Pendekatan Mikro Kurangi Kendala Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Pendekatan DAS mikro dapat menjadi solusi terkait kurangnya koordinasi antar-wilayah dalam pengelolaan daerah aliran sungai.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rehabilitasi dan pengelolaan daerah aliran sungai atau DAS selama ini belum optimal, seperti kurangnya koordinasi antar-wilayah karena luasannya yang sangat besar. Pendekatan DAS mikro dapat menjadi solusi pengelolaan, terutama untuk mengurangi kendala koordinasi antar-wilayah dan antar-sektor.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dewi Retna Indrawati, mengemukakan, pengelolaan DAS selama ini belum memberikan hasil yang signifikan. Kondisi DAS yang masih rusak ini bahkan turut memicu tingginya kejadian bencana hidrometeorologi yang intensitasnya selalu naik setiap tahun.
”Dari sisi wilayah, DAS di Indonesia memiliki luas yang sangat besar dari puluhan hingga ratusan ribu hektar. Batas DAS ini sering kali tidak selaras dengan wilayah administrasi. Dalam DAS besar biasanya mencakup beberapa wilayah administrasi,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Bongkar Pasang Strategi Pengelolaan DAS untuk Mitigasi Bencana Hidrometeorologi”, Kamis (23/11/2023).
Jika ingin fokus terkait hidrogeomorfologi, tema perubahan iklim menjadi yang paling penting.
Menurut Dewi, pengelolaan DAS dengan luas yang sangat besar memerlukan kerja sama dari lintas sektor dan wilayah. Namun, hal yang menjadi tantangan adalah kerap kali setiap daerah memiliki prioritas yang berbeda, khususnya dalam pengelolaan DAS.
Upaya untuk mengurangi kendala kewilayahan dalam pengelolaan DAS ini salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan DAS mikro. Sebab, DAS mikro memiliki luasan yang lebih kecil. Hasil kajian menunjukkan, pengelolaan DAS, terutama di wilayah Jawa, yang paling efektif dilakukan pada luasan 1.000 hektar.
Dewi menjelaskan, beberapa kelebihan pengelolaan DAS melalui pendekatan mikro, yakni dapat memudahkan dalam mengidentifikasi permasalahan. Kemudian pendekatan ini juga dapat mengikis kendala, seperti memudahkan koordinasi dan sinkronisasi antar-wilayah.
Selain itu, melalui pendekatan ini, pengelolaan juga bisa lebih difokuskan pada DAS mikro secara utuh dan dapat dilakukan secara bertahap untuk seluruh DAS. Di sisi lain, masyarakat di wilayah tersebut akan lebih mudah mengambil bagian atau berpartisipasi dalam perencanaan ataupun operasional pelaksanaan pengelolaan DAS mikro.
”Pengelolaan bisa dimulai dari DAS mikro terlebih dahulu. Setelah sudah jalan kemudian bisa bergerak ke DAS mikro selanjutnya sehingga nantinya diharapkan secara bertahap semua DAS dapat tertangani dari hulu,” katanya.
Dewi menekankan, partisipasi masyarakat juga menjadi aspek penting dalam pengelolaan DAS. Sebab, masyarakat merupakan pihak yang memiliki lahan tersebut serta merekalah yang nantinya akan merasakan dan memperoleh manfaat dari keberhasilan pengelolaan DAS.
Tujuan pengelolaan
Dosen Departemen Geografi Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Mukhamad Ngainul Malawani, menyampaikan, pengelolaan DAS perlu dilakukan sebagai upaya penyelamatan biodiversitas, mengatasi degradasi lahan, dan adaptasi perubahan iklim. Pengelolaan DAS untuk tiga tujuan tersebut juga telah dituangkan dalam sejumlah aturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan.
”Secara global, tujuan pengelolaan DAS itu mirip dengan fokus, yaitu biodiversitas, tanah, air, dan tekanan yang berhubungan dengan perubahan iklim. Jadi, jika ingin fokus terkait hidrogeomorfologi, tema perubahan iklim menjadi yang paling penting,” katanya.
Selama ini konsep rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk pengelolaan DAS, tidak sekadar jumlah pohon yang ditanam. Akan tetapi, rehabilitasi merupakan upaya mengelola masyarakat dengan tiga aspek, yaitu layak ekonomi, diterima masyarakat, dan lingkungan lestari. Konsep ini bertujuan menjaga menara air alami, meningkatkan produktivitas dan peran serta masyarakat, ketahanan pangan, mitigasi bencana, serta penyerapan karbon.
Malawani menyebut, pengelolaan DAS, termasuk dampak perubahan iklim, tidak hanya memerlukan indikator dari aspek lingkungan, tetapi juga kependudukan. Namun, selama ini aspek kependudukan, seperti demografi, tata guna lahan, mata pencarian, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan kelembagaan masyarakat, masih sedikit dijadikan indikator.
”Saya yakin saat ini masyarakat sangat antusias jika dilibatkan dalam pengelolaan DAS dan hal ini bisa menjadi kekuatan. Kemudian peluang lainnya adalah program pengelolaan DAS yang disusun juga tidak berhenti dan saling terhubung,” ucapnya.