Pelestarian keragaman budaya di Desa Denai Lama, Sumatera Utara, dilirik sebagai jembatan menuju kemajuan desa. Program pemajuan kebudayaan desa dan festival budaya membantu mempertahankan budaya dan menopang perekonomian warga.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Kekayaan budaya masih sering dipandang sebelah mata. Padahal, selain sebagai identitas bangsa, budaya juga merupakan aset berharga penopang pembangunan. Kini, pelestarian keragaman budaya mulai dilirik sebagai jembatan menuju kemajuan desa.
Beragam ekspresi budaya ”tumpah” di pekarangan rumah di Desa Denai Lama, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (15/11/2023). Kesenian barongsai, reog Ponorogo, dan tari Persembahan ditampilkan secara bergantian dalam Festival Selayar Denai 2023.
Atraksi seni budaya itu sekaligus melambangkan kerukunan tiga etnis masyarakat yang tinggal di sana, yaitu Melayu, Jawa, dan Tionghoa. Ada juga permainan tradisional seperti egrang dan terompah panjang.
Ratusan pengunjung, dari anak balita hingga warga lansia, antusias menyaksikan festival tahunan tersebut. Mereka duduk dan berdiri di bawah rimbun pepohonan. Kerumunan pengunjung menjadi peluang ekonomi bagi warga setempat dengan menjual berbagai makanan tradisional.
”Ini merupakan upaya pelestarian dan pemanfaatan kebudayaan yang berdampak terhadap kesejahteraan warga,” ujar Direktur Festival Selayar Denai 2023 Ali Imron.
Ali juga menjadi daya desa di Desa Denai Lama. Daya desa bertugas mendampingi masyarakat dalam mendukung upaya pemajuan kebudayaan di desa. Desa itu merupakan satu dari 230 desa yang menjadi fokus program pemajuan kebudayaan desa oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Warga diajak mengangkat kembali praktik-praktik kebudayaan yang ada di desa. Bukan sebatas tontonan, melainkan untuk melindungi budaya dengan cara melestarikannya agar tidak punah.
Ketahanan pangan menjadi salah satu isu yang ditonjolkan dalam festival itu. Sebab, banyak generasi muda mulai melupakan pangan tradisional serta bahan dan cara membuatnya.
Ali yang merupakan warga Melayu mengatakan, dalam kebudayaan, anak-anak menjadi hulu, generasi muda sebagai batang, dan orangtua berada di hilir. Oleh karena itu, upaya melestarikan kebudayaan mesti melibatkan ketiganya agar pengetahuan budaya masyarakat tidak terputus.
”Jika tidak, jangan harap hulu kebudayaan, yaitu anak-anak, bisa mewarisinya. Inilah yang menjadi tantangan agar anak-anak tidak asing dengan budayanya sendiri,” ucapnya.
Kepala Desa Denai Lama Parnu menuturkan, hampir 80 persen warga desa itu bekerja sebagai petani. Alhasil, perekonomian desa hanya mengandalkan produksi hasil pertanian.
Akan tetapi, sejak lima tahun terakhir, pihaknya mulai melirik potensi seni budaya untuk memajukan desa melalui konsep wisata desa. Upaya melestarikan budaya pun turut menopang perekonomian warga.
”Kami mencoba membangun ekonomi warga dengan kearifan lokal dan kultur yang ada. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit, ekonomi warga tumbuh. Sekarang, setiap Sabtu dan Minggu, desa kami macet, seperti Kota Medan. Banyak tamu menikmati sajian makanan di pasar budaya. Transaksi bisa mencapai Rp 200 juta dalam dua hari itu,” ucapnya.
Akan tetapi, sejak lima tahun terakhir, pihaknya mulai melirik potensi seni budaya untuk memajukan desa melalui konsep wisata desa. Upaya melestarikan budaya pun turut menopang perekonomian warga.
Desa Denai Lama berjarak sekitar 35 kilometer dari Kota Medan, ibu kota Sumut. Lokasinya cukup strategis karena dapat dijangkau dalam setengah jam perjalanan menggunakan mobil dari Bandara Kualanamu, Deli Serdang.
Mempererat persaudaraan
Festival Selayar Denai ”menarik” M Sukur (51) pulang ke kampung halamannya. Sejak 2008, ia merantau dan tinggal di Bagansiapiapi, Riau, yang berjarak sekitar 500 km dari Denai Lama.
Tanpa banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk pulang ke desa kelahirannya yang dikenal dengan nama ”Kampoeng Lama” itu. Bukan cuma untuk menonton pertunjukan budaya, tetapi juga bernostalgia dengan kenangan masa kecilnya.
”Sudah sejak lama masyarakat Melayu, Jawa, dan Tionghoa hidup damai di desa ini. Namun, saya baru tahu ada festival budaya (di Denai Lama). Ini sangat bagus karena bisa mempererat persaudaraan,” ucapnya.
Orangtua M Sukur merupakan transmigran asal Jawa Timur yang datang ke Deli Serdang pada 1960-an. Di sana, warga beretnis Jawa berbaur dengan masyarakat Melayu, Batak, Tionghoa, dan suku lainnya.
”Kalau generasi kami yang sudah lahir di sini disebut sebagai pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera). Meskipun hidup di tanah orang, budaya leluhur tetap kami rawat,” katanya.
Zeffery Sutanto (27), warga Tionghoa, mengatakan, Festival Selayar Denai menjadi ajang untuk lebih mengenal keragaman budaya. Dengan begitu, warga antar-etnis bisa saling memahami dan menjaga kerukunan.
”Seperti tadi bisa dilihat, barongsai tidak hanya disenangi orang Tionghoa, tetapi juga warga Melayu dan Jawa. Tari Melayu dan reog juga menghibur pengunjung dari berbagai suku,” katanya.
Zeffery berharap festival itu terus dikembangkan dengan menggali lebih banyak praktik kebudayaan. Selain itu, perlu disosialisasikan lebih intens agar lebih dikenal masyarakat luas.
”Kalau festival ini semakin besar, pengunjung akan lebih banyak. Dengan begitu, dampaknya bagi kesejahteraan warga akan kian terasa,” ucapnya.
Pemajuan kebudayaan
Pemanfaatan kebudayaan di Denai Lama merupakan salah satu bentuk implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Program pemajuan kebudayaan desa yang diluncurkan pada 2021 itu dibagi dalam tiga tahap, yaitu menemukan atau mengenali potensi budaya desa, mengembangkan budaya desa, dan memanfaatkan budaya desa.
Desa Denai Lama difasilitasi oleh Kemendikbudristek menggelar festival untuk mengenalkan beragam potensi budaya. Hal ini bertujuan mendukung partisipasi aktif warga dalam memajukan kebudayaan di desa itu.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti menyebutkan, kebudayaan jangan diartikan sempit sebagai kesenian saja. Pemajuan kebudayaan juga bisa mewujud sebagai pembangunan yang menyejahterakan warga.
”Ini kekayaan budaya yang luar biasa ketika sebuah desa bisa bergerak secara bersama-sama dengan masyarakat untuk melakukan pemajuan kebudayaan. Ini akan menjadi contoh bagi desa-desa lainnya,” ujarnya.
Staf Ahli Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Bito Wikantosa mengatakan, kekayaan budaya merupakan modal penting bagi warga desa. Oleh karena itu, kebudayaan patut dijadikan haluan pembangunan desa.
”Tidak cukup hanya peduli, tetapi kerja keras mewujudkan desa tangguh budaya. Pembangunan desa dasarnya adalah kebudayaan,” ucapnya.