Beda Generasi, Guru dan Siswa Perlu Saling Memahami
Guru perlu terus beradaptasi dengan perkembangan era digital dan generasi masa kini. Kesenjangan generasi antara guru dan siswa perlu diatasi dengan serius untuk memaksimalkan hasil belajar dan perkembangan diri siswa.
JAKARTA, KOMPAS — Kesenjangan generasi antara guru dan siswa dapat menimbulkan konflik dalam pembelajaran. Guru dan siswa memiliki ekspektasi yang berbeda dalam pembelajaran sehingga perlu dijembatani, termasuk memahami pemanfaatan teknologi digital dan kesehatan mental generasi masa kini.
Kesenjangan generasi antara guru dan siswa yang rawan memicu konflik tersebut dibahas Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) dalam webinar bertema ”Menjembatani Generation Gap antara Guru dan Siswa Melalui Keterampilan Sosial yang Baik”, Sabtu (18/11/ 2023). Sebagai narasumber ialah Founder Rumah Guru Bimbingan dan Konseling Ana Susanti serta dosen dan psikolog klinis Fakultas Psikologi Univeritas Katolik Atma Jaya, Nanda Rosalia.
KGSB merupakan wadah beranggotakan tenaga pendidik, mulai dari setingkat pendidikan anak usia dini dan TK, SD-SMA, hingga perguruan tinggi sederajat dari seluruh Indonesia dan Timor Leste. Saat ini terdapat lebih dari 600 tenaga pendidik yang tergabung di KGSB yang tersebar di 59 kota, 121 kabupaten, dan 33 provinsi di Indonesia serta Timor Leste.
Berdasarkan hasil sensus 2020, sebagian besar penduduk, yakni 27,94 persen berasal dari generasi Z (Gen Z), yaitu generasi yang lahir tahun 1997-2012. Jumlah gen Z lebih banyak daripada generasi milenial (kelahiran 1981-1996) yang jumlahnya 25,87 persen.
Saling memahami lebih indah daripada menghakimi antargenerasi hanya karena berbeda.
Gen Z dikenal juga sebagai ”Zoomers”, merupakan sebutan untuk mereka yang sejak lahir sudah bersinggungan dengan materi digital. Mereka tumbuh di lingkungan modern dan cenderung memiliki keterampilan bawaan yang memadai dalam menanggapi media digital dan internet.
Pengelompokan generasi yang dimulai dari generasi baby boomer hingga generasi Z, bahkan pada abad ke-22 memasuki generasi Alfa. Terjadi kesenjangan usia yang begitu tajam, mulai dari penampilan dan gaya hidup, persepsi, pengalaman, perilaku dan tentunya komunikasi, ini yang kemudian disebut dengan kesenjangan generasi atau generation gap.
Menurut Ana, murid umumnya memiliki karakter menerima informasi dengan cepat. Mereka juga sangat menyukai sesi paralel dan multi-tasking. Murid memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap proses belajar karena memiliki akses informasi yang luas melalui berbagai platform dan cara.
Di sisi lain, guru umumnya memiliki karakteristik proses belajar yang lebih lambat, step by step, satu pelajaran sekali waktu, belajar secara individu, serta kurang yakin bahwa murid-muridnya dapat belajar dengan maksimal saat mereka melakukan banyak hal dalam satu waktu.
Ana memaparkan, komunikasi menjadi kunci utama dalam mengatasi kesenjangan generasi. ”Saling memahami lebih indah daripada menghakimi antargenerasi hanya karena berbeda. Jalin kolaborasi antargenerasi, buka ruang, kesempatan saling berbagi, dan bekerja sama. Sebagai guru, lakukan analisis karakteristik lintas generasi serta dalam penyampaiannya gunakan metode komunikasi yang beragam sesuai dengan generasi yang dituju,” ujar Ana.
Baca juga: Mengajar Generasi Alfa
Kerja sama untuk memangkas kesenjangan antara guru dan murid ini, lanjut Ana, harus dilakukan secara konsisten untuk hasil yang maksimal. Guru harus bisa lebih memahami anak didiknya dengan berbagai penyesuaian terhadap teknologi, perspektif, dan perilaku.
Sementara itu, Ketua KGSB Ardyles Faesilio mengatakan, kesenjangan generasi berpotensi memicu konflik antara guru dan murid. ”Generation gap ini rawan akan konflik apabila ditangani dengan kurang baik, termasuk perbedaan pemahaman antara guru dan murid. Kesenjangan generasi antara guru dan murid sering kali menjadi pembatas atau hambatan dalam pembelajaran,” ujar Ardyles.
