Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha Dukung Inovasi Perubahan Iklim
Kolaborasi untuk mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan di dunia usaha perlu dibangun. Perguruan tinggi dapat mendukung inovasi dan talenta.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU DARI SINGAPURA
·6 menit baca
SINGAPURA, KOMPAS — Kesadaran dan praktik baik keberlanjutan atau sustainability harus dijalankan lewat kerja bersama para pemangku kepentingan, termasuk institusi pendidikan tinggi. Secara global komitmen pada keberlanjutan makin penting, terutama bagi dunia industri dan dunia usaha, lantaran tantangan perubahan iklim mengancam keberlanjutan hidup manusia.
Presiden National University of Singapore (NUS) Tan Eng Chye dalam acara peluncuran SGX Sustainability Reporting Review 2023 di kampus NUS Business School, sebagaimana dilaporkan jurnalis harian Kompas, Ester Lince Napitupulu, di Singapura, Kamis (23/11/2023), mengutarakan, komitmen global makin ambisius mewujudkan agenda keberlanjutan dan perubahan iklim yang akan dibahas lewat Konferensi Perubahan Iklim (COP) Ke-28 di Dubai, akhir tahun ini.
Laporan dua tahunan sejak 2019 kolaborasi The Center for Governance and Sustainability (CGS) NUS Business School dan Singapore Exchange Regulation (SGx RegCo) menjadi bermakna untuk memperkuat kesadaran perusahaan lokal, kawasan, dan internasional bahwa perubahan iklim merupakan isu yang penting.
”Perubahan iklim makin penting untuk dipahami dan membutuhkan inovasi untuk mengatasinya. Ada banyak laporan terjadinya cuaca ekstrem. Bahkan, banyak ilmuwan dari berbagai dunia dalam laporannya memperingatkan dengan bukti nyata dampak dari peningkatan gas emisi yang berdampak pada perubahan iklim,” kata Tan.
Menurut Tan, saat ini bukan lagi waktunya menanyakan mengapa kita perlu memahami masalah keberlanjutan, tetapi bagaimana menerapkan konsep keberlanjutan dengan melaksanakan tugas setiap institusi. Adapun NUS sebagai salah satu universitas terdepan di Asia dan Asia Tenggara memberi perhatian serius pada isu keberlanjutan dan perubahan iklim.
Lebih lanjut Tan mengatakan, sebagai institusi pendidikan, pihaknya memperkuat tata kelola kolektif dari para intelektual dan pemikiran kepemimpinan di antara para dosen, peneliti, staf, hingga mahasiswa. Selain itu, bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan mitra industri untuk mencari solusi bagi masa depan.
”Keberlanjutan menjadi fitur kuat yang kami tawarkan melalui pendidikan. Kami memberdayakan dan melengkapi mahasiswa dengan pengetahuan dan kompetensi untuk mengatasi isu sustainability yang kompleks ini,” papar Tan.
Mahasiswa NUS di jenjang sarjana mengikuti kursus untuk mendapat pemahaman tentang prinsip keberlanjutan dan praktik yang berakar pada domainnya masing-masing. Mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk menjembatani kolaborasi lintas disiplin ilmu ketika mengatasi tantangan keberlanjutan. Ada juga banyak jalur dan program gelar bagi mereka yang tertarik untuk mengambil spesialisasi lebih lanjut.
Saat ini NUS menawarkan lebih dari 800 program studi yang berpusat pada keberlanjutan, 11 gelar master di bidang yang terkait dengan keberlanjutan. NUS juga secara aktif berkomitmen untuk memajukan penelitian terdepan dan inovasi dalam bidang iklim, ilmu pengetahuan, dan keberlanjutan.
”Kami meneliti solusi berkelanjutan yang mendorong pembangunan ekonomi dan sosial serta menjunjung tinggi komitmen pada keberlanjutan. Kami mempromosikan riset kolaboratif bermutu tinggi dan mendukung pengembangan riset berkelanjutan melampaui batasan disiplin ilmu konvensional. Pendekatan inklusif ini mendorong para peneliti menyumbangkan keahlian dan perspektif berbeda untuk menghasilkan wawasan dan solusi baru,” jelas Tan.
Selain mendorong penelitian kolaboratif, NUS menekankan pada penerjemahan temuan penelitian ke dalam aplikasi praktis yang diharapkan dapat dipasarkan. Dengan cara ini, hasil penelitian memberikan dampak nyata pada masyarakat dan berkontribusi terhadap kemajuan tujuan keberlanjutan.
