paparan NO2 dikaitkan dengan penurunan aktivitas protein SIRT1 dan IL-8, serta peningkatan kadar protein Beclin-1.
”Hasil kami menunjukkan bahwa NO2, polutan yang sebagian besar terbentuk dari emisi lalu lintas, dikaitkan dengan peningkatan kadar protein Beclin-1, yang penting untuk memulai autophagy. Paparan NO2 yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan penurunan kadar SIRT1, yaitu protein yang memainkan peran protektif dalam ketahanan terhadap stres, peradangan, dan penuaan. Sementara IL-8 adalah protein yang aktif dalam sel peradangan tertentu,” kata Gorlanova.
Dalam kajian ini, para peneliti mengelompokkan bayi-bayi tersebut ke dalam empat kelompok berbeda berdasarkan tingkat polusi udara yang mereka alami saat berada di dalam rahim. ”Keempat kelompok tersebut semuanya memiliki konsentrasi protein yang sama, yang diteliti, tetapi memiliki perbedaan dalam paparan mereka terhadap polusi udara NO2 dan PM10,” katanya.
Satu kelompok memiliki konsentrasi sembilan protein yang rendah, sedangkan kelompok lainnya, yang terdiri dari 7 persen dari seluruh bayi, memiliki tingkat protein lebih tinggi yang terlibat dalam proses inflamasi dan remodeling: IL-8 dan IL-1B. Kedua kelompok bayi baru lahir ini memiliki tingkat polusi udara pralahir yang lebih rendah, meskipun berbeda, dibandingkan dua kelompok lainnya.
”Temuan kami menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang sehat memiliki pola respons individu terhadap polusi udara. Kami pikir ini mungkin merupakan indikasi bahwa beberapa bayi lebih rentan terhadap polusi udara itu dibandingkan yang lain,” tulis Gorlanova.
Penelitian ini menambah semakin banyak bukti bahwa mekanisme terkait autophagy mungkin terlibat dalam bagaimana sel manusia bereaksi terhadap polusi udara. Temuan ini konsisten dengan bukti dari penelitian jaringan dan hewan. Eksplorasi lebih lanjut terhadap mekanisme ini dapat membantu untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan memahami dampak buruk polusi pada bayi.
Para peneliti berencana untuk memeriksa apakah bayi dengan pola respons protein yang berbeda terhadap polusi udara akan lebih menderita masalah pernapasan selama masa bayi dan masa kanak-kanak dibandingkan dengan bayi yang tidak menunjukkan respons protein yang sama.
Marielle Pijnenburg, profesor pulmonologi pediatrik dan Kepala Departemen Kedokteran Pernapasan Anak dan Alergi di Erasmus Medical Center, Rotterdam, Belanda, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan, penelitian ini menambah semakin banyak bukti bahwa polusi udara dapat memengaruhi kesehatan anak-anak sebelum dan sesudah mereka dilahirkan.
Penelitian ini dinilai berkontribusi pada penelitian lain yang menunjukkan bahwa mekanisme terkait autophagy mungkin terlibat dalam bagaimana sel manusia bereaksi terhadap polusi udara. ”Kita perlu mengetahui lebih banyak tentang bagaimana mekanisme ini dapat memengaruhi kesehatan paru-paru, dan kita perlu memahami mengapa beberapa bayi baru lahir tampaknya lebih rentan terhadap polusi udara dibandingkan bayi lainnya,” katanya.
Menurut Pijnenburg, kita sudah memiliki cukup bukti dari penelitian ini dan penelitian lainnya, untuk mengirimkan pesan yang jelas kepada pemerintah dan pembuat kebijakan bahwa polusi udara merusak kesehatan masyarakat, dan dampaknya dapat dilihat sejak sebelum kelahiran.
”Kita semua harus kembali menggandakan upaya untuk mengurangi polusi udara secepat dan sejauh mungkin,” paparnya.
Ia menambahkan, upaya untuk mengurangi polusi udara tidak hanya akan meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi biaya yang terkait dengan pengobatan penyakit akibat polusi, tetapi juga akan membantu lingkungan pada saat keadaan darurat iklim menjadi semakin nyata seiring berjalannya waktu.