Ekranisasi Karya Sastra ke Film Tidak Bisa Dibandingkan
Pembandingan film adaptasi sastra menjadi bagian pemasaran yang tidak disengaja dan secara tidak langsung mengajak orang untuk menikmati film dan karya sastra.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
SINGARAJA, KOMPAS — Ekranisasi karya sastra menjadi film tidak harus sama persis dengan karya aslinya. Keduanya berada pada ranah yang berbeda sehingga hasilnya tidak bisa dibandingkan. Reaksi pembaca sastra ketika sebuah karya sastra difilmkan menjadi warna tersendiri dalam proses alih wahana tersebut.
Penulis Putu Juli Sastrawan mengatakan, setiap film yang diadaptasi atau terinspirasi dari karya sastra pasti memiliki pendekatan yang berbeda. Sutradara film memiliki ”kacamata” yang berbeda dengan penulisnya. Perlu pendalaman cerita yang baik antara sutradara dan penulis karya sastra tersebut agar ketika sutradara menggarap filmnya tidak terlalu jauh melebar dari maksud penulis.
Oleh karena itu, dalam kontrak kerja sama antara pembuat film dan penulis perlu ditegaskan batasan kerja sutradara dan penulis. Jika tidak, kreativitas sutradara dalam membuat film bisa terganggu oleh penulisnya atau sebaliknya.
Kalau sutradaranya memang mengerti sastra kita bisa menaruh ekspektasi tinggi. Kalau tidak, kita cukup terima dan menikmati saja karya filmnya.
”Kita tidak bisa membanding-bandingkan alih wahana novel menjadi film. Yang perlu kita tahu alih wahana perlu penyesuaian dan butuh banyak penyesuaian,” kata Juli saat lokakarya Alih Wahana Karya Sastra ke Film yang digelar Rumah Belajar Komunitas Mahima di Singaraja, Bali, Sabtu (18/11/2023).
Penulis potensial Ubud Writers and Readers Festival 2022 ini mencontohkan perbincangan hangat yang menilai aktor Iqbaal Ramadhan tidak cocok memerankan Minke dalam film Bumi Manusia pada 2019. Saat itu, karakter Iqbaal dinilai berbeda jauh dengan sosok Minke dalam bayangan pembaca berat novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Terlebih saat itu Iqbaal masih melekat dengan sosok Dilan dalam film Dilan yang tayang tidak lama sebelumnya. Bahkan sampai muncul petisi daring yang menolak Iqbaal menjadi Minke. Namun, hal ini, kata Juli, adalah hal yang maklum dan justru menjadi bagian dari pemasaran yang tidak disengaja serta mengajak orang untuk menonton film dan novelnya sekaligus.
”Bumi Manusia ini sepertinya pendekatan pembuat filmnya itu ingin membuat novel yang berat menjadi ringan sehingga anak-anak muda tertarik pada karya sastra dan ingin membaca novel Pramoedya,” ucap Juli.
Pembuat film, Agus Primarta; penulis Putu Juli Sastrawan; dan programmer film Kadian Narayana menjadi pembicara dalam lokakarya Alih Wahana Karya Sastra ke Film di Rumah Belajar Komunitas Mahima di Singaraja, Bali, Sabtu (18/11/2023).
Sementara itu, programmer film Kadian Naraya memberikan tips bagi pembaca karya sastra yang kemudian menonton film adaptasinya untuk tidak terlalu menaruh ekspektasi lebih agar tidak kecewa. Selain itu, perlu juga melihat siapa produser dan sutradara yang membuat film tersebut.
”Lihat siapa yang menggarap. Kalau sutradaranya memang mengerti sastra kita bisa menaruh ekspektasi tinggi. Kalau tidak, ya, kita cukup terima dan menikmati saja karya filmnya,” kata Kadian.
Namun, Kadian menegaskan, hal ini bukanlah sesuatu yang benar atau salah. Perdebatan tentang film adaptasi atau terinspirasi dari karya sastra adalah warna tersendiri dalam dunia berkesenian. Ini keuntungan bagi keduanya.
Lokakarya Alih Wahana Karya Sastra ke Film merupakan bagian dari Pekan Raya Cipta Karya Mahima 2023 yang diselenggarakan Rumah Belajar Komunitas Mahima serta didukung Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selama tiga hari, 17-19 November 2023, sastrawan Komunitas Mahima akan berbagi ilmu kepada generasi muda penyambung napas sastra dan budaya.
”Kami mengajak mereka yang telah matang pulang dan berbagi memantulkan energi kreatif berkesenian kepada adik-adiknya di SMA dan kuliah,” kata Kadek Sonia Piscayanti, pendiri Komunitas Mahima di Buleleng, Bali Utara, Jumat (17/11/2023).
Pada Juli 2023, melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa memberikan dana bantuan Tahap I di Bidang Kebahasaan dan Kesastraan dalam kategori fasilitasi sebanyak 28 komunitas, 5 penghargaan komunitas, dan penghargaan perorangan 20 orang. Pada September, bantuan tahap II diberikan kembali untuk fasilitasi 17 komunitas dan 9 bantuan penghargaan perseorangan. Salah satunya Komunitas Mahima di Singaraja, Buleleng, Bali.
Lokakarya ini diikuti ratusan mahasiswa dan pelajar di sekitar Buleleng dan Bali secara umum sebagai bibit generasi baru di bidang sastra. Karya-karya yang lahir dari sini juga akan diajukan menjadi bagian dari Singaraja Literary Festival 2024 dengan melalui tahap seleksi dan kurasi.