Pelaporan iklim
Direktur CGS NUS Business School Lawrence Loh menuturkan, selama bertahun-tahun pihaknya menyaksikan tren positif laporan keberlanjutan di antara perusahaan-perusahaan yang terdaftar di SGX. Hal ini merefleksikan komitmen dunia usaha yang tumbuh pada keterbukaan dan akuntabilitas, dari emiten kecil, menengah, hingga besar.
Pada tahun ini, pelaporan yang terkait iklim mulai dilakukan. Hasilnya terlihat, ketika laporan tentang iklim juga dimasukkan dalam pelaporan keberlanjutan, secara umum laporan dari perusahaan jadi menurun, terutama di antara emiten kecil dan menengah.
”Jika lanskap global berlanjut untuk menekankan sustainability, kita berharap temuan ini menginspirasi perusahaan untuk mengevaluasi kembali dan meningkatkan praktik baik yang ada. Dengan mengukur secara proaktif, kita percaya dapat maju selangkah ke depan untuk memenuhi komitmen pemerintah mencapai emisi net zero,” kata Lawrence.
Dari kajian pelaporan sustainability dan iklim ditemukan bahwa emiten-emiten yang terdaftar di bursa saham, baik besar maupun kecil, dari semua ukuran membaik, telah meningkat dalam pelaporan keberlanjutan sejak studi pertama tahun 2019. Rata-rata skor tahun 2023 sebesar 75 poin dari 100, dibandingkan 72 pada tahun 2021 dan 61 pada tahun 2019.
”Namun, pengungkapan terkait perubahan iklim yang merupakan mandat baru, ditemukan relatif terbelakang, khususnya di kalangan emiten kecil,” kata Lawrence.
Dari 535 emiten SGX, hanya 393 atau 73 persen emiten memublikasikan laporan keberlanjutannya, yang memberi pengungkapan terkait perubahan iklim berdasarkan kerangka Task Force on Climate-related Financial Disclosure (TCFD). Emiten besar yang kapitalisasi pasarnya minimal satu miliar dollar Singapura memenuhi persyaratan pelaporan iklim SGX yang baru berdasarkan rekomendasi TCFD.
Untuk menyoroti praktik terbaik, khususnya dalam pelaporan perubahan iklim, laporan tahun ini berisi studi kasus singkat yang menampilkan beragam emiten besar hingga emiten kecil. Laporan ini juga mencakup tips untuk membantu investor menganalisis laporan keberlanjutan serta daftar pertanyaan umum mengenai greenwashing (klaim ramah lingkungan), yang semakin banyak diteliti oleh para pemangku kepentingan.
Keterampilan ”sustainability”
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kebijakan Ekonomi Singapura Heng Swee Keat mengatakan, perubahan iklim untuk tahun ini pertama kalinya diperkenalkan dalam pengungkapan laporan sustainability perusahaan di Singapura. Hal ini untuk menunjukkan komitmen dunia usaha dalam mengatasi tantangan-tantangan utama dan berinvestasi dalam jangka panjang.
Sebanyak 99,6 persen perusahaan tercatat di SGX memenuhi syarat dan merilis laporan keberlanjutan terbaru untuk dinilai. ”Keberlanjutan telah menjadi pilar dalam tata kelola perusahaan yang baik. Ada semakin banyak penerimaan bahwa perubahan iklim adalah tantangan eksistensial yang paling menentukan di zaman ini,” ujar Heng.
Singapura sebagai negara kepulauan kecil dan rentan terhadap perubahan iklim memahami pentingnya mengatasi tantangan iklim. Meskipun menyumbang sekitar 0,1 persen dari emisi gas rumah kaca global, negara ini berkomitmen melakukan bagiannya. Pada tahun 2050, Singapura menargetkan mencapai emisi nol bersih, bahkan akan dipercepat lima tahun lebih awal untuk sektor publik.
Singapura pun berinvestasi dalam penelitian terkait keberlanjutan yang melibatkan peran swasta, mulai dari solusi energi ramah lingkungan seperti fusi nuklir hingga pertanian rendah karbon dan kota pintar. Hasil penelitian dan inovasi ini harus diadopsi, diuji, dan dikembangkan dunia usaha agar dapat memberikan dampak yang nyata.
Terkait peran perguruan tinggi, Heng mengatakan, saat ini makin banyak pekerja, terutama pekerja muda, yang tertarik pada perusahaan yang menganggap serius keberlanjutan. Sesuai laporan terbaru SkillsFuture, environmental, social, and governance (ESG), pengelolaan jejak karbon, serta manufatur berkelanjutan adalah tiga keterampilan dengan pertumbuhan saat ini dalam ekonomi hijau.
”Kami mengapresiasi kontribusi perguruan tinggi NUS yang mendukung upaya pemerintah untuk menyelaraskan seluruh ekosistem dengan tujuan yang lebih luas, yakni membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan,” ujar Heng.