Nilai filosofis wayang berhadapan dengan tuntutan zaman yang ”memaksa” dalang kreatif berinovasi mengikuti selera pasar.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
Dalam jagat budaya pewayangan di Indonesia terkandung filsafat wayang yang berbentuk wejangan, ajaran, andaran, dan contoh-contoh perilaku tokoh-tokohnya dalam setiap lakon pertunjukan wayang. Pokok pikiran filosofinya adalah eksistensialisme karena wayang menekankan dan mengungkit pengalaman pribadi manusia pada setiap pertunjukannya.
Eksistensialisme adalah upaya untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya manusia hidup untuk menemukan jati diri. Dengan bereksistensi, manusia menciptakan dirinya secara aktif pada masyarakat. Eksistensialisme manusia dipandang sebagai manusia yang terikat pada dunia, terlebih pada sesama manusia.
Adapun unsur penting dalam eksistensialisme adalah teologis, kebenaran nilai, dan dekonstruksi. Ketiganya menyatu secara implementatif dalam pergelaran wayang sebagai obyek formal wayang itu sendiri. Maka tak heran jika banyak orang Jawa yang mengidolakan tokoh wayang dalam lakon tertentu sampai menamakan anaknya seperti tokoh wayang tersebut. Misalnya, Bima Sena, Wijanarka, ataupun Wibatsu.
Nilai-nilai filosofis wayang kini berhadapan dengan tuntutan zaman yang ”memaksa ” dalang untuk kreatif berinovasi mengikuti selera pasar.
Orang yang menginginkan teologi Jawa maka menyenangi atau setidaknya pernah mendengar tentang lakon Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dari situ mereka menamakan anaknya Bima Sena, salah satu tokohnya.
Sementara bagi orang yang menyukai karakter kebenaran hidup memilih nama Pandawa dan Kurawa. Jika ingin menjadi pemimpin, banyak yang menyukai nama Wahyu Makutharamalah. Orang yang ingin anaknya menjadi pemimpin yang baik memilih lakon Wahyu Cakraningrat. Dan masih banyak lakon lain yang memiliki tokoh inspirasi untuk pemberian nama anak.
Dan terakhir, nilai dekonstruksi sudah terjadi sejak lama yang mengakibatkan kebanyakan pergelaran wayang berubah dari gaya lama. Bahkan, dalang masa kini kerap dianggap epigonisme atau meniru lakon dari dalang terdahulu dengan sedikit sentuhan berbeda.
”Maka tidak dapat demikian saja disalahkan gejala dekonstruksi itu. Untuk membatasi hal-hal yang tidak diinginkan itu, di dalam masyarakat pedalangan dikenal istilah Pakem Jangkeb dan Pakem Balungan,” kata dosen Filsafat Universitas Indonesia, Sri Teddy Rusdy, dalam peringatan Hari Wayang Nasional (HWN) V di Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta, Senin (6/11/2023).
Kedua buku pakem ini berisi tentang lakon-lakon wayang secara garis besar maupun sebagian saja, tetapi sudah cukup untuk menjadi buku manual bagi siapa pun yang ingin mempergelarkan lakon wayang.
Dari ketiga nilai filosofis itu, nilai kebenaran menjadi yang paling utama, tetapi tuntutan zaman ”memaksa” dalang untuk kreatif berinovasi berdasarkan selera pasar. Kekinian ini disebut dengan dekonstruksi yang tidak disadari oleh sang dalang.
Dalang kekinian banyak yang berorientasi pada tontonan daripada makna filosofi. Gejala ini memang sulit dihentikan, tetapi dengan begitu setidak-tidaknya ada yang terus memperjuangkan wayang atau minimal mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang sifatnya penting.
”Ada ungkapan dalam bahasa Jawa 'Beja-bejane sing lali, isih beja sing eling lawan waspada' lebih beruntung yang tetap ingat daripada tidak ingat sama sekali,” ucap Sri, risau.
Menurut Sri, filsafat wayang ini penting diketahui anak-anak muda agar generasi wayang agar kebudayaan tidak terputus. Salah satu upayanya adalah memasukkan pengetahuan filsafat wayang ini menjadi bahan ajar dalam mata kuliah tentang kebudayaan.
Diplomasi wayang
Wayang sudah sejak lama tumbuh bersama dengan peradaban hidup manusia Indonesia. Melalui wayang dari beberapa suku bangsa, masyarakat berkembang menemukan jati diri dengan fungsinya sebagai media penyebar ilmu, religiositas, dan kebudayaan. Bahkan, wayang menjadi salah satu media diplomasi antarnegara.
Nilai-nilai yang terkandung pada budaya wayang dapat menjadi jembatan bagi pembangunan kemanusiaan. Sebab, wayang adalah sumber potensi dan kekuatan Indonesia yang sudah diakui UNESCO terhadap wayang Indonesia sebagai Mahakarya Warisan Budaya Lisan dan Takbenda Manusia sejak 2003. Namun, kini peran mahakarya ini perlu diperkuat kembali dalam aspek diplomasi.
”Dalam pengakuan UNESCO itu ada dua kata penting, masterpiece dan humanity, ini suatu hal yang tidak diberikan ke bangsa lain. Intinya, wayang memanusiakan manusia. Ini harus jadi konsep perjuangan secara global selanjutnya,” Ketua Bidang Hubungan Internasional Senawangi, Nurrachman Oerip.
Selama ini pendekatan kekuatan politik sangat mendominasi hubungan antarbangsa yang pada akhirnya bersifat eksploitatif karena melahirkan dominasi, monopoli, dan hegemoni. Dari sisi filosofi wayang, model diplomasi ini harus dikoreksi.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Restu Gunawan menambahkan, wayang dengan nilai-nilainya sangat penting dalam diplomasi budaya. Bahkan, kata dia, apresiasi pada wayang justru lebih banyak datang dari orang asing.
”Jadi tidak cukup hanya mengandalkan dalang-dalang senior, kita perlu darah muda supaya wayang bisa diplomasi kebudayaan untuk memperkuat keindonesiaan kita. Kebudayaan kita itu adiluhung yang mampu memengaruhi peradaban dunia,” tutur Restu.
Menurut catatan sejarah, diplomasi budaya pada awalnya dilakukan oleh negara, terutama oleh Presiden Soekarno, melalui pertunjukan seni tari dan wayang kulit serta seni Bali. Seiring berkembangnya waktu, kini diplomasi budaya dapat dilakukan oleh setiap warga negara, baik dilakukan secara langsung, yakni kegiatan budaya di luar negeri, maupun tidak langsung; baik secara pribadi maupun atas nama organisasi; atau diplomasi budaya melalui dunia maya.