Polusi udara berisiko menghambat perkembangan janin dalam kandungan. Kandungan polutan yang tinggi menurunkan berat bayi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seorang ibu hamil yang tinggal di daerah dengan polusi udara kotor akan memengaruhi janin di dalam kandungan. Bayi yang dilahirkan akan lebih kecil daripada bayi yang dilahirkan dari ibu hamil yang tinggal di daerah dengan udara bersih.
Studi tersebut didasarkan pada data dari penelitian Respiratory Health in Northern Europe (RHINE) yang dilakukan Robin Mzati Sinsamala, peneliti di Departemen Kesehatan Masyarakat Global dan Perawatan Primer, Universitas Bergen (UiB), Norwegia. Studi ini melibatkan 4.286 anak-anak dan ibu mereka yang tinggal di lima negara Eropa (Denmark, Norwegia, Swedia, Eslandia, dan Estonia).
Sinsamala mengatakan, polusi udara berhubungan dengan berat badan lahir yang lebih ringan. Kandungan polutan Particulate Matter (PM 2.5), Partikulat (PM10), nitrogen dioksida (NO²), dan karbon hitam (BC) rata-rata menurunkan berat bayi masing-masing sebesar 56 gram, 46 gram, 48 gram, dan 48 gram.
”Sangat penting untuk mengurangi polusi udara dan menjadikan kota-kota lebih hijau untuk membantu melindungi bayi dan paru-paru mereka yang sedang berkembang dari potensi bahaya kesehatan,” kata Sinsamala dikutip dari eurekalert.org, Jumat (8/9/2023).
Sementara itu, ibu hamil yang tinggal di daerah lebih hijau bisa melahirkan bayi dengan rata-rata 27 gram lebih berat dibandingkan ibu yang tinggal di daerah berpolusi. Penelitian ini dipresentasikan dalam Kongres Internasional Masyarakat Pernapasan Eropa di Milan, Italia, pada 9 sampai 13 September 2023.
Saat meneliti, mereka mengukur kehijauan daerah tempat tinggal para ibu hamil dengan mengukur kepadatan vegetasi pada citra satelit. Vegetasi ini meliputi hutan dan lahan pertanian serta taman-taman di perkotaan. Para peneliti menggunakan data lima polutan, yakni nitrogen dioksida (NO²), ozon, karbon hitam (BC), dan dua jenis materi partikulat (PM 2.5 dan PM 10).
Sangat penting untuk mengurangi polusi udara dan menjadikan kota-kota lebih hijau untuk membantu melindungi bayi dan paru-paru mereka yang sedang berkembang dari potensi bahaya kesehatan.
Tingkat rata-rata cemaran polusi udara menggunakan standar Uni Eropa. Para peneliti membandingkan informasi ini dengan berat lahir bayi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi berat lahir, seperti usia ibu, apakah ibu tersebut merokok atau memiliki kondisi kesehatan lainnya.
Risiko kesehatan
Menurut Sinsamala, anak dengan berat badan lahir rendah akan menghadapi risiko mengidap asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) lebih tinggi seiring dengan bertambahnya usia. ”Waktu pertumbuhan bayi di dalam rahim sangat penting untuk perkembangan paru-paru,” ujarnya.
Ketua Dewan Advokasi Masyarakat Pernafasan Eropa Arzu Yorgancioglu menilai, penelitian ini menambah banyak bukti mengenai dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan, terutama pada bayi dan anak yang rentan. Setiap ibu hamil pasti melindungi bayinya dari potensi bahaya apa pun. Namun, jika lingkungannya kotor, mereka sulit untuk mengurangi paparan polusi udara.
”Sebagai dokter dan peneliti yang peduli terhadap kesehatan anak-anak, kita perlu memberikan tekanan pada pemerintah dan pengambil kebijakan untuk menurunkan tingkat polusi udara yang kita hirup. Studi ini juga menunjukkan bahwa kita dapat membantu mengurangi beberapa dampak polusi dengan menjadikan lingkungan kita lebih hijau,” ucap Yorgancioglu.
Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 90 persen penduduk di dunia hidup di wilayah dengan kadar polusi udara yang melebihi nilai ambang batas aman. Sebanyak tujuh juta kematian pun terjadi berkaitan dengan polusi udara dengan dua juta kematian di antaranya berasal dari Asia Tenggara.
Sebelumnya Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam rekomendasinya pada 24 Agustus 2023 menyatakan, para ibu yang baru melahirkan dan tinggal di daerah berpolusi untuk terus memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif dalam 6 bulan pertama. Ini bisa membantu mencegah anak terjangkit pneumonia.
Pemerintah juga harus meningkatkan pelayanan kesehatan sebelum kehamilan (prenatal) dan sesudah kehamilan (prenatal) untuk ibu dan bayi.