Perundungan di Sekolah Perburuk Prestasi Belajar Siswa
Kekerasan di sekolah memiliki dampak parah dan jangka panjang terhadap keselamatan, kesehatan fisik dan mental, serta hasil pendidikan siswa.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak. Namun, angka-angka secara global memberikan gambaran yang berbeda, yakni satu dari tiga siswa mengalami perundungan di sekolah setiap bulannya. Lebih dari 36 persen pelajar berkelahi fisik dengan teman-temannya dan hampir satu dari tiga pelajar pernah diserang secara fisik, setidaknya sekali dalam setahun.
Kekerasan di sekolah harus menjadi perhatian serius karena dapat berdampak parah dan jangka panjang terhadap keselamatan siswa, kesehatan fisik dan mental, serta hasil pendidikan mereka.
Menurut laporan UNESCO, kesehatan mental dan kesejahteraan yang buruk berkontribusi terhadap rendahnya prestasi, ketidakhadiran, perilaku di kelas yang mengganggu, skors dan pengusiran dari sekolah, serta putus sekolah. Anak-anak yang menjadi korban perundungan dua kali lebih mungkin merasa kesepian, tidak bisa tidur, dan berpikir untuk bunuh diri. Adapun dari data Uicef saat ini, seorang anak berusia 10-19 tahun bunuh diri setiap 11 menit.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk melawan kekerasan di dunia pendidikan dimulai dari menghapus tiga besar dosa pendidikan, yakni perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Chatarina Muliana Girsang pada diskusi yang digelar Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Selasa (14/11/2023), mengatakan, Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dikeluarkan untuk lebih meningkatkan keseriusan menangani dan mencegah kekerasan di sekolah ataupun di luar sekolah terhadap siswa dan guru serta tenaga kependidikan. Peraturan ini menggantikan aturan sebelumnya, yakni Permendikbud No 82/2015.
Di hampir semua negara, setidaknya 10 persen siswa kelas IV pernah mengalami perundungan siber dalam satu tahun terakhir.
”Aturan ini semakin membuat sekolah percaya diri membentuk tim penanganan dan pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. Di kurun tiga bulan saja sudah sekitar 27 persen sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah (TPPKS). Jadi, lebih cepat bergerak,” tutur Chatarina.
Perundungan siber
Terkait kekerasan di sekolah, UNESCO juga menyoroti perundungan siber yang belakangan ini marak. Menurut laporan Global Education Monitoring (GEM) tentang Teknologi dalam Pendidikan tahun 2023, meningkatnya penggunaan perangkat digital di dalam dan di luar pendidikan telah memperburuk perundungan siber.
Perundungan siberadalah bentuk baru perilaku penindasan yang dipicu oleh akses terhadap ponsel pintar dan perangkat lainnya. Bentuknya bermacam-macam, seperti publikasi foto atau video seseorang secara sengaja tanpa persetujuannya, pengucilan dari grup digital, kekerasan verbal, serta penghinaan dan ancaman. Banyak negara belum menerapkan perlindungan memadai untuk membantu anak-anak mengatasi risiko tersebut.
Tim dari UNESCO serta Anna Cristina D’Addio dari Tim GEM Report meyoroti fenomena perundungan siber. Mereka memantau sejauh mana anak-anak mengalami penindasan maya dengan Global Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Pada studi ini anak-anak kelas IV dan VIII ditanya pengalaman mereka menghadapi penindasan daring.
Di hampir semua negara, setidaknya 10 persen siswa kelas IV pernah mengalami perundungan siber dalam satu tahun terakhir. Beberapa bentuknya ialah menerima ”pesan yang tidak menyenangkan atau menyakitkan”, ”hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyakitkan”, atau ”foto yang memalukan” secara daring.
Laporan GEM tahun 2023 menemukan bahwa jumlah siswa yang mengalami perundungan siber bahkan lebih tinggi di antara siswa kelas VIII, yakni terjadi pada lebih dari 20 persen siswa di 26 dari 32 negara.
Penindasan di dunia maya juga cenderung lebih tinggi di negara-negara dengan kasus penindasan lainnya yang tinggi. Di Latvia dan Afrika Selatan, di mana masing-masing 30 persen dan 50 persen siswanya mengalami penindasan di dunia maya, sekitar 90 persen siswa di sana juga mengalami beberapa jenis penindasan.
Lebih buruk
Jika tidak ditangani, kekerasan di sekolah menimbulkan kerugian besar bagi sistem pendidikan. Menurut UNESCO, anak-anak yang sering ditindas hampir tiga kali lebih mungkin merasa seperti orang asing di sekolah dan dua kali lebih besar kemungkinannya untuk bolos sekolah. Mereka juga memiliki hasil pendidikan yang lebih buruk, dengan nilai Matematika dan membaca yang lebih rendah. Semakin sering mereka dirundung, semakin buruk nilai mereka.
Meskipun dapat meningkatkan proses belajar-mengajar, teknologi digital juga menghadirkan peningkatan paparan terhadap sejumlah risiko. Ini, antara lain, keamanan siber dan pelanggaran privasi, implikasi kesehatan mental dan fisik, dan konten berbahaya. Risiko tersebut potensial memiliki dampak jangka panjang berupa munculnya perilaku adiktif, kekerasan, dan eksploitasi seksual.
Oleh karena itu, memberdayakan siswa untuk tetap aman, bertanggung jawab saat daring, dan membuat pilihan cerdas merupakan prioritas kebijakan penting yang harus kita tanggapi dengan serius seiring dengan semakin banyaknya teknologi yang hadir dalam kehidupan kita sehari-hari.