Indonesia Darurat Kesehatan Jiwa, Perkuat Resiliensi
Indonesia dalam kondisi darurat kesehatan jiwa. Ketahanan warga menghadapi risiko gangguan jiwa perlu diperkuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masalah gangguan jiwa di Indonesia semakin mendesak. Gangguan jiwa tidak hanya berisiko pada kelompok usia tertentu, tetapi juga semua individu di masyarakat. Mitigasi pun perlu diperkuat agar ketahanan jiwa setiap individu bisa terbentuk dengan baik.
Sejumlah data menunjukkan kondisi darurat kesehatan jiwa di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan mengungkapkan satu dari sepuluh orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa.
Selain itu, data lain menunjukkan 8 dari 10 warga lanjut usia atau lansia mengalami depresi tak terkontrol, 32 persen ibu mengalami depresi pascapersalinan, 25 persen mahasiswa baru mengalami kecemasan, serta 50 persen buruh pabrik di Jawa mengalami depresi ringan.
Pengajar Program Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ray Wagiu Basrowi, mengatakan, data ini semakin memperlihatkan Indonesia berada pada kondisi darurat kesehatan jiwa.
Urgensi untuk melakukan upaya penanganan dan pengendalian semakin besar, termasuk pada upaya mitigasi gangguan kesehatan jiwa di masyarakat.
“Ada tiga esensi dasar mengapa kesehatan jiwa di Indonesia amat urgen dan harus segera dimitigasi, yakni stigma tinggi, lingkungan tidak ramah kesehatan jiwa, serta fenomena self diagnostic (swadiagnosis),“ katanya di sela-sela acara Deklarasi Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa di Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Ray, yang juga salah satu inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, menyampaikan, ada empat kelompok masyarakat yang dinilai perlu jadi target utama upaya mitigasi kesehatan jiwa.
Kelompok yang menjadi populasi kunci tersebut meliputi, populasi yang terkait pada 1.000 hari pertama kehidupan, seperti bayi serta ibu hamil dan ibu baru melahirkan, anak sekolah, pekerja dan usia produktif, serta lansia.
Indonesia berada pada kondisi darurat kesehatan jiwa. Urgensi untuk melakukan upaya penanganan dan pengendalian semakin besar, termasuk pada upaya mitigasi gangguan kesehatan jiwa di masyarakat.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia sekaligus Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto menuturkan, perkembangan teknologi yang sangat pesat turut meningkatkan risiko masalah kesehatan jiwa di masyarakat.
Risiko tersebut tidak terbatas pada kelompok usia muda, tetapi juga pada usia dewasa dan lansia. Sebab, paparan teknologi telah berpengaruh terhadap semua usia.
“Media sosial sebagai salah satu teknologi yang berkembang kini tidak lagi jadi media komunikasi, tetapi juga sudah sebagai gaya hidup. Media sosial dijadikan sebagai media untuk mempertontonkan sesuatu yang terkadang sekalipun tidak ada niat untuk pamer bisa menjadi tekanan bagi orang lain,” ujarnya.
Tekanan tersebut, lanjut Semiarto, bisa berupa rasa ketertinggalan akan capaian yang ditunjukkan orang lain ataupun ketidakmampuan akan prestasi orang lain. Ketika seseorang tidak memiliki ketahanan terhadap tekanan-tekanan tersebut, hal tersebut dapat memicu terjadinya masalah kesehatan jiwa, bahkan gangguan jiwa yang lebih buruk.
Guru Besar Ilmu Psikiatri Anak dan Remaja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjhin Wiguna menambahkan, dampak buruk media sosial di masyarakat bisa dikurangi dengan bijak menggunakan media sosial.
Sikap ini perlu diterapkan saat mengirim pesan atau mengunggah konten di media sosial ataupun ketika melihat dan menerima unggahan di media sosial.
“Bagi kita yang melihat unggahan di media sosial harus punya pemahaman tiap orang punya keunikan, termasuk keunikan yang ditampilkan orang lain di media sosialnya. Jadi jangan menjadikan pengalaman orang lain sebagai acuan bagi diri sendiri. Jangan pula membandingkan hal itu,“ tuturnya.
Tjhin menambahkan, upaya lain yang bisa dilakukan untuk memitigasi masalah kesehatan jiwa adalah dengan menurunkan faktor risiko dari masalah kesehatan jiwa yang bisa ditimbulkan. Faktor risiko bisa muncul dari pertemanan, teman sebaya, lingkungan pekerjaan, serta keluarga.
“Kita juga harus meningkatkan literasi kesehatan jiwa. Jika literasi kesehatan jiwanya baik, pemahaman kita mengenai kesehatan jiwa juga semakin baik. Stigma pun bisa dikurangi, termasuk stigma pada diri sendiri sehingga dia pun bisa segera mendapatkan penanganan yang tepat,“ katanya.
Kolaborasi
Salah satu inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa Nila F Moeloek yang juga Menteri Kesehatan Periode 2014-2019 menuturkan, mitigasi kesehatan jiwa di Indonesia perlu disadari sebagai tanggung jawab semua pihak. Kesehatan jiwa masyarakat bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan seluruh komponen bangsa.
“Kita harus bisa mengajak seluruh komoditas bangsa, semua pihak, untuk berkolaborasi membantu pemerintah agar masyarakat tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga sehat jiwa,” ucapnya.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Y B Satya Sananugraha mengakui, peningkatan kasus kesehatan jiwa belum diiringi dengan peningkatan layanan kesehatan di masyarakat.
Menurut dia, masalah ini perlu segera diatasi melalui pengendalian dan pencegahan masalah kesehatan jiwa secara inovatif dan komprehensif.
“Harus ada kebijakan hilirisasi dalam pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa antara lain melalui perluasan upaya promosi dan edukasi kesehatan jiwa, membangun resiliensi kesehatan jiwa, serta membuat inovasi untuk perluasan akses layanan kesehatan jiwa di masyarakat,“ tuturnya.