Nanda menyampaikan, guru harus memberi waktu dan usaha lebih banyak untuk mengamati bagaimana gen Z memadukan diri dan kecakapan digital dalam kegiatan sehari-hari, seperti berinteraksi, belajar, dan menjalankan aktivitas. ”Gen Z memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Hal ini membuat mereka terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses. Sebagai pendidik, kita harus bisa mengimbangi dan mengarahkan pada hal-hal yang positif,” kata Nanda menjelaskan.
Selain kesenjangan generasi, Gen Z juga mengalami ancaman terkait dengan kesehatan mental. Mereka sangat takut akan kegagalan. Gen Z juga sangat menuntut diri sendiri untuk dapat berhasil dan tidak mengecewakan orang lain. Akibatnya, mereka takut untuk membuat suatu keputusan karena takut gagal.
”Isu kesehatan mental di kalangan peserta didik jika tidak dipahami dan ditangani dengan benar, termasuk oleh pendidik, akan menimbulkan depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku yang merupakan salah satu penyebab utama penyakit dan kecacatan di kalangan remaja,” ujar Nanda.
Melek digital
Sementara itu, dukungan bagi guru untuk melek digital terus dilakukan. Pemanfaatan teknologi digital di sekolah dilakukan untuk mendukung pembelajaran oleh guru, perencanaan sekolah, hingga operasional.
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Muhammad Hasan Chabibie, dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar bertema ”Menjadi Guru Melek Digital di Era Kiwari”, menyampaikan beberapa platform digital di dalam ekosistem teknologi Kemendikbudristek dihadirkan untuk para guru dan manajemen satuan pendidikan, di antaranya akun Belajar.id, Platform Merdeka Mengajar, Rapor Pendidikan, ARKAS, dan SIPLah. Ia mengatakan, platform digital itu menjadi titik ungkit dari proses peningkatan kualitas pendidikan.
Baca juga: Agar Guru Melek Teknologi Pembelajaran
Berbagai platform yang disediakan Kemendikbudristek tersebut terus diperkenalkan agar dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara maksimal. Melalui Balai Layanan Platform Teknologi (BLPT) Kemendikbudristek, kolaborasi dilakukan dengan komunitas belajar yang terdiri dari para duta teknologi. Sebanyak 207 guru yang terpilih menjadi duta teknologi terlibat aktif untuk menginspirasi para guru lain agar memanfaatkan platform teknologi guna menghadirkan pembelajaran yang menarik dan inovatif.
Para duta teknologi adalah guru terpilih dari kompetisi Pembelajaran Berbasis TIK (PembaTIK) yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun sejak 2017. Duta teknologi merupakan jangkar untuk mewujudkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga para guru diminta untuk terus belajar dan memanfaatkan teknologi agar dapat memberikan nilai tambah dalam proses belajar mengajar di sekolah masing-masing.
”Kompetisi duta teknologi diadakan setiap tahun, dan para guru diundang untuk berpartisipasi, belajar, berbagi, dan menjadi bagian dari jangkar teknologi pendidikan Indonesia,” kata Hasan.
Duta teknologi Provinsi Papua tahun 2023, Jean Soffian Banundi, mengatakan, dirinya memiliki satu tujuan utama, yakni berbagi pengalaman tentang integrasi TIK dalam pembelajaran. Ia menekankan perlunya melibatkan rekan-rekan guru secara bertahap untuk mengubah proses pembelajaran.
Baca juga: Teknologi Digital demi Pembelajaran Lebih Menarik dan Bermakna
”Di Kabupaten Waropen terdapat beberapa tantangan utama berupa kurangnya kemauan dari rekan-rekan guru; serta kendala listrik, jaringan, dan fasilitas. Meskipun demikian, saya terus melakukan pendekatan personal, memberikan motivasi, dan mendampingi mereka untuk tetap semangat dalam meningkatkan kompetensi digital,” ujarnya.
Jean memberikan pendekatan konkret dengan melakukan proses terbimbing di daerahnya. Melalui platform digital, seperti Google Classroom, ia membimbing rekan-rekan guru untuk mengenal teknologi dan memanfaatkannya dalam pembelajaran. ”Literasi digital sangat penting sehingga perubahan harus dilakukan secara bertahap,” kata Jean.
Duta Teknologi 2022, Eka Nurviana Fatmawati, mengatakan, guru perlu memperluas pengalaman melalui uji coba dan eksperimen teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. ”Integrasi teknologi dalam kelas memungkinkan guru menyajikan materi ajar dengan lebih efektif dan menciptakan pembelajaran bermakna,” kata Eka.
Ia menekankan pentingnya mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran di era digital. Para siswa umumnya memiliki gawai sehingga guru harus memanfaatkan potensi ini, seperti bereksperimen dengan berbagai platform dan media pembelajaran teknologi dari pembelajaran interaktif atau video simulasi augmented reality.
”Guru adalah pembelajar sepanjang hayat, maka dari itu guru harus terus belajar, keluar dari zona nyaman, dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi masa depan,” kata Eka.