Film ”Women from Rote Island” Menjadi Kuda Hitam di FFI 2023
Film ”Women from Rote Island” menyabet empat penghargaan di Festival Film Indonesia 2023. Kemenangannya menjadikan film ini sebagai kuda hitam.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Film yang diproduksi Langit Terang Sinema dan Bintang Cahaya Sinema, Women from Rote Island, membawa pulang empat Piala Citra dalam perhelatan Festival Film Indonesia atau FFI 2023. Film tentang kekerasan seksual di timur Indonesia itu meraih piala terbanyak dan dianggap sebagai kuda hitam di FFI 2023.
Women from Rote Island sebelumnya masuk dalam empat nominasi, yaitu Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Pengarah Sinematografi Terbaik. Keempatnya dimenangi melalui Jeremias Nyangoen (sutradara dan penulis skenario), Joseph Christoforus Fofid (pengarah sinematografi), serta segenap pemeran dan kru yang jumlahnya sekitar 170 orang.
Film ini dipilih sebagai pemenang oleh Dewan Juri Akhir (DJA) FFI 2023 yang terdiri dari Shanty Harmayn, Agni Ariatama, Andhy Pulung, Ekky Imanjaya, JB Kristanto, Raihaanun, Sekar Ayu Asmara, dan Yayu Unru. Menurut juri, tema yang disajikan dalam film ini menampilkan isu mendalam dan tingkat pertaruhannya besar. Persoalan sosial yang disajikan begitu kental dan menjadikannya film dengan identitas Indonesia yang kuat.
”Orkestrasi semua unsur, baik estetika, eksplorasi teknis, maupun kekuatan gagasan, tersampaikan dengan berani, membuat film ini menjadi sebuah karya seni yang utuh, disuguhkan tanpa rasa takut,” ucap Shanty Harmayn saat Malam Anugerah FFI 2023 di Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Women from Rote Island mengambil latar di Batu Termanu, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Kisahnya tentang kekerasan seksual yang menimpa Martha (diperankan Irma Novita Rihi) saat bekerja di Malaysia, lantas kembali menjadi korban saat pulang kampung ke Rote. Adapun penyusunan skenario film ini makan waktu sekitar 1 tahun 8 bulan.
Menurut sutradara dan penulis skenario film ini, Jeremias Nyangoen, film ini memang berlatar di timur Indonesia. Namun, isu yang diangkat bukan persoalan yang terjadi di sana saja, melainkan di seluruh Indonesia, bahkan dunia.
”Ini persoalan Bangladesh, India, ini persoalan Afrika Selatan. Kita bicara pelecehan seksual, pembunuhan, sampai mutilasi. Ini persoalan dunia,” katanya. ”Ini persoalan bersama. Persoalan bangsa ini dan dunia,” tambahnya.
Ini persoalan Bangladesh, India, ini persoalan Afrika Selatan. Kita bicara pelecehan seksual, pembunuhan, sampai mutilasi. Ini persoalan dunia.
Adapun Komnas Perempuan mencatat ribuan pengaduan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di Indonesia. Pada 2022, kasus kekerasan seksual jadi kekerasan paling dominan, yaitu 2.228 kasus (38,1 persen).
Di sisi lain, kekerasan seksual kerap tak tercatat, antara lain karena korban tak berani melapor, kurang barang bukti, dan ada yang ingin melupakan kejadian itu. Dalam beberapa kasus, korban yang melapor menjadi korban untuk kedua kali karena dilaporkan kembali oleh pelaku hingga mendapat stigma negatif dari keluarga atau masyarakat. Hal ini membuat sebagian korban enggan melapor.
Adapun Women from Rote Island ditayangkan pertama kali pada Oktober 2023 di Busan International Film Festival (BIFF), Korea Selatan. Film ini lantas ditayangkan di Jakarta Film Week yang berlangsung pada 28 Oktober 2023. Women from Rote Island akan kembali ditayangkan untuk publik pada Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta pada akhir November 2023.
Pengamat film Hikmat Darmawan menilai Women from Rote Island atau Perempuan Berkelamin Darah menjadi kuda hitam dalam FFI 2023. ”Filmnya menunjukkan pandangan yang cukup kuat,” ucap Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2021-2023 itu.
Hikmat belum menonton Women from Rote Island dan berencana mendatangi pemutarannya di Yogyakarta pekan depan, tetapi ia mengamati santernya penilaian mengenai film tersebut yang dianggap menarik. Salah satu penggagas Festival Film Madani itu memandang baik sengitnya kompetisi dalam FFI 2023.
”Meski nominasi paling banyak diraih (film) Budi Pekerti (17 nominasi), persaingan ketat dilihat dari unsur-unsur filmnya,” katanya. Ia menyambut gembira lantaran FFI 2023 menyuguhkan standar yang meningkat dari capaian estetis sekaligus industrinya.
Sebagian penonton pun diyakini menganggap film 24 Jam Bersama Gaspar memegang keunggulan karena mendapati kebaruan tematik dan tuturan. ”Jadi, wilayah yang menarik dieksplorasi. Yosep Anggi Noen (sutradara) masuk dalam cerita yang diangkat dari novel,” ujarnya.
Yosep memajang fiksi sains dengan semacam futuristis ringan dan unsur detektif. Ia memperkaya 24 Jam Bersama Gaspar dengan point of view (POV) atau perspektif lakonnya. ”Memang ada POV sepeda motornya. Filmnya menawarkan suara baru dan penceritaan unik,” katanya. (BAY/HEI)