Kebijakan Perubahan Iklim Perlu Libatkan Penyandang Disabilitas
Meski memiliki kerentanan yang tinggi, penyandang disabilitas menjadi kelompok yang kerap diabaikan dalam kebijakan perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setiap keputusan yang berhubungan dengan program ataupun kebijakan terkait perubahan iklim perlu melibatkan penyandang disabilitas. Sebab, mereka merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim, tetapi kerap diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan.
Kepala Program Regional Asia untuk Dana Hak Disabilitas dan Dana Advokasi Hak Disabilitas (DRF/DRAF) Dwi Ariyani menyampaikan, perubahan iklim yang terjadi saat ini telah berdampak terhadap semua kehidupan manusia, termasuk penyandang disabilitas.
”Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim,” ujarnya dalam pertemuan bertajuk”Aksi Perubahan Iklim yang Inklusif: Pelibatan Penyandang Disabilitas secara Penuh dan Bermakna” di Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Kerentanan penyandang disabilitas terhadap bencana akibat dampak perubahan iklim, salah satunya, terangkum dalam laporan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta. Laporan tersebut menyatakan, penyandang disabilitas terdampak bencana secara tidak proporsional karena proses evakuasi, tanggap darurat, dan rehabilitasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Selain diskriminasi dalam proses evakuasi, penyediaan akses dalam proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bagi penyandang disabilitas juga masih sangat minim.Sampai sekarang, mereka masih sulit mendapatkan sumber informasi ataupun aksi mitigasi dan adaptasi apa yang dapat dilakukan kelompoknya dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Meski memiliki kerentanan yang tinggi, penyandang disabilitas menjadi kelompok yang kerap diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam perencanaan penanggulangan hingga kesiapsiagaan bencana. Hal ini tidak terlepas dari berbagai pandangan negatif yang melekat.
Minimnya upaya mengatasi perubahan iklim yang melibatkan penyandang disabilitas tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga sejumlah negara di dunia. Ini tecermin dalam laporan berjudul ”Disability Inclusion in National Climate Commitments and Policies” yang disusun peneliti dari McGill Center for Human Rights and Legal Pluralism, McGill University, Kanada.
Laporan tersebutmenemukan, hanya 35 dari 192 negara yang menyertakan referensi tentang penyandang disabilitas dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) mereka. Kemudian, dari 192 negara tersebut juga tercatat hanya 45 negara yang memasukkan penyandang disabilitas dalam kebijakan atau program nasional mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dengan berbagai faktor tersebut, Dwi menyebut, penyandang disabilitas perlu terlibat secara penuh dan berkontribusi terhadap gerakan ataupun program terkait perubahan iklim. Selain itu, sangat penting juga memastikan penyandang disabilitas terlibat dalam setiap keputusan yang berhubungan dengan program ataupun kebijakan terkait perubahan iklim.
Meski memiliki kerentanan yang tinggi, penyandang disabilitas menjadi kelompok yang kerap diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam perencanaan penanggulangan hingga kesiapsiagaan bencana.
Dwi berharap, melalui acara konvening tersebut nantinya dapat terwujud kolaborasi antara gerakan perubahan iklim dan gerakan penyandang disabilitas di Indonesia. ”Ini juga menjadi fokus kerja DRF agar aksi-aksi perubahan iklim lebih inkusif disabilitas,” katanya.
Kebutuhan berbeda
Direktur Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti menuturkan, selama ini banyak pihak melihat bahwa semua penyandang disabilitas memiliki kebutuhan yang sama. Padahal, setiap penyandang disabilitas memiliki cara berkomunikasi, kerentanan, dan kebutuhan lainnya yang sangat berbeda satu sama lain.
Kebutuhan penyandang disabilitas yang berbeda-beda inilah yang seharusnya dituangkan dalam setiap kebijakan pemerintah, termasuk terkait antisipasi bencana akibat dampak perubahan iklim. Penyandang disabilitas seharusnya dilibatkan dalam mempersiapkan evakuasi bencana dan upaya adaptasi serta mitigasi perubahan iklim lainnya.
”Pada saat kita berbicara tentang pentingnya inklusivitas di dalam aksi, adaptasi, dan kebijakan perubahan iklim, itu tidak bisa menempatkan penyandang disabilitas dalam satu kotak. Jadi, melibatkan penyandang disabilitas tentu harus merepresentasikan kebutuhan mereka juga,” tutur Yeni.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul yang juga dinamisator Koalisi Keadilan Iklim, Torry Kuswardono, menambahkan, keadilan iklim perlu diperjuangkan karena adanya ketimpangan yang terjadi bahkan sebelum adanya fenomena perubahan iklim. Oleh karena itu, aksi perubahan iklim yang adil seharusnya mampu menurunkan ketimpangan ini.